Cari Blog Ini

Rabu, 25 Januari 2012

BUYA HAMKA: SIAPA PEMILIK SORGA YANG SYAH!!!



ISLAM BUKANLAH MILIK GOLONGAN, TETAPI DIA RAHMATAN LIL ALAMIN
Karya : BUYA HAMKA

Dalam QS 2:111 dikatakan :” Dan mereka berkata: Sekali-kali tidak akan masuk sorga melainkan siapa-siapa yang jadi Yahudi dan Nasrani, Yang demikian hanyalah angan-angan mereka saja. Katakanlah : Tunjukkan alasan kamu jika kamu memang orang yang benar.”

QS 2:112 : “Sekali-kali tidak!!! Barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, dan diapun berbuat baik, maka pahalanya disisi Tuhannya, dan tidaklah ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berduka cita.”

Ayat diatas diceritakan Allah untuk memperlihatkan kesombongan kaum Yahudi dan Nasrani. Dan mengapa mereka berkata demikian? Tidak lain karena agama telah mereka jadikan golongan/firqah, mereka menilai seseorang bukan lagi dari iman dan amal shalih seseorang. Dan terlihatlah kesombongan mereka dengan mengangkat simbol golongan yakin Yahudi- golongan terbesar dari suku yang 12 anak Ayub .As dan Nasrani/nazareth tempat kelahiran nabi Isa.As.

Telitilah dengan seksama, kalau sekiranya mengaku Yahudi mestilah atau adakah dia berasal dari suku Yahudi /yahuda, kalau sekiranya dari 11 suku yang lain maka tidaklah akan masuk sorga....inilah kesombongan sektarian mereka. Demikian halnya dengan mengaku-ngaku Nasrani, adakah berasal dari Nasareth? Jika tidak mengapa harus beragama nasrani.....? Anda tidak juga bakal masuk sorga..

Apakah sorga hanya buat mereka berdua? Atau mereka akan memperebutkan hal itu kelak?
Lansung dibantah Allah,” Yang demikian hanyalah angan-angan mereka saja. Katakanlah : Tunjukkan alasan kamu jika kamu memang orang yang benar.”

Apa sebabnya Yahudi mengaku begitu, apa dalilnya dan buktinya ? mengapa nasrani tidak boleh ? dan sebaliknya mengapa Yahudi tidak boleh ?

ISLAM DATANG SEBAGAI PENENGAH DAN PENCERAH DALAM PERSENGKETAAN MEREKA

QS 2:112 : “Sekali-kali tidak!!! Barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, dan diapun berbuat baik, maka pahalanya disisi Tuhannya, dan tidaklah ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berduka cita.”

Islam menjawab kekeliruan dan kesombongan mereka dengan menyerahkan diri kepada Tuhan, tunduk dengan segenap jiwa raga, tidak  membantah,tidak  mendurhakai, dan tidak menolak kebenaran. Lalu dibuktikan dengan kesudian dan kerelaan beramal dan berbuat baik. Bukan mengakui menyerah kepada Tuhan dengan mulut saja, melainkan harus dengan bukti. Inilah yang akan memperoleh surga Allah, tidak Yahudi, tidak Nasrani, dan tidaklah yang mengaku ISLAM sekalipun.

Aslama wajhahu’ artinya menyerahkan diri kepada Allah, Aslama menjadi Yuslimu dan mashdarnya Islam, itulah pemilik surga, sebab itu orang Islam-lah yang masuk sorga, meskipun tadinya Yahudi, Nasrani, majusi kemudian dia tinggalkan ikatannya dengan yang lain itu, dia bebaskan dirinya dari ikatan yang lain dan menyerah hanya kepada Allah semata, dan diikuti dengan perbuatan.

Sehingga meskipun ada orang yang menyebut dirinya islam, tetapi sebutan saja, tidak diikuti dengan amal baik, tidaklah ia akan masuk kedalam surga, dan tidak akan bebas dia dari rasa takut dan dukacita.

MAKA DARI URAIAN DIATAS DAPATLAH KITA BERKESIMPULAN BAHWA ISLAM BUKANLAH NAMA GOLONGAN...INILAH RAHMATAN LIL ALAMIIN

Islam adalah sikap hidup ! bukanlah pemilik keturunan seperti klaim Ahlul Bait, dan bukan pemilik suatu negeri Arab Saudi saja.

Pesan Buya Hamka yang utama :

PENERANGAN ALLAH AKAN SIFAT-SIFAT BANI ISRAIL DAN KEMUNGKARAN YANG MEREKA PERBUAT, BUKANLAH  SEKEDAR CERITA BELAKA AGAR UMAT ISLAM MERASA UMAT TERBAIK, TETAPI MENJADIKAN UMAT ISLAM SADAR BAHWA “BARANGSIAPA YANG TELAH DIBERI PERTUNJUK DENGAN KITAB DAN NABI-NABI KEMUDIAN DIA MENGINGKARI, MAKA DIA TIDAK OBAHNYA SEPERTI KAUM YAHUDI”
SIAPA MEREKA ITU YANG MENYERUPAI YAHUDI?
KITALAH UMAT ISLAM KARENA KITAB TAURAT-ZABUR-INJIL MEREKA ADA PADA KITA JUGA DAN  KITALAH YANG SAAT INI YANG MASIH MEMBACA DAN MEMEGANGNYA. DAN HUKUM ALLAH INI AKAN SELALU BERLAKU ATAS KITA SEPANJANG MASA.

Dinukil dari Tafsir al-Azhar juz I-II hal 348 penerbit Pustaka Panjimas Jakarta

Selasa, 24 Januari 2012

“Lagi, Umat Islam Dituduh Tidak Toleran”

 
Ahad, 18 Desember 2011

oleh: Dr. Adian Husaini

SEJAK Perang Dingin berakhir, banyak kalangan di Barat yang berperilaku seperti yang disarankan Samuel Huntington: agar mewaspadai Islam!  Sebab, kata Huntington, dalam buku terkenalnya, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, Islam adalah satu-satunya peradaban yang pernah menaklukkan Barat. (Islam is the only civilization which has put the survival of the West in doubt, and it has done at least twice).  (Huntington, The Clash of Civilization …  1996: 209-210.

Islam dan umat Islam kemudian menjadi objek studi yang sangat menjanjikan. Berbagai LSM yang mengamat-amati Islam bermunculan di Indonesia. Isu-isu yang ‘laku dijual’ adalah seputar masalah Pluralisme, kebebasan beragama, multikulturalisme, kesetaraan gender, HAM, dan sebagainya. Istilah-istilah ini sebelumnya tidak dikenal oleh umat Islam. Tapi, banyak pihak yang kemudian menjadikan paham-paham itu sebagai tolok ukur kebenaran dan standar penilaian kebaikan. Baik tidaknya seorang Muslim diukur dengan istilah “radikal”, “eksklusif”, “inklusif”, “pluralis”, “HAM” dan sebagainya.

Istilah-istilah baru itu kemudian menggusur istilah-istilah baku dalam Islam, seperti “iman”, “Islam”, “sholeh”, “taqwa”, “ihsan”, “murtad”, “musyrik”, dan sebagainya. Artinya, seorang muslim akan dikenai  stigma negatif jika sudah kena label “radikal”, “eksklusif”, “anti-pluralisme”, “anti-multikulturalisme” dan sebagainya. Baik-buruknya seseorang tidak lagi diukur dengan kategori: iman-kufur, tauhid-syirik, adil-fasiq, halal-haram, dan sebagainya.

Belum lama, terbit sebuah buku berjudul Pluralisme dan Multikulturalisme, Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia (2011). Buku ini diberi kata ‘Pengantar Ahli’ oleh Prof. Dr. Muhaimin, M.A., guru besar UIN Malang.  Sang guru besar menulis, bahwa saat ini sudah “mendesak sekali “membumikan” pendidikan Islam berwawasan pluralisme dan multikulturalisme. Kesadaran akan pentingnya pluralisme dan multikulturalisme dipandang menjadi perekat baru integrasi bangsa yang sekian lama tercabik-cabik.” (hal. xiv).

Padahal, jika dibaca dengan serius, isi buku ini jelas-jelas mendukung liberalisasi pendidikan Islam. Disebutkan, bahwa diskursus pluralisme agama di Indonesia telah berkembang pesat. “Salah satu pertandanya adalah terbit buku Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis (2004). Buku yang ditulis 8 tokoh pembela pluralisme Islam di Indonesia ini adalah Nurcholish Madjid, Kautsar Azhari Noer, Komaruddin Hidayat, Masdar F. Mas’udi, Zainun Kamal, Budhy Munawar-Rahman, Ahmad Gaus AF, Zuhairi Misrawi, dan Mun’im A. Sirry – telah memberikan terobosan fundamental  terkait dengan masalah pluralisme dari sudut pemikiran keagamaan, karena mereka telah berhasil memberikan argumen teologis bagaimana pandangan Islam terhadap agama-agama lain, termasuk dalam persoalan ibadah praktis (fikh), mulai soal doa sampai pernikahan antaragama – dan sejak ini pula, argument Islam untuk pernikahan antaragama menjadi mapan, dan telah menghasilkan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam.” (hal. 124).

Seperti pernah kita ungkap dalam beberapa  Catatan, buku Fiqih Lintas Agama  terbitan Paramadina itu memang mempromosikan pernikahan beda agama dan memmbongkar hukum Islam tentang keharaman pernikahan muslimah dengan laki-laki non-Muslim. “Soal pernikahan laki-laki non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya.”  (Mun’im A. Sirry (ed), Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina dan The Asia Foundation, 2004), hal. 164).

Untuk membongkar hukum Islam, secara sistematis, buku ini mengawali uraiannya dengan melecehkan Imam Syafii rahimahullah:  “Kaum Muslim lebih suka terbuai dengan kerangkeng dan belenggu pemikiran fiqih yang dibuat imam Syafi’i. Kita lupa, imam Syafi’i memang arsitek ushul fiqih yang paling brilian, tapi juga karena Syafi’ilah pemikiran-pemikiran fiqih tidak berkembang selama kurang lebih dua belas abad. Sejak Syafi’i meletakkan kerangka ushul fiqihnya, para pemikir fiqih Muslim tidak mampu keluar dari jeratan metodologinya. Hingga kini, rumusan Syafi’i itu diposisikan begitu agung, sehingga bukan saja tak tersentuh kritik, tapi juga lebih tinggi ketimbang nash-nash Syar’i (al-Quran dan hadits). Buktinya, setiap bentuk penafsiran teks-teks selalu tunduk di bawah kerangka Syafi’i.” (Ibid., hal. 5).

Jika Imam Syafii yang agung dan sangat diakui keilmuannya oleh para ulama Islam sedunia dilecehkan dan direndahkan martabatnya semacam itu, tentu kita patut bertanya, sehebat apakah manusia-manusia yang melecehkannya ini? Adakah karya-karya ilmiah hebat yang telah mereka hasilkan dan diakui oleh para ulama dan cendekiawan Muslim sedunia?

Entah mengapa saat ini sejumlah pihak mengkaitkan pluralisme, multikulturalisme, dan toleransi beragama, dengan kasus pernikahan beda agama. Orang yang menolak pernikahan beda agama dicap sebagai tidak toleran, tidak pluralis, tidak berwawasan multikultural, dan sebagainya. Saat ini bermunculan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang membuat laporan tentang kondisi kerukunan umat beragama di Indonesia. 

Sesuai dengan panduan al-Quran (49:6), maka orang Muslim diajar untuk bersika kritis, tidak bersikap apriori, asal tolak atau asal terima saja. Telitilah informasi itu. Darimana sumbernya, dan bagaimana kebenaran logika dan argumentasi yang digunakannya.  Jika memang yang membawa berita adalah kaum fasik, maka berhati-hatilah!

Satu contoh lain dari analisis yang keliru dilakukan oleh Setara Institute dalam memandang konsep kerukunan beragama dan kaitannya dengan peran kelompok fundamentalis. Kelompok yang mengusung jargon “Institute for Democracy and Peace”  ini – dalam buku terbitannya yang berjudul Wajah Para ‘Pembela’ Islam, (Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2010), menyimpulkan bahwa kelompok Islam fundamentalis atau Islam radikal sering mengganggu kebebasan beragama/berkeyakinan warga masyarakat lain.
“Dengan mengenali organisasi-organisasi Islam radikal, diharapkan sejumlah langkah dapat dilakukan oleh negara untuk menghapus intoleransi dan diskriminasi agama/keyakinan. Menegakkan hukum bagi para pelaku kekerasan, intoleransi, dan diskriminasi serta melakukan deradikalisasi pandangan, perilaku dan orientasi keagamaan melalui kanal politik dan ekonomi adalah rekomendasi utama penelitian ini.” (hal. iv).
Salah satu kriteria untuk mengukur kadar toleransi suatu masyarakat adalah kesediaan untuk menerima perpindahan agama dan penerimaan terhadap pernikahan beda agama. Hasil survei kelompok ini di Jabodetabek, menunjukkan angka, 84,13 persen masyarakat tidak suka akan pernikahan beda agama. Lalu disimpulkan: “Dari temuan survei ini terlihat bahwa untuk perbedaan identitas dalam lingkup relasi sosial yang lebih luas (berorganisasi, bertetangga, dan berteman) masyarakat Jabodetabek secara umum lebih memperlihatkan sikap toleran. Namun, dalam lingkup relasi yang lebih personal dan menyangkut keyakinan (anggota keluarga menikah dengan pemeluk agama lain atau pindah ke agama lain) sikap mereka cenderung kurang toleran.” (hal. 65).

Survei itu juga menunjukkan data, bahwa orang yang beragama Islam menunjukkan penolakan yang lebih tinggi (82,6 persen) terhadap anggota keluarganya yang berpindah agama. Sementara, pemeluk agama selain Islam ada 45,4 persen yang menyatakan dapat menerima anggota keluarganya berpindah agama, karena soal agama adalah urusan pribadi. (hal. 66). Terhadap orang yang tidak beragama, hanya 25,2 persen responden yang menyatakan dapat menerima, karena menganggap agama hanyalah urusan pribadi. Terhadap fenomena ini, disimpulkan: “Singkatnya, secara umum tidak ada toleransi atas orang-orang yang tidak beragama. Tidak beragama masih dianggap sebagai sebuah tabu yang tidak dapat ditoleransi di mata kaum urban Jabodetabek.” (hal. 67).

Sikap responden terhadap aliran Ahmadiyah, hanya 28,7 persen yang berpendapat Ahmadiyah memiliki hak untuk menganut keyakinan mereka. Sedangkan 40,3 persen menganggap Ahmadiyah sesat, dan 45,4 persen menyatakan, sebaiknya AShmadiyah dibubarkan oleh pemerintah. Lalu dibuatlah komentar: “Temuan ini mengindikasikan adanya kecenderungan sikap keagamaan yang intoleran pada masyarakat Jabodetabek. Agar tidak mengakibatkan kerancuan pemahaman, maka perlu digarisbawahi bahwa kecenderungan toleran untuk beberapa hal, namun intoleran untuk sejumlah hal lain sebagaimana ditunjukkan oleh temuan survei ini, tetap harus dinyatakan sebagai ekspresi sikap intoleran. Hal ini didasarkan atas pengertian toleransi sebagai kemampuan dan kerelaan untuk menerima segala bentuk perbedaan identitas pihak lain secara penuh. Atas dasar itu, kegagalan untuk dapat menerima perbedaan identitas secara utuh  sama maknanya dengan sikap intoleran.” (hal. 75).

De-Islamisasi bahasa
   
Pakar sejarah dan linguistic, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan bahaya dari sebuah proses yang disebut “de-Islamization of language”. Bahasa adalah alat untuk memahami Islam. Dulu, saat Islam masuk dan menyebar di wilayah Nusantara, bahasa Melayu menjadi alat yang efektif, setelah melalui proses Islamisasi. Bahasa yang semula hanya digunakan oleh sebagian kecil masyarakat Nusantara, kemudian diperkaya dengan “istilah-istilah kunci” dalam Islam, seperti Allah, adil, taqwa, hikmah, ilmu, akal, fikir, dan sebagainya. Dengan istilah-istilah itu, maka seseorang menjadi mudah memahami konsep-konsep pokok dalam Islam.

Proses de-Islamisasi bahasa Melayu-Indonesia kini terus berlangsung sejalan dengan proses westernisasi. Istilah-istilah “toleran”, “kerukunan”, “radikal”, dimasukkan ke dalam kosa kata bahasa Indonesia dengan makna yang tidak sesuai dengan konsep Islam. Orang tua yang tidak mau merestui pernikahan anaknya dengan orang yang berbeda agama dicap tidak toleran. Begitu juga orang tua yang tidak menerima anak atau anggota keluarga yang berpindah agama.

Tentu saja, dalam pandangan Islam, apa yang dilakukan oleh lembaga survei semacam itu jelas sangat keliru.  Lembaga ini telah mengaburkan dan merusak makna toleransi. Orang-orang yang berpegang teguh pada ajaran agamanya diberi cap intoleran dan radikal. Ini juga suatu kezaliman. Lebih disayangkan juga, bahwa di antara tokoh penting  yang menyebarkan konsep “kesetaraan” dan toleran yang keliru itu adalah Muslim.

Kaum Muslim secara umum tentu akan menolak konsep toleransi semacam itu. Dalam artikelnya di Jurnal Islamia Republika (Kamis, 15/12/2011) ulama muda NU Muhammad Idrus Ramli, menulis beberapa rambu-rambu dalam bertoleransi. Menurut Gus Idrus, para ulama fuqaha dari berbagai madzhab membolehkan seorang Muslim memberikan sedekah sunnah kepada non Muslim yang bukan kafir harbi. Demikian pula sebaliknya, seorang Muslim diperbolehkan menerima bantuan dan hadiah yang diberikan oleh non Muslim. Para ulama fuqaha juga mewajibkan seorang Muslim memberi nafkah kepada istri, orang tua dan anak-anak yang non Muslim.

Di sisi lain, karena seorang Muslim bertanggungjawab menerapkan basyiran wa nadziran lil-‘alamin, Islam melarang umatnya berinteraksi dengan non Muslim dalam hal-hal yang dapat menghapus misi dakwah Islam terhadap mereka. Mayoritas ulama fuqaha tidak memperbolehkan seorang Muslim menjadi pekerja tempat ibadah agama lain, seperti menjadi tukang kayu, pekerja bangunan dan lain sebagainya, karena hal itu termasuk menolong orang lain dalam hal kemaksiatan, ciri khas dan syiar agama mereka yang salah dalam pandangan Islam. “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. al-Ma’idah : 2).

Tentang Doa bersama Lintas Agama, Idrus menulis, bahwa dewasa ini juga agak marak dilakukan. Sebagian beralasan Islam rahmatan lil-‘alamin.  Padahal, karakter rahmatan lil-‘alamin, sebenarnya tidak ada kaitannya dengan doa bersama lintas agama. Sebagaimana dimaklumi, doa merupakan inti dari pada ibadah (mukhkhul ‘ibadah), yang dilakukan oleh seorang hamba kepada Tuhan. Tidak jarang, seorang Muslim berdoa kepada Allah, dengan harapan memperoleh pertolongan agar segera keluar dari kesulitan yang sedang dihadapi. Tentu saja, ketika seseorang berharap agar Allah segera mengabulkan doanya, ia harus lebih berhati-hati, memperbanyak ibadah, bersedekah, bertaubat dan melakukan kebajikan-kebajikan lainnya. Dalam hal ini, semakin baik jika ia memohon doa kepada orang-orang shaleh yang dekat kepada Allah. Hal ini sebagaimana telah dikupas secara mendalam oleh para ulama fuqaha dalam bab shalat istisqa’ (mohon diturunkannya hujan) dalam kitab-kitab fiqih.

Ada dua pendapat di kalangan ulama fuqaha, tentang hukum menghadirkan kaum non Muslim untuk doa bersama dalam shalat istisqa’. Pertama, menurut mayoritas ulama (madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali), tidak dianjurkan dan makruh menghadirkan non-Muslim dalam doa bersama dalam shalat istisqa’. Hanya saja, seandainya mereka menghadiri acara tersebut dengan inisiatif sendiri dan tempat mereka tidak berkumpul dengan umat Islam, maka itu tidak berhak dilarang.

Kedua, menurut madzhab Hanafi dan sebagian pengikut Maliki, bahwa non Muslim tidak boleh dihadirkan atau hadir sendiri dalam acara doa bersama shalat istisqa’, karena mereka tidak dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan berdoa. Doa istisqa’  ditujukan untuk memohon turunnya rahmat dari Allah, sedangkan rahmat Allah tidak akan turun kepada mereka. Demikian kesimpulan pendapat ulama fuqaha dalam kitab-kitab fiqih. Maka, jika doa diharapkan mendatangkan rahmat dari Allah, sebaiknya didatangkan orang-orang saleh yang dekat kepada Allah, bukan mendatangkan orang-orang yang yang jauh dari kebenaran.

Forum Bahtsul Masail al-Diniyah al-Waqi’iyyah Muktamar NU di PP Lirboyo Kediri, 21-27 November 1999, menyatakan, bahwa “Doa Bersama Antar Umat Beragama” hukumnya haram. Diantara dalil yang mendasarinya: Kitab Mughnil Muhtaj, Juz I hal. 232: “Wa laa yajuuzu an-yuammina ‘alaa du’aa-ihim kamaa qaalahu ar-Rauyani li-anna du’aal kaafiri ghairul maqbuuli.” (Lebih jauh, lihat:  Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam: Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004), penerbit: Lajtah Ta’lif wan-Nasyr, NU Jatim, cet.ke-3, 2007, hal. 532-534). (Wallahu a’lam).*

Penulis Ketua Program Studi Pendidikan Islam—Program Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor

TUHAN BARU DI LADANG TUAIAN

“Sang Hyang Yesus?”

 
Sabtu, 19 November 2011

Oleh: Dr. Adian Husaini

PADA hari Senin (14/11/2011), bertempat di Jakarta, Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) dan Center for Advanced Studies on Islam, Science, and Civilisation (Casis)—Universiti Teknologi Malaysia, menyelenggarakan suatu seminar internasional bertajuk “SEJARAH DAN PERANAN ISLAM DALAM PEMBANGUNAN DAN KESATUAN BANGSA.”

Sejumlah pembicara dari Indonesia dan Malaysia yang hadir adalah Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud (Direktur Casis-UTM), yang bertindak sebagai keynote speaker. Prof. Dr. Muhammad Zainy Uthman (Casis), membahas masalah bertajuk: Tranformasi Minda Umat dalam Sejarah Dunia Melayu; Dr. Khalif Muammar (Casis) menyampaikan presentasi bertajuk: Kerangka Pemikiran Melayu Tradisional; Prof. Dr. Didin Saefuddin Buchori (Universitas Ibn Khaldun Bogor) menyampaikan presentasi dengan tajuk: Perlunya Pelurusan Pemahaman Sejarah. Pada sesi berikutnya, tampil beberapa sejarawan dan budayawan muda dari INSISTS, yaitu Tiar Anwar Bahtiar, Arif Wibowo, Susiyanto, dan Muhammad Isa Anshary.
Mereka membahas makalah-makalah yang bertemakan tentang Islam dan Budaya Sunda serta Budaya Jawa.
Dalam paparannya, Prof. Wan Mohd Nor berbicara tentang keberhasilan para pendakwah Islam yang mampu menjadikan Islam menjadi identitas peradaban Melayu. Persatuan Islam dan Melayu itu kemudian dalam sejarahnya dilembagakan menjadi identitas sosial, budaya, bahkan politik. Melayu adalah muslim. Jika seorang keluar dari Islam, maka dia tidak diakui lagi sebagai “Melayu”.
Dalam buku karyanya, Budaya Ilmu dan Gagasan 1 Malaysia: Membina Negara Maju dan Bahagia – yang diberi kata pengantar oleh Perdana Menteri Malaysia, Prof. Wan menyebutkan bahwa: “Negara yang maju ialah negara yang mensejahterakan dan membahagiakan rakyatnya dengan mencapai maqasid al-syariah. Itulah Negara (baldatun tayyibah) yang diredai Allah SWT. (QS Saba:15).”
Dalam buku yang disebarkan ke seluruh penjuru Malaysia ini, Prof. Wan Mohd Nor juga menguraikan konsep Negara ideal laksana “pohon yang kokoh dan rindang” menurut Imam al-Ghazali sebagaimaan dijelaskan dalam QS Ibrahim: 24-25.
Suatu Negara yang menerapkan konsep maqasid syariah, adalah yang menerapkan aqidah dan syariat Islam dengan tujuan: menjaga agama (hifdud-ddin), menjaga jiwa (hifdun-nafsi), menjaga akal (hifdul-aqli), menjaga keturunan (hifdun-nasli), dan menjaga harta (hifdul-maal).
Itu yang terjadi di Malasyia, yang meskipun jumlah kaum Muslim hanya sekitar 60 persen, tetapi menempatkan Islam sebagai “agama persekutuan”. Malaysia meletakkan dirinya sebagai kelanjutan dari peradaban Melayu Islam, sehingga secara politik tidak mempertentangkan antara Islam dan negara.
Bagaimana dengan Indonesia? Para pejabat Indonesia sering menyatakan, bahwa Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Namun, hingga kini, para pemimpin Negara yang Muslim yang banyak yang enggan untuk mengidentikkan Indonesia dengan Islam. Lihatlah, saat upacara pembukaan Sea Games, di Palembang, 11 November 2011! Simbol yang ditampilkan oleh delegasi Indonesia adalah Candi Borobudur, Komodo, dan Batik. Simbol Islam ditampilkan oleh Presiden SBY dalam sambutan pembukaan yang mengucapkan “Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh”, “Dengan memohon ridha Allah SWT” dan “Bismillahirrahmanirrahim”.
Dalam makalahnya yang berjudul “Mencari Wujud Kebudayaan Jawa”, Arif Wibowo – alumnus Magister Pemikiran Islam—Universitas Muhammadiyah Surakarta -- mengungkapkan pembangunan dan eksistensi Candi Borobudur yang kontroversial.
Penggambaran seolah-solah bangunan-bangunan besar Candi Borobudur dan Prambanan menunjukkan kokohnya eksistensi agama Budha dan Hindu Jawa, tidaklah benar. Kedua bangunan itu lebih mencerminkan pertarungan antar elite kekuasaan. Dinasti Syailendra, kaki tangan Kerajaan Sriwijaya Palembang di Jawa membangun Borobudur. Para penguasa lokal yang beragama Hindu Syiwa memandang keluarga Syailendra sebagai penjajah asing yang baru saja menancapkan pengaruhnya.
Akhirnya pada tahun 856 M, Syailendra berhasil dikalahkan. Untuk mengenang kemenangan ini Rakai Pikatan membangun candi Prambanan, sebagai monumen kemenangan kekuasaan Hindu atas kekuasaan Budha. (Lihat, Paul Michel Munoz, Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia (Perkembangan Sejarah dan Budaya Asia Tenggara, Jaman Prasejarah – Abad XVI) , (Yogyakarta : Media Abadi, 2009) hal. 318-323).
Yang paling menderita di era kebudayaan candi ini tentu saja rakyat jelata dari kasta Sudra dan Paria. Para petani, peternak dan pedagang kecil yang termasuk dalam kasta tersebut dipaksa untuk melakukan kerja bakti membangun candi yang berlangsung selama puluhan tahun. Akibatnya mata pencaharian pun terbengkalai, demikian juga kehidupan keluarganya.
Oleh karena itu, untuk menghindari kewajiban kerja bakti kepada para raja, penduduk memilih untuk eksodus keluar dari pusat-pusat pembangunan candi. (Ahmad Manshur Suryanegara, Api Sejarah, Jilid. I, (Bandung : Salamadani, 2009) hal. 55.).
Hal ini juga dikuatkan oleh kajian dari Prof. Denys Lombard yang menyatakan bahwa penghentian pembangunan gedung-gedung batu berskala besar lebih banyak disebabkan karena kerajaan Budha dan Hindu mengalami kemunduran karena ditinggalkan rakyatnya sendiri yang lebih memilih eksodus ke kota-kota pelabuhan dan sekitarnya. (Dennys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya 2 : Jaringan Asia (terj). (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008) hal. 189).
Penguasa selanjutnya dari kalangan Hindu juga masih tidak membawa kenyamanan bagi masyarakat. Sebab pada masa selanjutnya, Hindu, Budha dan aneka kepercayaan lokal telah merubah wajah ajaran Hindu dan Budha pada bentuk baru yakni Syiwa Budha Bhairawa Tantra. Kepercayaan Siwa-Budha Bhairawa Tantra ini menghasilkan bentuk ritual yang disebut sebagai upacara Pancamakara atau lebih dikenal dengan upacara Ma-lima.
Menurut S. Wojowasito, bentuk upacara (ritual) dari sekte ini sangat mengerikan.. (Wojowasito,S, Sedjarah Kebudajaan Indonesia, Indonesia Sedjak Pengaruh India, (Jakarta : Penerbit Siliwangi, 1952) hal. 148).
Ritual ma lima terdiri dari matsiya (memakan ikan gembung beracun), manuya (minum darah dan memakan daging gadis yang dijadikan kurban), madya (meminum minuman keras hingga mabuk), mutra (menari sampai ekstase), dan maithuna (ritual seks massal di tanah lapang yang disebut setra). (HM Rasyidi, Islam dan Kebatinan (Jakarta : Bulan Bintang, 1967) hal. 95).
Adityawarman, seorang Radja dari kerajaan Melayu (yang menjadi menantu raja Majapahit) menerima penasbihannya di tengah-tengah lapangan bangkai, sambil duduk di atas timbunan bangkai, tertawa minum darah, menghadapkan kurban manusia yang menghamburkan bau busuk, tetapi bagi Adityawarman sangat semerbak baunya. (Wojowasito, Sedjarah Kebudajaan Indonesia, Indonesia Sedjak Pengaruh India, hal. 149).
Proses ini jelas tergambar dalam patung Adityawarman di Museum Nasional yang digambarkan tengah memegang cawan darah, gelas anggur dan ratusan tengkorak yang mengalungi hampir semua bagian tubuhnya.
Proses Islamisasi di Nusantara kemudian berhasil mengubah identitas agama dan budaya sebagian besar masyarakat Nusantara menjadi Islam. Peradaban Melayu mencakup seluruh wilayah di Nusantara, apa pun suku bangsanya. Identitas Islam inilah yang kemudian secara sistematis berusaha dipisahkan oleh kaum penjajah.
Salah satunya adalah dengan cara mengangkat dan membesarkan zaman pra-Islam. Itulah yang misalnya dilakukan dengan memitoskan kebesaran Majapahit.
Pada CAP lalu, sudah kita kutip, misalnya, suara dari Majalah Media Hindu (Oktober, 2011) yang menyatakan: “Kembali menjadi Hindu adalah mutlak perlu bagi bangsa Indonesia apabila ingin menjadi Negara Adidaya ke depan, karena hanya Hindu satu-satunya agama yang dapat memelihara & mengembangkan Jatidiri bangsa sebagai modal dasar untuk menjadi negara maju.”
Namun, suara-suara yang memitoskan kebesaran Majapahit (“Majapahitisme”) juga telah mendapatkan kritik dari kalangan kaum Hindu sendiri. Majalah Hindu, RADITYA, (edisi September 2008) menurunkan laporan utama yang mengkritik pengagungan Majapahit:
“Majapahitisme atau keterpesonaan terhadap Hindu di zaman majapahit tidaklah ideal. Pertama, karena pada masanya saja, masyarakat Hindu Majapahit gagal mempertahankan eksistensinya, gara-gara lebih banyak terlibat konflik internal bikinan elite Majapahit ketika itu. Siwa-Budha kala itu pun tidak bisa berperan banyak dalam mewujudkan masyarakat yang rukun, tat twam asi dan sejenisnya. Majapahit selain berhasil menundukkan banyak daerah bawahan, juga sibuk perang saudara. Agama di dalam masyarakat seperti ini lebih menjadi bersifat gaib, eksklusif, hanya untuk berhubungan dengan dewa-dewa yang abstrak. Agama Siwa Budha meskipun sudah menjadi agama kerajaan tidak bisa diamalkan oleh elite di sana yang lebih dikuasai motif politik, motif perebutan kekuasaan. Agama gagal menginspirasi kehidupan sehari-hari tentang hal-hal lebih praktis menyangkut pola interaksi antarindividu…Jika Majapahit meninggalkan hal-hal pahit bagi penganut Hindu ketika itu, lantas apa enaknya mengenang hal-hal pahit?”
Jadi, menurut majalah RADITYA, impian untuk kembali ke Majapahit justru merugikan kaum Hindu sendiri. Analisis majalah Hindu ini menarik, sebab ini terkait dengan identitas nasional Indonesia yang sering dicitrakan identik dengan Hindu, Budha, dan Sansekerta. Jika ditampilkan Candi Hindu Prambanan dan Candi Budha Borobudur, maka itu dikatakan sebagai “identitas nasional”. Tapi, jika ditampilkan Masjid, maka seolah-olah dianggap bukan identitas nasional. Tengoklah ornamen-ornamen di Bandara Soekarno-Hatta! Bandara internasional itu dipenuhi dengan simbol-simbol Hindu-Budha yang dianggap sebagai symbol nasional. Tapi, tidak tampak simbol-simbol Islam, seperti kaligrafi ayat al-Quran, Masjid, dan sebagainya.
Masalah simbol atau identitas bagi suatu agama atau peradaban merupakan hal yang penting dan terkadang juga sensitif. Kaum Hindu di Bali melakukan protes ketika simbol-simbol dan identitas agamanya direbut oleh kaum Kristen. Sebab, menurut mereka, identitas Hindu dibajak untuk tujuan pengkristenan orang Hindu. Majalah Media Hindu, (edisi November 2011) menulis tentang masalah ini:
“Sebenarnya bahaya laten yang seolah tidak kelihatan tapi jauh lebih berbahaya adalah upaya-upaya sistematis orang-orang Kristen untuk menjadikan seluruh penduduk Bali menjadi pengikut Yesus (menjadi Kristen) dan saat ini pun masih berjalan terus. Penampilan fisik yang sama dengan pura, memakai upacara mirip “Hindu Bali” bisa menyesatkan orang-orang Bali beragama yang umumnya lugu dan toleran. Lebih lagi bila sebutan tuhan yang disembah di “Pura Gereja” ini dimirip-miripkan dengan Tuhan orang Hindu Bali, misalnya Sang Hyang Yesus, Sang Hyang Allah Aji, Ratu Biang Maria, misalnya.”
Tahun 2011 ini, Penerbit Paramita Surabaya, menerbitkan buku berjudul “Membedah Kasus Konversi Agama di Bali: Kronologi, Metode, Misi dan Alasan di Balik Tindakan Konversi Agama dari Hindu ke Kristen dan Katolik di Bali serta Pernik-pernik Keagamaan di Dunia”, karya Ni Kadek Surpi Aryadharma.
Penulis buku ini mengkritik penggunaan atribut kebudayaan Hindu Bali dalam aktivitas keagamaan Kristen: “Jika dicermati, sesungguhnya apa yang dilakukan oleh umat Kristen di Bali adalah keliru. Sebab dalam aturan yang disepakati oleh lembaga-lembaga agama dan pemerintah telah ditentukan tidak boleh mengambil tatanan ibadah dari agama lain. Karena itu orang Kristen di Bali mestinya tidak mengambil simbol-simbol keagamaan Hindu.” (hal. 55). “…karena itu budaya agama Hindu itu 100% tidak boleh digunakan oleh orang Kristen.” (hal. 260).
Menurut buku ini, misi Kristen merupakan kejahatan agama yang harus diperangi. “…program misi dan konversi agama harus diperangi, dilawan dan diberantas habis sampai tuntas karena hal itu merupakan kejahatan atas nama agama.” (hal. 260). “Jadi, janganlah sapi-sapi Hindu ditangkapi oleh penggembala domba Kristen dan dimasukkan ke dalam kandang domba. Ingat, jika sapi-sapi yang ditangkapi itu suatu saat jengkel karena stress dan kemudian ngamuk dalam kandang domba, maka bukan saja domba-domba dalam kandang yang kacau-balau, bisa-bisa penggembalanya juga ikut diseruduk. Ingat peristiwa seorang misionaris dibunuh oleh convert-nya sendiri.” (hal. 258).
Salah satu yang diprotes kaum Hindu tadi adalah penggunaan istilah Hindu untuk menyebut Tuhan kaum Kristen, seperti “Sang Hyang Yesus”, “Sang Hyang Allah Aji”, “Ratu Biang Maria”, dan lain-lain. Pemerintah Malaysia juga melarang kaum Kristen untuk menggunakan kata Allah untuk menyebut Tuhan mereka. Sebab, Allah adalah nama Tuhan yang resmi disebut dalam al-Quran. Allah – dalam al-Quran – memiliki sifat-sifat tertentu yang tidak bisa diberi sifat sembarangan. Misalnya, Allah sendiri yang menjelaskan sifat-sifat-Nya, bahwa Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan; bahwa Dia tidak serupa dengan sesuatu pun.
Sementara itu, kitab kaum Kristen – baik Perjanjian Lama (bahasa aslinya Ibrani) dan Perjanjian Baru (bahasa aslinya Yunani Kuno) – memang tidak menyebut nama Tuhan mereka. Karena itulah, dalam tradisi Kristen, tidak ditemukan penyebutan nama Tuhan yang baku, sehingga mereka boleh menyebut Tuhan mereka, sesuai dengan tradisi atau kemauan mereka.
Pendeta A.H. Parhusip, dalam sebuah buku kecil yang ditulisnya, dengan judul Waspadalah terhadap Sekte Baru, Sekte Pengagung Yahweh (2003), menulis tentang kebebasan menyebut nama Tuhan ini:
”Lalu mungkin ada yang bertanya: Siapakah Pencipta itu dan bagaimanakah kalau kita mau memanggil Pencipta itu? Jawabnya: Terserah pada Anda! Mau panggil; Pencipta! Boleh! Mau panggil: Perkasa! Silahkan! Mau panggil: Debata! Boleh! Mau panggil: Allah! Boleh! Mau panggil: Elohim atau Theos atau God atau Lowalangi atau Tetemanis...! Silakan! Mau memanggil bagaimana saja boleh, asalkan tujuannya memanggil Sang Pencipta, yang menciptakan langit dan bumi... Ya, silakan menyebut dan memanggil Sang Pencipta itu menurut apa yang ditaruh oleh Pencipta itu di dalam hati Anda, di dalam hati kita masing-masing. Lihat Roma 2:14-15.”
Kaum Kristen menggunakan nama Tuhan sesuai dengan budaya setempat dan untuk tujuan tertentu, seperti tujuan misi Kristen. Di Barat mereka tidak menyebut nama Tuhan. Di wilayah Arab, kaum Kristen meminjam sebutan Tuhan yang biasa digunakan oleh masyarakat di sana, yaitu “Allah”. Dalam Penjelasan Lembaga Alkitab Indonesia, tertanggal 21 Januari 1999, ditandantangani oleh Sekretaris Umumnya, Supardan, kata Allah di Indonesia mulai digunakan sejak abad ke-16. Tentu, ini juga untuk tujuan Misi, karena kaum Muslim di wilayah ini sudah menyebut Tuhan dengan nama Allah, sesuai dengan yang tercantum dalam Kitab Suci al-Quran. Kaum Kristen yang menyebarkan agama di wilayah Nusantara adalah Kristen Barat yang tidak punya nama Tuhan.
Samin Sitohang dalam bukunya, Siapakah Nama Sang Pencipta? Menjawab Kontroversi Sekitar Pemakaian Nama Allah dalam Alkitab, menulis: “Jadi, jika Alkitab bahasa Indonesia menggunakan Allah untuk nama Sang Pencipta, itu berarti Roh Allah sedang menyiapkan umat-Nya yang berasal dari golongan lain untuk menerima Injil karena mereka tidak perlu harus membuang Allah untuk mendapatkan nama Sang Pencipta yang baru.”
Jika kaum Hindu memprotes penggunaan istilah “Sang Hyang Yesus” oleh kaum Kristen, apa umat Islam juga harus protes kepada kaum Kristen, karena kata Allah dipinjam oleh mereka? Wallahu a’lam bil-shawab. (Depok, 18 November 2011).

Penulis Ketua Program Studi Pendidikan Islam—Program Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor
“Misi Kristen di Buku Sejarah SMP”

 
Kamis, 25 Agustus 2011

Oleh: Dr. Adian Husaini

DALAM sebuah buku Sejarah untuk siswa SMP kelas VIII (Jakarta: Erlangga, 2006), diuraikan satu bab khusus berjudul “Perkembangan Kristen di Indonesia”. Bab ini dibuka dengan uraian berikut: “Mengapa perlu mempelajari bab ini? Penyebaran Kristen di Indonesia berintikan damai dan cinta kasih. Namun, karena intervensi politik Barat, timbul kesan penyebaran Kristen identik dengan kolonialisme dan imperialisme. Dengan mempelajari bab ini, kita diajak untuk semakin sadar betapa campur tangan politik dapat merusak nilai-nilai luhur yang terkandung pada setiap agama.”

Pada bagian selanjutnya dijelaskan tentang kendala penyebaran agama Kristen di Indonesia: “Para penguasa dan penduduk setempat mencurigai para rohaniwan sebagai sekutu Portugis ataupun Belanda. Tindakan penindasan yang dilakukan para pedagang maupun pemerintah kolonial menimbulkan kesan bahwa Kristen identik (sama saja) dengan kolonialisme. Padahal para rohaniwan selalu datang dengan maksud damai.” (hal. 61)
Inilah salah satu contoh materi sejarah yang diajarkan kepada para pelajar SMP. Benarkah isi buku pelajaran sejarah tersebut? Ada baiknya kita simak penjelasan dari kalangan Kristen sendiri!
Pada tahun 2010, juga rangka memperingati 150 tahun Huria Kristen Batak Prostestan, Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, bekerjasama dengan Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, Ecole francaise d,Extreme-Orient, dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia menerbitkan sebuah buku berjudul Utusan Damai di Kemelut Perang, Peran Zending dalam Perang Toba: Berdasarkan Laporan L.I. Nommensen dan Penginjil RMG Lain, karya Prof. Dr. Uli Kozok, seorang professor kelahiran Jerman.
Prof. Uli Kozok membuka bukunya dengan sebuah kutipan seorang tokoh Gereja se-Dunia, Ph. Potter: “Gerakan penginjilan […] bermula bertepatan dengan waktu munculnya kolonialisme, imperialisme dan – sebagai akibatnya – rasisme. Oleh sebab itu maka gerakan penginjilan secara hakiki terkait dengan sejarah rasisme.”
Berdasarkan dokumen-dokumen di lembaga misi di Jerman yang mengirimkan Nommensen ke Tanah Batak, yaitu Rheinische Missions-Geselschaft (RMG), Prof. Uli Kozok menemukan fakta pengakuan Ludwig Ingwer (L.I.) Nommensen, tokoh misionaris Jerman di Tanah Batak, bahwa dia bergabung dengan pasukan Belanda untuk melawan gerakan perlawanan para pahlawan Batak yang dipimpin Sisingamangaraja XII. Laporan Berichte Rheinische Missionsgeselschaft (BRMG), menunjukkan, para penginjil justru bersekutu dengan tentara penjajah dalam menumpas perlawanan Sisingamangaraja XII. Lebih jauh Prof. Kozok mencatat:
“Pemerintah Belanda akhirnya mengabulkan permintaan Nommensen, sehingga terbentuk koalisi Injil dan pedang yang sangat sukses karena kedua belah pihak memiliki musuh yang sama: Sisingamangaraja XII yang oleh zending dicap sebagai “musuh bebuyutan pemerintah Belanda dan zending Kristen.” Bersama-sama mereka berangkat untuk mematahkan perjuangan Sisingamangaraja. Pihak pemerintah dibekali dengan persenjataan, organisasi, dan ilmu pengetahuan peperangan modern, sementara pihak zending dibekali dengan pengetahuan adat istiadat dan bahasa. Kedua belah pihak, zending Batak dan pemerintah kolonial, saling membutuhkan dan saling melengkapi, dan tujuan mereka pun pada hakikatnya sama: memastikan bahwa orang Batak “terbuka pada pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa. (BRMG 1882:202)” (hal. 92).
Dalam perang menumpas perjuangan Sisingamangaraja XII, pihak zending Kristen berhasil meyakinkan ratusan raja di tanah Batak agar berhenti mengadakan perlawanan dan menyerah kepada kekuasaan Belanda:
“Dukungan dan bantuan para misionaris yang mendampingi ekspedisi militer hingga ke Danau Toba juga mempunyai tujuan lain, yaitu meyakinkan masyarakat bahwa perlawanan mereka sia-sia saja dan mendesak mereka agar menyerahkan diri.” (JB 1878:31). (hal. 93).
Sementara, para raja yang tidak mau menyerah, didenda dan kampung mereka dibakar. Atas jasa para misionaris, terutama Nommensen dan Simoncit, pemerintah kolonial Belanda memberikan penghargaan resmi, melalui sebuah surat:
“Pemerintah mengucapkan terimakasih kepada penginjil Rheinische Missions-Geselschaft di Barmen, terutama Bapak I. Nommensen dan Bapak A. Simoncit yang bertempat tinggal di Silindung, atas jasa yang telah diberikan selama ekspedisi melawan Toba. (BRMG 1879:169-170).” (hal. 93-94).
Selain surat penghargaan, para misionaris juga mendapat hadiah sebesar 1000 Gulden dari pemerintah kolonial yang dapat diambil setiap saat. Kerjasama antara misionaris Kristen dan penjajah Belanda berlangsung sampai Pahlawan Sisingamangaraja XII tewas dalam pertempuran tahun 1907. Dukungan kaum misionaris kepada pemerintah penjajah juga dimaksudkan untuk mencegah masuknya Islam ke Tanah Batak. (BRMG 1878:94).
Sikap pro-penjajah dari kaum Misionaris bukan hanya saat Perang Toba melawan Sisingamangaraja XII. Sikap para misionaris Kristen ini masih terus berlangsung di kemudian hari. BRMG 1897: 278-279 menulis laporan berjudul “Wie weiter auf Sumatra?” (Bagaimana Kelanjutannya di Sumatra?). Batakmission mengaku mengalami kendala untuk melakukan misi Kristen di Samosir, sebab Samosir masih merupakan “Tanah Batak Merdeka”. Selanjutnya, BRMG mencatat:
“Oleh sebab itu, “dapat dimengerti bahwa penginjil kita sangat menghendaki agar pemerintah Belanda menduduki Samosir.” Lagipula, konferensi penginjil tahun 1897 telah memutuskan bahwa “penginjilan dapat dilakukan dengan lebih tenang dan dengan lebih banyak sukses di bawah perlindungan pemerintah Eropa.” (hal. 103).
Menurut catatan sejarah, kerjasama misionaris Kristen Batak dengan penjajah Belanda diakui dengan bangga oleh para misionaris Batak. Belanda juga mempersenjatai kaum Kristen Batak dengan 50 bedil. Sebab, jika orang Batak menjadi Muslim, mereka tidak mungkin setia kepada pemerintah penjajah. BRMG 1878:154 mencatat:
“Betapa orang Batak Kristen dapat diandalkan tampak jelas sekarang. Sebagai orang Islam, orang Batak takkan mungkin menjadi rakyat yang patuh pada Belanda. […] memang benar orang Silindung yang Kristen adalah teman setia Belanda, dan pasukan bantuan mereka berperang bersama pasukan Belanda.”. (hal. 106).
Dalam surat-surat yang dikirim tokoh misionaris I. Nommensen, tampak jelas digunakannya istilah “musuh” untuk Sisingamangaraja XII dan rakyat Batak yang berusaha mempertahankan kemerdekaan mereka. Misalnya, dia tulis: “Setelah kami bekerja dengan tenang selama beberapa hari, musuh kami yang jahat bergerak lagi”… “Kebanyakan musuh berasal dari daerah sekitar Danau Toba, dari Butar dan Lobu Siregar, digerakkan oleh Sisingamangaraja, seorang demagog yang menghasut dan mencelakakan rakyatnya.” (hal. 107).
Dalam suratnya yang lain, Nommensen mencatat: “Hal yang paling penting adalah bahwa Toba keluar dari isolasinya, terbuka pada pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa sehingga dengan sangat mudah zending kita bisa masuk… (BRMG 1882:302).” (hal. 108).
Sebuah surat tentang pentingnya penaklukan Toba oleh penjajah Belanda dan misi Kristen dalam rangka menghambat masuknya pengaruh Islam, ditulis oleh laporan BRMG 1882 (7): 202-205:
“Perang dan penaklukan Toba sangat mendukung dan mempercepat pembukaan pos penginjilan. Walaupun tidak secara langsung, para penginjil kita di Silindung memainkan peranan yang cukup besar dalam ekspedisi militer Belanda terhadap Toba. Upaya mereka untuk menyebarkan Injil di Silindung mendapatkan perlawanan dari Sisingamangaraja yang dulu maupun Sisingamangaraja yang sekarang. Karena sudah kehilangan sebagian besar kekuasaannya, keduanya berusaha memperoleh kembali pengaruhnya yang hilang dengan mengusir para penginjil. Sisingamangaraja terutama memusuhi agama Kristen, akan tetapin karena ia bersekutu dengan orang Aceh di Utara maupun dengan Batak Islam di Timur maka kegiatan mereka juga memusuhi pemerintah Belanda. Dengan demikian sangat bijaksana keputusan pemerintah untuk langsung bertindak memperluas dan memperkokoh kekuasaannya, mengingat tindak-tanduk orang Aceh dan jaringan mereka yang makin hari makin ketat dan luas.” (hal. 153-154).
Dalam bukunya, Prof Uli Kozok juga menunjukkan data bahwa hubungan erat antara misi Kristen dan Penjajahan memang sudah menjadi suatu kelaziman. Paus Pius XI, misalnya, melalui surat kabar Vatikan, Osservatore Romano, 24 Februari 1935, pernah secara eksplisit mengeluarkan pernyataan yang mendukung penjajahan:
“Penjajahan merupakan keajaiban yang diwujudkan dengan kesabaran, keberanian dan cinta kasih. Tiada bangsa atau ras yang berhak hidup terisolir. Penjajahan tidak berlandaskan penindasan tetapi berdasarkan prinsip moralitas tertinggi, penuh dengan cinta kasih, kedamaian dan persaudaraan. Gereja Katolik senantiasa mendukung penjajahan, asal dilaksanakan dengan jujur dan manusiawi tanpa menggunakan kekerasan. Oleh sebab itu kami melihatnya sebagai sesuatu yang memiliki daya dan keindahan yang luar biasa.” (hal. 85-86).
Bukan hanya kolonialisme, ideologi rasisme juga ditanamkan kepada para misionaris dari Rheinische Missions-Geselschaft (RMG). Seorang petinggi RMG, Ludwig von Rohden (1815-1889), berpendapat bahwa semua manusia adalah keturunan Nabi Nuh, yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia. Ada lima warna kulit yang dimiliki keturunan Nabi Nuh itu: putih, kuning, merah, coklat dan hitam. Menurutnya, warna kulit ditentukan oleh kadar dosa masing-masing. Semakin berdosa sebuah bangsa, maka akan semakin hitam warna kulitnya. Kata Ludwig von Rohden dalam sebuah tulisannya:
“Secara bertahap-tahap manusia menjauhkan diri dari sumber kehidupan ilahi. Semakin jauh [sebuah bangsa] menjauhkan diri, semakin merosot moral dan kecerdasan, seiring dengan itu juga postur, bentuk tubuh dan warna kulitnya. Bangsa yang paling dekaden mendapatkan warna kulit paling hitam, dan bentuk tubuhnya menjadi mirip dengan binatang. Namun perbedaan hakiki antara manusia dan binatang masih tetap ada: ialah jiwa yang dihembuskan Allah kepada jasad sebagai bagian kehidupan ilahi.” (hal. 59).
Menurut Rohden, bangsa berkulit hitam bisa menjadi putih kulitnya jika mereka menjadi Kristen:
“Negro yang paling rendah derajat pun masih bisa diangkat menjadi manusia terdidik bila dididik dengan cara yang tepat melalui pengaruh Kekristenan yang bersifat menyembuhkan. Seiring dengan [proses penyembuhan] itu, maka raut muka yang kebinatangan menghilang, pandangan mata dan tubuhnya akan menjadi lebih sempurna, bahkan warna kulitnya secara turun-temurun bisa menjadi lebih putih.” (hal. 60).

Itulah fakta dan data tentang misi Kristen yang ditampilkan Prof. Uli Kozok – guru besar dan ketua jurusan bahasa Indonesia di Universitas Hawai. Gambaran misi Kristen yang berkolaborasi dengan penjajah itu jauh sekali bedanya dengan isi buku Sejarah yang kini diajarkan kepada anak-anak Muslim di sekolah-sekolah tingkat SMP.
Seyogyanya, para pimpinan sekolah Islam, para guru, dan orang tua sadar benar akan kekeliruan besar semacam ini. Sungguh ironis, jika ada lembaga pendidikan Islam yang mengajarkan bahan-bahan sejarah semacam ini, yang merusak pemikiran dan jauh sekali dari fakta sejarah sebenarnya. Bukankah Allah SWT sudah memperingatkan: “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka!” Wallahu a’lam bil-sshawab.*/Depok, 24 Ramadhan 1432 M/24 Agustus 2011.

Penulis adalah kolumnis www.hidayatullah.com, Ketua Program Studi Pendidikan Islam, Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor
“Bangga Menjadi Kristen Radikal”

 
Jum'at, 23 Desember 2011

oleh: Dr. Adian Husaini
SEBAGIAN kalangan Kristen di Indonesia menyatakan dengan bangga bahwa mereka memahami dan menjalankan misi agama mereka secara RADIKAL. Itu bisa dibaca dalam sebuah buku berjudul: "Kami Mengalami Yesus di Bandung" (Jakarta: Metanoia Publishing, 2011). Daniel H. Pandji, tokoh Kristen yang juga Koordinator Jaringan Doa Nasional, memberikan komentar:

“Buku ini menguak suatu kebenaran sejarah yang sangat penting bagaimana saat ini banyak  pemimpin-pemimpin rohani yang telah menyebar ke seluruh bangsa bahkan berbagai belahan dunia, hal itu dimulai dari gerakan doa yang militan pada tahun 1980 an, lalu memunculkan gerakan penginjilan yang menyentuh berbagai bidang. Buku ini harus dibaca oleh orang-orang yang mau memiliki semangat untuk mengubahkan bangsa.”

Kelompok Kristen ini menyatakan kebanggaannya, bahwa saat ini, telah muncul anak-anak muda Kristen yang “dibangkitkan untuk mengikut Tuhan secara radikal.” (hal. 23).
Mereka memiliki sikap RADIKAL dalam berbagai aspek:

•    Radikal dalam Pemberian.
Banyak anak muda memberikan apa saja yang mereka miliki kepada Tuhan untuk pekerjaan pelayanan yang memang kerap dilakukan tanpa kehadiran donatur-donatur. Seorang mahasiswi memberikan seluruh emas yang dimiliki (diberi oleh orang tuanya untuk persiapan pernikahan). Hasil penjualan emas itu kemudian digunakan untuk menyewa sebuah rumah pelayanan, yang menampung para gelandangan dan narapidana yang bertobat. Ada juga seorang mahasiswa menjual motornya dan hasilnya diserahkan untuk membiayai retreat pelayanan. Seorang pemudi memutuskan untuk memberi perpuluhan secara rutin 90% kepada Tuhan dari semua yang ia terima. Seorang pemuda lain memberi perpuluhan kepada Tuhan 50%. Ada satu ketetapan bersama yang radikal pada waktu itu: jika mengadakan KKR yang membutuhkan dana besar (untuk sewa gedung, sound system, buat publikasi spanduk, poster dan lain-lain) semua sepakat untuk tidak meminta-minta, atau tidak mengedarkan  proposal dalam mencari dana, tetapi mengandalkan lutut untuk berdoa dan memohon kepada Tuhan.

•    Radikal dalam berdoa.
Munculnya persekutuan doa yang seringkali berdoa mencari Tuhan selama berjam-jam. Ini ditambah dengan bangkitnya anak-anak muda yang berani mengambil keputusan untuk berdoa lebih dari satu jam setiap hari.

•    Radikal dalam Membayar Harga. 
Bangkitnya anak-anak muda yang berani membayar harga, tidak peduli berapa pun itu. Beberapa dianiaya oleh orang tua yang belum mengerti. Ada yang dipukuli dan dikejar dengan benda tajam, namun tetap memilih untuk mengikut Tuhan. Beberapa anak muda karena pelayanan, diancam oleh ayahnya untuk diputuskan biaya hidupnya, namun itu tidak menggoyahkan kesetiaan mereka kepada Tuhan. Mereka tetap mengasihi, serta mendoakan orang tuanya sampai bertobat dan mengalami lawatan Tuhan. Anak-anak muda yang melayani gelandangan dan narapidana bahkan berani menyediakan rumah penampungan, tinggal bersama mereka, serta melayani mereka meskipun beberapa kali mengalami ancaman kekerasan ketika terpaksa harus melerai  perkelahian antar geng yang menggunakan senjata tajam.

•    Radikal dalam Kekudusan Hidup.
Bangkitnya anak-anak muda yang memiliki komitmen dari hal-hal sederhana seperti tidak menyontek lagi. Kemudian munculnya generasi yang bertekad untuk hidup kudus dalam pergaulan antar lawan jenis, memutuskan untuk menjaga kesucian pernikahan, serta hidup berbeda dari anak-anak muda pada umumnya yang hidup bebas.

•    Radikal dalam Memberitakan Injil.
Banyak anak muda mendatangi taman-taman kota di Bandung, tempat para gelandangan, pencuri, dan bahkan tempat-tempat rawan seperti markas para perampok berkumpul untuk memberitakan Kabar Baik kepada mereka. Bertahun-tahun tempat-tempat seperti ini terus dilayani secara teratur oleh anak-anak muda yang sudah diubahkan oleh Kristus.


•    Radikal dalam Memberikan Waktu untuk Pelayanan.
Di tengah-tengah kesibukan belajar, selalu ada komitmen untuk melayani persekutuan, pemuridan, evaluasi pelayanan minggu, kunjungan dan beritakan Injil, serta berdoa bersama. Semua dilakukan paling tidak seminggu sekali. Dapat dikatakan setiap pekerja, dalam setiap minggu pasti terlibat pelayanan rutin minimal empat sampai lima kali. (hal. 23-26), dikutip persis sesuai buku aslinya).

RADIKALISME kaum Kristen di Indonesia ini juga diwujudkan dalam sejumlah puisi dan lagu. Satu diantaranya berbunyi sebagai berikut:

“Slamatkan Indonesia”
Trimakasih Tuhan untuk negeri tercinta
Trimakasih Tuhan untuk Indonesia
Trimakasih
Hatiku bersyukur padaMu Tuhanku
Indonesia membutuhkanMu Yesus
Indonesia nantikan curahan RohMu
Indonesia rindu kemuliaanMu
Inilah doaku…
Inilah doaku…
Slamatkan Indonesia, slamatkan Indonesia,
Slamatkan Indonesia
Itulah kerinduanku.

*****
Dalam buku berjudul "Menjadi Garam Dunia", karya Erich Sunarto, (Jakarta: Pustaka Sorgawi, 2007), juga ditegaskan: “Untuk menuju ke Sorga, tidak ada jalan yang lain, kecuali melalui Yesus.” (hal. 124).  Dengan semangat itulah, kaum Kristen Radikal ini berusaha mewujudkan tekadnya untuk mengkristenkan Indonesia. Para misionaris bersama dengan para penjajah Portugis dan Belanda telah beratus-ratus tahun berusaha untuk mengkristenkan Indonesia, dengan berbagai cara.   Karena kaum misionaris menganggap misi mereka sebagai misi suci, maka mereka tidak pernah berhenti dari upayanya.

Bahkan, melalui buku Kami Mengalami Yesus di Bandung, kita melihat, bagaimana kuatnya semangat dan kebanggaan mereka sebagai kaum Kristen yang pantang menyerah untuk mengkristenkan Indonesia. Mereka bersemangat mengorbankan tenaga, pikiran, waktu, dan harta demi tegaknya misi Kristen di Nusantara ini. Mereka dengan bangganya mengumumkan corak beragama yang RADIKAL dalam berbagai hal.

Umat Islam Indonesia tentu memahami benar semangat dan gerakan kaum misionaris Kristen ini. Tujuan mereka sudah jelas: mengubah Indonesia yang mayoritas Muslim menjadi Kristen. Dalam buku berjudul "Jadikan Sekalian Bangsa BersukaCita! Sepremasi Allah dalam Misi", karya John Piper (Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 2003), dikatakan:
“Bisakah alam semesta dan agama-agama lain menuntun orang-orang kepada hidup yang kekal dan kepada sukacita bersama Allah? Jawaban Alkitabiahnya: Tidak bisa! Menarik sekali, sejak penjelmaan Anak Allah dalam Perjanjian Baru, semua iman yang menyelamatkan harus terpusat kepada-Nya. Sebelum Kristus, kaum Israel memfokuskan imannya pada janji-janji Allah (Roma 4:20). Dan bangsa-bangsa berjalan menurut jalannya masing-masing (Kisah Para Rasul 14:16. Masa-masa itu disebut “zaman kebodohan”. Tetapi sekarang, sejak kedatangan Anak Manusia ke dalam dunia, Kristus menjadi pusat misi gereja. Tujuan Misi ialah “menuntun semua bangsa, supaya mereka percaya dan taat kepada Nama-Nya” (Roma 1:5).” (hal. 355).

Sebagai Muslim kita patut mengagumi semangat para misionaris Kristen tersebut. Tetapi, kaum misionaris Kristen juga perlu memahami, bahwa dalam pandangan agama Islam, kemurtadan adalah dosa besar. Meninggalkan keyakinan Islam (murtad) sama artinya dengan menghancurkan seluruh fondasi amal perbuatan.
Karena itu, murtad adalah sebuah kejahatan serius dalam pandangan Islam.

Para santri di pondok-pondok pesantren biasanya sangat akrab dengan Kitab Sullamut Tawfiq karya Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir bin Muhammad bin Hasyim. Kitab ini termasuk yang mendapatkan perhatian serius dari ulama besar asal Banten, Syeikh Nawawi al-Bantani, sehingga beliau memberikan syarah atas kitab yang biasanya dipasangkan dengan Kitab Safinatun Najah.  Dalam kitab inilah, sebenarnya umat Islam diingatkan agar menjaga Islamnya dari hal-hal yang membatalkannya, yakni murtad (riddah). Dijelaskan juga dalam kitab ini, bahwa ada tiga jenis riddah, yaitu murtad dengan I’tiqad, murtad dengan lisan, dan murtad dengan perbuatan.

Masalah kemurtadan ini perlu mendapatkan perhatian serius dari setiap Muslim, sebab ini sudah menyangkut aspek yang sangat mendasar dalam pandangan Islam, yaitu masalah iman. Dalam pandangan Islam, murtad (batalnya keimanan) seseorang, bukanlah hal yang kecil. Jika iman batal, maka hilanglah pondasi keislamannya. Ia menjadi kafir, yang di dalam al-Quran diberikan predikat ”seburuk-buruknya makhluk” (QS al-Bayyinah).  Banyak ayat al-Quran yang menyebutkan bahaya dan resiko pemurtadan bagi seorang Muslim.
”Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah:217). “Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu Dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (an-Nur:39).

Karena itulah, jika kita telaah, selama ratusan tahun – meskipun sudah disokong kekuatan kolonial --  misi Kristen di Indonesia membentur tembok yang sangat kokoh. Dalam al-Quran disebutkan, bahwa Allah murka, karena dituduh punya anak. “Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu dan bumi terbelah dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menuduh Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak.” (QS Maryam:88-91).

Mohammad Natsir, tokoh Islam Indonesia dan salah satu Pahlawan Nasional, pernah menyampaikan pesan tegas kepada kaum Kristen:
“Hanya satu saja permintaan kami: Isyhadu bi-anna muslimun. Saksikanlah dan akuilah kami ini adalah Muslimin. Yakni orang-orang yang sudah memeluk agama Islam. Orang-orang yang sudah mempunyai identitas-identitas Islam. Jangan identitas kami saudara-saudara ganggu, jangan kita ganggu mengganggu dalam soal agama ini. Agar agama jangan jadi pokok sengketa yang sesungguhnya tidak semestinya begitu…. Kami umat Islam tidak apriori menganggap musuh terhadap orang yang bukan Islam. Tetapi tegas pula Allah SWT melarang kami bersahabat dengan orang-orang yang mengganggu agama kami, agama Islam. Malah kami akan dianggap dhalim bila berbuat demikian… sebab kalaulah ada sesuatu harta yang kami cintai lebih dari segala-galanya itu ialah agama dan keimanan kami. Itulah yang hendak kami wariskan kepada anak cucu dan keturunan kami. Jangan tuan-tuan coba pula untuk memotong tali warisan ini.” (Dikutip dari Pengantar Prof. Umar Hubeis untuk buku Dialog Islam dan Kristen karya Bey Arifin, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1983). Semoga kita bisa mengambil hikmah… Amin. (Depok, 23 Desember 2011).

Penulis adalah dosen Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun B

HUKUM 40 HARI KELAHIRAN BAYI

Hidayatullah.com - Berita dunia Islam terdepan

HUKUM TASYAKURAN HAJI

Hidayatullah.com - Berita dunia Islam terdepan

BOLEHKAH KAFFAH DALAM KESENDIRIAN??

HUKUM WANITA BERZIARAH

Hukum Mencium Tangan dan Membungkukkan Badan

Tanya: “Ustadz benarkah bahwa mencium tangan orang dan membungkukkan badan maka hal tersebut bukanlah syariat Islam melainkan ajaran kaum feodalis? Jika demikian, mohon dijelaskan. Jazakumullah”.

Jawab:

Ada beberapa hal yang ditanyakan:

Pertama, masalah cium tangan

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani mengatakan,

“Tentang cium tangan dalam hal ini terdapat banyak hadits dan riwayat dari salaf yang secara keseluruhan menunjukkan bahwa hadits tersebut shahih dari Nabi. Oleh karena itu, kami berpandangan bolehnya mencium tangan seorang ulama (baca:ustadz atau kyai) jika memenuhi beberapa syarat berikut ini.

1. Cium tangan tersebut tidaklah dijadikan sebagai kebiasaan. Sehingga pak kyai terbiasa menjulurkan tangannya kepada murid-muridnya. Begitu pula murid terbiasa ngalap berkah dengan mencium tangan gurunya. Hal ini dikarenakan Nabi sendiri jarang-jarang tangan beliau dicium oleh para shahabat. Jika demikian maka tidak boleh menjadikannya sebagai kebiasaan yang dilakukan terus menerus sebagaimana kita ketahui dalam pembahasan kaedah-kaedah fiqh.

2. Cium tangan tersebut tidaklah menyebabkan ulama tersebut merasa sombong dan lebih baik dari pada yang lain serta menganggap dirinyalah yang paling hebat sebagai realita yang ada pada sebagai kyai.

3. Cium tangan tersebut tidak menyebabkan hilangnya sunnah Nabi yang sudah diketahui semisal jabat tangan. Jabat tangan adalah suatu amal yang dianjurkan berdasarkan perbuatan dan sabda Nabi. Jabat tangan adalah sebab rontoknya dosa-dosa orang yang melakukannya sebagaimana terdapat dalam beberapa hadits. Oleh karena itu, tidaklah diperbolehkan menghilangkan sunnah jabat tangan karena mengejar suatu amalan yang status maksimalnya adalah amalan yang dibolehkan (Silsilah Shahihah 1/159, Maktabah Syamilah).

Akan tetapi perlu kita tambahkan syarat keempat yaitu ulama yang dicium tangannya tersebut adalah ulama ahli sunnah bukan ulama pembela amalan-amalan bid’ah.

Kedua, membungkukkan badan sebagai penghormatan
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَنْحَنِى بَعْضُنَا لِبَعْضٍ قَالَ « لاَ ». قُلْنَا أَيُعَانِقُ بَعْضُنَا بَعْضًا قَالَ لاَ وَلَكِنْ تَصَافَحُوا

Dari Anas bin Malik, Kami bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, apakah sebagian kami boleh membungkukkan badan kepada orang yang dia temui?”. Rasulullah bersabda, “Tidak boleh”. Kami bertanya lagi, “Apakah kami boleh berpelukan jika saling bertemu?”. Nabi bersabda, “Tidak boleh. Yang benar hendaknya kalian saling berjabat tangan” (HR Ibnu Majah no 3702 dan dinilai hasan oleh al Albani).

Dari uraian di atas semoga bisa dipahami dan dibedakan antara amalan yang dibolehkan oleh syariat Islam dan yang tidak diperbolehkan.

sumber: ustadzaris.com

JANGAN FITNAH BUYA KAMI..

Jangan memfitnah Buya HAMKA

Oleh: Adian Husaini

Pekan lalu, sebuah berita gembira saya terima. Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka Jakarta telah mendirikan sebuah pusat studi bernama ”Pusat Kajian Buya Hamka” (PKBH). Dalam rangka menyongsong peringatan 100 tahun Hamka, yang akan jatuh pada 17 Februari 2008, PKBH akan menerbitkan sebuah buku berjudul ”Mengenang 100 Tahun Buya Hamka”. Saya diminta berpartisipasi untuk menulis satu artikel dalam buku tersebut.

Bagi kita, nama Hamka tidaklah asing. Dalam beberapa kali catatan, kita mengulas atau mengutip pendapat-pendapat Hamka. Semasa hidupnya, Hamka telah menulis sekitar 118 karya dalam berbagai bidang, baik sastra, sejarah, tasauf, etika, tafsir, dan sebagainya. Karya besarnya adalah Tafsir al-Azhar, yang ditulisnya semasa dalam tahanan rezim Orde Lama. Atas karya-karyanya, Hamka diangkat sebagai guru besar bidang tasauf di PTAIN Yogyakarta (1958), mendapat gelar Dr. HC bidang agama dari Universitas Al-Azhar Mesir (1958) dan bidang sastra dari Universitas Kebangsaan Malaysia.

Berbagai kalangan diminta menyumbangkan tulisannya untuk buku Mengenang 100 Tahun Buya Hamka. Diantaranya, Prof. Dr. A. Malik Fadjar, Ali Sadikin, Prof. KH Ali Yafie, Prof. Dr. Amin Rais, Prof. Dr. Azyumardi Azra, Emha Ainun Najib, Harmoko (mantan Menteri era Orde Baru), KH Hasyim Muzadi, Prof. Dr. Din Syamsuddin, Dr. M. Syafii Anwar, Henny Purwonegoro, Mieke Widjaya, dan banyak lagi yang lainnya. Jumlahnya sekitar 100 orang. Dengan penulisan buku seperti ini, barangkali panitia mengharapkan, akan tergambar sosok Hamka yang ketokohannya diakui oleh berbagai kalangan masyarakat dengan corak serta aliran pemikiran.

Harapan kita, mudah-mudahan buku itu nantinya akan memberikan gambaran yang benar terhadap sosok Hamka dan pemikirannya. Jangan sampai, sosok dan pemikiran Hamka dipersepsikan dengan keliru, sehingga menjadi fitnah bagi Hamka. Kita pernah membahas, bagaimana seorang doktor penyebar paham Pluralis Agama di Indonesia, dengan gegabah mengutip Tafsir al-Manar, dan menyebut Rasyid Ridha sebagai pendukung paham Pluralisme Agama. Meskipun sudah kita koreksi dan kita tunjukkan kekeliruannya, sang doktor itu enggan mengoreksi bukunya. Ilmuwan-ilmuwan model seperti ini, meskipun dikenal cerdik, sulit dipercaya lagi kejujurannya.

Kita juga pernah membahas, ada sejumlah penulis yang keliru – entah sengaja atau tidak -- dalam mengungkapkan pemikiran Hamka. Bahkan, ada yang sengaja memanipulasi pendapat Hamka, sehingga, seolah-olah Hamka adalah seorang pendukung paham Pluralisme Agama. Sebagai contoh, sebuah buku yang belum lama ini diterbitkan oleh Universitas Paramadina berjudul ”Bayang-bayang Fanatisisme: Esei-esei untuk Mengenang Nurcholish Madjid, (2007). Buku ini diberi kata pengantar oleh Dawam Rahardjo, dengan editor Abd. Hakim dan Yudi Latif.

Seperti sejumlah buku terbitan Paramadina lainnya, buku berupa kumpulan tulisan berbagai penulis ini juga secara besar-besaran mempromosikan paham Pluralisme Agama. Sebagai misal, dalam artikelnya yang berjudul Mengapa Membumikan Kemajemukan dan Kebebasan Beragama di Indonesia?, Muhammad Ali, dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta, menulis:

”Al-Qur’an juga menjelaskan dalam banyak ayat-ayatnya adanya persaudaraan hanafiyyah samhah dan persaudaraan kemanusiaan. Dalam konsep al-Qur’an, penganut agama Yahudi, Kristen, dan Islam adalah saudara seiman dan sebapak, Ibrahim, meskipun mereka saling berselisih dalam sejarahnya. Agama-agama mereka adalah satu dan berasal dari satu Tuhan. Lebih luas lagi bahkan, selain Yahudi dan Kristen, Islam juga bersaudara dengan seluruh penganut keberagamaan yang benar, yang tidak sombong dan tidak berbuat kerusakan. Tuhan menurunkan ratusan ribu nabi-nabi dan rasul-rasul yang tidak diceritakan siapa mereka. Karenanya tidak ada alasan untuk mengafirkan dan mengutuk masuk neraka Konfusianisme, Buddha, Mirza Ghulam Ahmad, dan penganut-penganut keyakinan lainnya. Apalagi al-Quran juga menjelaskan, tidak ada perbedaan antar para nabi dan perbedaan dan perselisihan antar-umat beragama harus diserahkan kepada Tuhan saja.” (hal. 256).

Kita tentu sulit memahami, apa sebenarnya isi kepala dosen ushuluddin UIN Jakarta yang sedang mengambil doktor di Hawai, USA, ini. Kaca mata apa dan konsep apa yang dipakai untuk membaca ayat-ayat al-Quran. Padahal, dalam surat al-Fatihah saja, sudah disebutkan ada jalan yang lurus (shirathal mustaqim), dan ada jalan orang-orang yang dimurkai Allah dan ada jalan orang-orang yang sesat. Begitu banyak ayat al-Quran yang menjelaskan, lengkap dengan ciri-cirinya, siapa yang disebut mukmin, siapa kafir, dan siapa munafik.

Kita tidak perlu menguraikan lebih jauh kekeliruan pemikiran dosen Ushuluddin UIN Jakarta ini. Sebab, disamping sangat kacau, juga sangat naif. Kita hanya patut mengajukan pertanyaan kepada keluarga dan pimpinan UIN Jakarta, jika Muhammad Ali menyebut kaum Yahudi, Nasrani, dan sebagainya ”saudara seiman”, bagaimana jika dia meninggal nanti, maka jenazahnya dikuburkan saja di pemakaman Yahudi atau Kristen? Atau jenazahnya ditaruh di bawah pohon sebagaimana tradisi satu agama suku di Indonesia?

Yang lebih menyedihkan adalah artikel berjudul ”Islam dan Pluralisme di Indonesia: Pandangan Sejarah”, ditulis oleh Ayang Utriza NWAY, seorang alumnus Fakultas Syariah UIN Jakarta, yang menyelesaikan masternya di Paris. Sebagaimana banyak penganut paham Pluralisme Agama, penulis ini juga menggunakan QS Al-Baqarah ayat 62 sebagai rujukan pendapatnya. Celakanya, dia mengutip pendapat Hamka dalam Tafsir al-Azhar secara serampangan, lalu membuat kesimpulan yang menyesatkan. Dia menulis dalam artikel ini:

”Buya Hamka dengan sangat mengagumkan menafsirkan ayat ini. Ia menulis ”Kesan pertama yang dibawa oleh ayat ini ialah perdamaian dan hidup berdampingan secara damai di antara pemeluk sekalian agama dan dunia ini [...]. Ayat ini sudah jelas menganjurkan persatuan agama, jangan agama dipertahankan sebagai golongan, melainkan hendaklah selalu menyiapkan jiwa mencari dengan otak dingin, manakah dia hakikat kebenaran. Iman kepada Allah dan Hari Akhirat, diikuti amal saleh. Kita tidak akan bertemu suatu ayat yang begini penuh dengan toleransi dan lapang dada, hanyalah dalam al-Qur’an. Suatu hal yang amat perlu dalam dunia modern.” Lebih jauh Buya Hamka mengutip hadits yang diriwayatkan dari Ibn Abi Hatim dari Salman al-Farisi yang bertanya kepada Rasulullah tentang agama mana yang paling benar dari semua agama yang pernah dimasuki olehnya: Majusi, Nasrani, dan Islam. Rasulullah menjawab dengan QS 2:62 tersebut.” (hal. 306-307).

Lalu, penulis yang juga peneliti di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina ini, mengutip pendapat Hamka yang tidak setuju dengan pendapat Ibn Abbas bahwa QS 2:62 itu sudah dinasakh oleh QS 3:85.

”Buya Hamka menyatakan: ”Kalau dikatakan bahwa ayat ini dinasikhkan (dihapus) oleh ayat 85 surat Ali Imran itu, yang akan tumbuh ialah fanatik; mengakui diri Islam, walaupun tidak pernah mengamalkannya. Dan surga itu hanya dijamin untuk dia saja [...].”

Yang kemudian sangat sembrono dan tidak etis, adalah kesimpulan yang dibuat oleh penulis, bahwa:

”Ini berarti bahwa walaupun seseorang mengaku beragama Islam, yang hanya bermodalkan dua kalimat syahadat, tetapi tidak pernah menjalankan rukun Islam, maka ia tidak akan pernah mendapat ganjaran dari Allah, yaitu surga. Sebaliknya jika ada non-Muslim yang taat dan patuh menjalankan ajaran agamanya, walaupun tidak mengucapkan dua kalimat syahadat, maka dia akan mendapatkan ganjaran dari Allah: surga.” (hal. 307).

Sebenarnya, jika seorang peneliti dan penulis yang jujur dalam membaca penafsiran Hamka terhadap QS 2:62, pastilah tidak akan membuat kesimpulan seperti itu. Sebab, Hamka memang tidak menyimpulkan seperti itu. Dalam tafsirnya, Hamka menulis tentang hadits Ibn Abi Hatim sebagai berikut:

”Telah meriwayatkan Ibnu Abi Hatim daripada Salman, berkata Salman, bahwasanya aku telah bertanya kepada Rasulullah s.a.w. dari hal pemeluk-pemeluk agama yang telah pernah aku masuki, lalu aku uraikan kepada beliau bagaimana cara sembahyang mereka masing-masing dan cara ibadah mereka masing-masing. Lalu aku minta kepada beliau manakah yang benar. Maka beliau jawablah pertanyaanku itu dengan ayat: Innalladzina amanu wal-ladzina hadu dan seterusnya itu.”

Artinya ialah bahwa perlainan cara sembahyang atau cara ibadah adalah hal lumrah bagi berbagai ragam pemeluk agama, karena syariat berubah sebab perubahan zaman. Tetapi manusia tidak boleh membeku disatu tempat, dengan tidak mau menambah penyelidikannya, sehingga bertemu dengan hakikat yang sejati, lalu menyerah kepada Tuhan dengan sebulat hati. Menyerah dengan hati puas. Itulah dia Islam.” (Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juzu’ I, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982) hal. 216).”

Hamka sangat menekankan bahwa makna ”iman sejati” adalah beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, dan beramal shalih. Jadi, formalitas Islam, atau ”mengaku-aku Islam” saja – tanpa diikuti dengan keyakinan yang mendalam dan amal shalih -- memang tidak menjamin keselamatan di akhirat. Siapa pun akan setuju dengan kesimpulan Hamka ini. Tetapi, perlu dicatat, Hamka sama sekali tidak berpendapat, bahwa kaum Yahudi, Kristen, Shabiin, dan lain-lain, semuanya akan masuk surga, tanpa perlu masuk Islam dan beriman kepada Nabi Muhammad saw dan beriman kepada al-Quran. Hamka menulis:

”Beriman kepada Allah niscaya menyebabkan iman pula kepada segala wahyu yang diturunkan Allah kepada para RasulNya; tidak membeda-bedakan diantara satu Rasul dengan Rasul yang lain, percaya kepada keempat kitab yang diturunkan.” (Ibid, hal. 213).

Justru disinilah persolan bagi kaum Yahudi dan Kristen, karena mereka menolak kenabian Muhammad saw dan kebenaran al-Quran. Karena itu, dalam tafsirnya ini, Hamka juga mengutip hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan Imam Muslim:

”Berkata Rasulullah s.a.w.: Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman tanganNya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seseorangpun dari ummat sekarang ini, Yahudi, dan tidak pula Nasrani, kemudian tidak mereka mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka.”

Lalu, selanjutnya, Hamka menjelaskan makna hadits Rasul saw tersebut:

”Dengan hadits ini jelaslah bahwa kedatangan nabi Muhammad s.a.w. sebagai penutup sekalian Nabi (Khatimil Anbiyaa) membawa Al-Quran sebagai penutup sekalian Wahyu, bahwa kesatuan ummat manusia dengan kesatuan ajaran Allah digenap dan disempurnakan. Dan kedatangan Islam bukanlah sebagai musuh dari Yahudi dan tidak dari Nasrani, melainkan melanjutkan ajaran yang belum selesai. Maka, orang yang mengaku beriman kepada Allah, pasti tidak menolak kedatangan Nabi dan Rasul penutup itu dan tidak pula menolak Wahyu yang dia bawa. Yahudi dan Nasrani sudah sepatutnya terlebih dahulu percaya kepada kerasulan Muhammad apabila keterangan tentang diri beliau telah mereka terima. Dan dengan demikian mereka namanya telah benar-benar menyerah (Muslim) kepada Tuhan. Tetapi kalau keterangan telah sampai, namun mereka menolak juga, niscaya nerakalah tempat mereka kelak. Sebab iman mereka kepada Allah tidak sempurna, mereka menolak kebenaran seorang daripada Nabi Allah.” (Ibid, hal. 217-218).

Inilah penafsiran Hamka tentang QS 2:62, yang telah dikutip dan disimpulkan secara keliru oleh peneliti Paramadina yang mengaku pernah kuliah pasca sarjana di Universitas Al-Azhar Kairo. Kita sangat menyesalkan cara-cara seperti ini, yang jauh dari etika ilmiah. Apalagi, buku ini dimaksudkan untuk mengenang orang yang disanjung-sanjung oleh kaum liberal sebagai salah satu ”cendekiawan terkemuka” di Indonesia. Kita gembira dengan banyaknya orang yang menulis tentang Hamka, tetapi kita berharap mereka jujur dan cermat dalam menulis. Pemikiran dan kiprah perjuangan Buya Hamka jelas amat sangat jauh bedanya dengan kaum Pluralis Agama yang menyatakan bahwa kaum Yahudi, Kristen, dan sebagainya, adalah ”saudara seiman” mereka.

Jadi, kita memohon, jangan lagi menfitnah Buya Hamka! Nanti bisa celaka di dunia dan Akhir Masa.
Menghilangkan Keraguan Terhadap Buya Hamka1
Oleh : Akmal

Pendahuluan

Perdebatan yang relatif cukup panjang itu diawali dengan sebuah artikel singkat yang ditulis oleh Ahmad Syafii Maarif. Artikel itu dimuat di kolom Resonansi di surat kabar Republika edisi 21 Nopember 2006. Artikel tersebut diberi judul Hamka Tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah, dan sebagian besar isinya merupakan kutipan-kutipan dari Tafsir Al Azhar karya Hamka tentang seputar kedua ayat tersebut. Meski demikian, efek yang ditimbulkannya cukup dahsyat. Sedikitnya telah dimuat delapan artikel di kolom Opini pada surat kabar Republika yang mendiskusikan masalah seputar artikel Syafii Maarif tersebut.

Pada hari Jum’at, 1 Desember 2006, Adian Husaini menyumbangkan pemikirannya yang dituangkan dalam artikel berjudul Hamka dan Pluralisme Agama. Dalam artikel ini, Adian Husaini menyampaikan kekhawatirannya melihat adanya upaya-upaya untuk menyalahgunakan berbagai ayat di dalam Al-Qur’an untuk menjustifikasi ajaran pluralisme. Pada hari yang sama, dalam kolom yang sama pula, Syamsul Hidayat, Wakil Ketua Majlis Tabligh PP Muhammadiyah, juga menyumbang sebuah artikel berjudul Menyelami Penafsiran Buya Hamka. Syamsul Hidayat mengambil sikap ‘lebih lunak’, yaitu dengan menunjukkan beberapa rincian dalam Tafsir Al Azhar seputar kedua ayat tersebut yang lalai dicantumkan oleh Syafii Maarif, mungkin pula karena keterbatasan ruang dalam rubrik Resonansi yang berukuran kecil.

Tepat sepekan setelah itu, yaitu pada tanggal 8 Desember 2006, Fajar Riza Ul Haq, seorang koordinator program MAARIF Institute, menulis sebuah artikel berjudul Pluralisme, Syafii dan Hamka. Fajar Riza Ul Haq ‘menyerang’ kedua penulis sebelumnya yang telah menggunakan penafsiran ‘tekstual-literal’ terhadap Al-Qur’an, serta tidak memperhitungkan analisis historis, sosiologis, serta psikologis dari ayat-ayat yang dibacanya. Zuhairi Misrawi, yang juga dikenal sebagai salah satu tokoh JIL, ikut serta dalam perdebatan ini dengan menulis artikel Pluralisme Berbasis
1 Makalah ini disusun sebagai tugas dari mata kuliah Islamic Worldview di program Pascasarjana bidang Pendidikan dan Pemikiran Islam, Universitas Ibnu Khaldun – Bogor.

Alquran. Dalam artikel tersebut, Zuhairi Misrawi menunjukkan beberapa poin yang menurutnya adalah bukti-bukti nyata bahwa Al-Qur’an memang mengajarkan pluralisme, tidak sebagaimana yang dikatakan oleh para penentang pluralisme.

Pada tanggal 15 Desember 2006, kolom Opini memuat dua buah artikel karya Bustanuddin Agus, seorang Guru Besar Sosiologi Agama dari Universitas Andalas, dan Syamsuddin Arif, Doktor bidang Pemikiran Islam dari ISTAC, Malaysia. Bustanuddin Agus menyumbang artikel Meluruskan Persepsi Pluralisme, sedangkan Syamsuddin Arif menyumbang artikel (Mis)interpretasi ‘Ayat Pluralisme’. Bustanuddin mencoba menggali lebih dalam penjelasan Hamka yang seolah-olah ‘nampak pluralis’, sementara Syamsuddin Arif mencoba menjelaskan beberapa kesalahpahaman yang dialami oleh sebagian orang ketika melakukan penafsiran
Al-Qur’an secara tidak komprehensif.

Sepekan sesudahnya, dimuatlah artikel berjudul Menyelami Lautan Pluralisme Islam karya M. Hasibullah Satrawi, seorang Alumni Universitas Al-Azhar yang kini bekerja sebagai peneliti di P3M Jakarta. Artikel ini agaknya berusaha mengedepankan perspektif lain dalam memahami ajaran pluralisme dan sandarannya dalam agama Islam. Al Makin, seorang dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, menulis artikel berjudul Menghindari ‘Argumen Sirkuler’ Pluralisme. Di sini, Al Makin menyarankan agar para peserta diskusi mengenai masalah pluralisme ini mengambil jarak terlebih dahulu dan membaca ayat-ayat Al-Qur’an dengan objektif, agar pemahaman dapat mempengaruhi ideologi, bukan sebaliknya. Setelah itu, Al Makin menganjurkan kita untuk mencermati baik ayat maupun fakta-fakta sejarah untuk mampu memahami maksud yang dikandung dalam Al-Qur’an.

Dalam makalah singkat ini, yang akan dibahas terbatas pada artikel pertama saja, yaitu yang menjadi pokok perdebatan di akhir tahun 2006 yang lalu. Artikel karya Ahmad Syafii Maarif tersebut akan dianalisa setiap bagiannya untuk diukur kadar akurasinya. Referensi terpenting tentunya adalah Tafsir Al-Azhar itu sendiri, yaitu buah karya Buya Hamka yang dijadikan pokok pembicaraan. Oleh karena artikel tersebut pada intinya adalah kutipan pendapat (atau penafsiran) Buya Hamka atas suatu masalah, maka hal utama yang harus diuji adalah apakah Buya Hamka memang benar-benar berpendapat demikian (sebagaimana yang dikutip oleh Syafii Maarif), atau – seperti yang dikemukakan oleh Syamsul Hidayat – ada beberapa detil penting yang lalai untuk disampaikan sehingga makna yang ditangkap pembaca tidaklah utuh.

Untuk mengetahui makna suatu ayat Al-Qur’an, biasanya kita perlu merujuk pada ayat yang lainnya. Misalnya, untuk memahami konsep toleransi terhadap umat-umat Non-Muslim, kita tak mungkin hanya merujuk pada ayat terakhir dalam surah Al-Kaafiruun, karena pemahaman mengenai surah tersebut baru akan utuh jika kita mencermati setiap ayatnya. Selain itu, masih banyak ayat-ayat lain yang berbicara tentang hal yang sama. Semakin luas observasi kita terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, maka semakin utuhlah pemahaman kita.

Demikianlah salah satu prinsip dalam memahami Al-Qur’an secara utuh (atau setidaknya mendekati utuh). Padahal, Al-Qur’an adalah bacaan yang sifatnya pasti, maknanya tegas, dan jauh dari kontradiksi. Jika kita hendak memahami sebuah tafsir, yang merupakan buah pemikiran manusia yang sifatnya tidak pasti, bisa salah, bisa keliru, bisa khilaf dalam merangkai kata, maka sudah pasti prinsip yang sama wajib digunakan pula. Untuk memahami penafsiran Buya Hamka mengenai suatu ayat, ada baiknya kita melihat-lihat pula penafsiran beliau terhadap ayat-ayat lain yang berhubungan, agar kita bisa memahami secara mendalam maksud penafsirannya itu. Metode inilah yang akan banyak digunakan selanjutnya.
Syafii Maarif dan Tafsir Al-Azhar

Dalam artikel Hamka Tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah di surat kabar Republika edisi 21 Nopember 2006 yang lalu, Ahmad Syafii Maarif menceritakan latar belakang permasalahannya. Seorang jenderal polisi yang sedang bertugas di Poso menghubungi ponselnya dengan sebuah pesan singkat yang intinya menanyakan maksud dari ayat ke-62 pada surah Al-Baqarah. Berdasarkan keterangan dari sang jenderal, penafsiran ayat ini ia butuhkan untuk menghadapi beberapa tersangka kerusuhan di sana. Adapun redaksi dari ayat yang diperbincangkan di atas adalah sebagai berikut :

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang yang jadi Yahudi dan Nasrani dan Shabi’in, barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian dan beramal yang shalih, maka untuk mereka adalah ganjaran di sisi Tuhan mereka, dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berdukacita".
(Q.S. Al-Baqarah [2] : 62)2
Setelah membaca beberapa kitab tafsir, Syafii Maarif merasa cenderung untuk menerima penafsiran Buya Hamka. Selain ayat ke-62 dalam surah Al-Baqarah tersebut, Syafii Maarif juga menemukan ayat lain yang redaksinya nyaris sama, yaitu ayat ke-69 dalam surah Al-Maidah.3 Dalam artikel tersebut Syafii Maarif mengutip Tafsir Al Azhar sebagai berikut :

Inilah janjian yang adil dari Tuhan kepada seluruh manusia, tidak pandang dalam agama yang mana mereka hidup, atau merk apa yang diletakkan kepada diri mereka, namun mereka masing-masing akan mendapatkan ganjaran atau pahala di sisi Tuhan, sepadan dengan iman dan amal shalih yang telah mereka kerjakan itu. ‘Dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berdukacita’ (ujung ayat 62).4
2 Penerjemahan dari suatu ayat dapat berbeda-beda, tergantung penerjemahnya. Untuk ayat ini, yang dicantumkan adalah penerjemahan sebagaimana yang tertulis dalam kitab Tafsir Al Azhar Juzu’ 1 karya Buya Hamka sendiri.
3 Meski demikian, Syafii Maarif nampaknya tidak menjelaskan penafsiran Hamka terhadap ayat ke-69 dari surah Al-Maaidah ini, melainkan hanya menggarisbawahi kemiripan redaksinya dengan ayat ke-62 dalam surah Al-Baqarah saja.
4 Hamka, Tafsir Al Azhar Juzu’ 1 (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1982), p. 211.

Ada pula sebagian kalangan yang berpendapat bahwa ayat ke-62 dalam surah Al-Baqarah ini telah dihapuskan oleh ayat ke-85 dalam surah Ali Imran. Hamka menolak pendapat tersebut dan penjelasannya dikutip oleh Syafii Maarif sebagai berikut :
Ayat ini bukanlah menghapuskan (nasikh) ayat yang sedang kita tafsirkan ini melainkan memperkuatnya. Sebab hakikat Islam ialah percaya kepada Allah dan Hari Akhirat. Percaya kepada Allah, artinya percaya kepada segala firmanNya, segala RasulNya dengan tidak terkecuali. Termasuk percaya kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan hendaklah iman itu diikuti oleh amal yang shalih.
Kalau dikatakan bahwa ayat ini dinasikhkan oleh ayat 85 Surah Ali Imran itu, yang akan tumbuh ialah fanatik ; mengakui diri Islam, walaupun tidak pernah mengamalkannya. Dan syurga itu hanya dijamin untuk kita saja. Tetapi kalau kita fahamkan bahwa di antara kedua ayat ini adalah lengkap melengkapi maka pintu da’wah senantiasa terbuka, dan kedudukan Islam tetap menjadi agama fithrah, tetapi dalam kemurniannya, sesuai dengan jiwa asli manusia.5

Kemudian tentang neraka, Syafii Maarif mengutip uraian Hamka sebagai berikut :
Dan neraka bukanlah lobang-lobang api yang disediakan di dunia ini bagi siapa yang tidak mau masuk Islam, sebagaimana yang disediakan oleh Dzi Nuwas Raja Yahudi di Yaman Selatan, yang memaksa penduduk Najran memeluk agama Yahudi, padahal mereka telah memegang agama Tauhid. Neraka adalah ancaman di Hari Akhirat esok, karena menolak kebenaran.6
Syafii Maarif menutup uraiannya dengan memuji Buya Hamka sebagai seorang mufassir yang rindu melihat dunia ini aman untuk didiami oleh siapa saja,
5 Ibid, p. 217.
6 Ibid, p. 218.

Mengaku beragama atau tidak, asal saling menghormati dan saling menjaga pendirian masing-masing. Syafii juga menggarisbawahi bahwa tidak ada Kitab Suci di muka bumi ini yang memiliki ayat toleransi seperti yang diajarkan Al-Qur’an. Pemaksaan dalam agama, menurutnya, adalah sikap yang anti Al-Qur’an, berdasarkan Q.S. Al-Baqarah [2] : 256 dan Yunus [10] : 99.

Pendapat Hamka Tentang Tafsir Al-Qur’an
Buya Hamka memang dikenal sebagai seorang ulama yang rendah hati dan dicintai masyarakat banyak. Pemberian sebutan “Buya” adalah contoh yang baik untuk menunjukkan betapa dekatnya beliau di hati umat Islam Indonesia. Mengenai kapabilitas pribadinya dalam menyusun sebuah kitab tafsir, beginilah pendapat beliau:

Penulis “Tafsir” ini telah membaca syarat-syarat yang dikemukakan oleh Ulama-ulama ikutan kita, untuk siapa-siapa yang hendak menterjemahnya, hendaklah tahu bahasa Arab dengan segala peralatannya, tahu pula penafsiran orang yang terdahulu, pula tahu Asbabun Nuzul, yaitu sebab-sebab turun ayat, tahu pula hal Nasikh dan Mansukh, tahu pula ilmu Hadis, terutama yang berkenaan dengan ayat yang tengah ditafsirkan, tahu pula Ilmu Fiqh, untuk mendudukkan hukum.

Syarat-syarat itu memang berat dan patut. Kalau tidak ada syarat demikian tentu segala orang dapat berani saja mentafsirkan al-Qur’an. Ilmu-ilmu yang dijadikan syarat oleh Ulama-ulama itu Alhamdulillah telah penulis ketahui ala kadarnya, tetapi penulis tidaklah mengakui bahwa penulis sudah sangat alim dalam segala ilmu itu. Tuhan di dalam al-Qur’an sendiripun pernah berfirman, bahwasanya di atas orang yang mempunyai ilmu ada lagi yang lebih alim. Maka kalau menurut syarat yang dikemukakan Ulama tentang ilmu-ilmu itu, wajiblah ilmu sangat benar dalam lebih dahulu, tidaklah akan jadi “Tafsir” ini dilaksanakan.7
7 Ibid, p. 3.

Lebih jauh, Hamka menjelaskan pula bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat begitu banyak ayat mengenai alam, lautan, tumbuh-tumbuhan, awan, bintang-bintang, dan sebagainya, bahkan ayat yang semacam ini jumlahnya lebih banyak daripada ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum dan fiqih. Oleh karena itu, secara teoritis, seorang ulama harus menguasai ilmu pengetahuan alam dengan begitu mendalam jika ingin menghasilkan suatu kitab tafsir yang sepenuhnya komprehensif. Hamka juga menekankan bahwa keadaan ideal seperti ini nyaris mustahil terjadi (dan memang belum pernah terjadi) karena keterbatasan ilmu manusia dan keluasan ilmu Allah SWT yang tercakup dalam Al-Qur’an. Itulah sebabnya banyak ulama yang ahli hadits namun lemah dalam ijtihad dan fiqih, yang logikanya kuat ternyata hafalannya lemah, bahkan Al-Ghazali sendiri, menurut penilaian Hamka, sangat indah dalam mengurai dan mengupas ilmu-ilmu agama, namun lemah dalam soal menyaring hadits-hadits Rasulullah saw.8

Selanjutnya, Hamka menegaskan bahwa tafsir Al-Qur’an yang paling utama adalah Sunnah Rasulullah saw. Sunnah adalah perkataan dan perbuatan Rasulullah saw. serta perbuatan orang lain yang beliau ketahui namun dibiarkan dan tidak dicegahnya. Sunnah adalah penjabaran yang paling sempurna dari ajaran Al-Qur’an, sehingga ketika ‘Aisyah ra. ditanya mengenai akhlaq Rasulullah saw., dijawabnya “Akhlaq-nya ialah Al-Qur’an itu sendiri!”9

Kita hanya dapat memahami Al-Qur’an jika menelaah Sunnah. Dengan kata lain, memahami Al-Qur’an dengan mengabaikan Sunnah tidak lain hanyalah suatu perbuatan sia-sia dan menyulitkan diri sendiri. Sebagai contoh, konsep toleransi antar umat beragama dapat dijabarkan dengan berbagai konsep. Setiap orang bisa mengajukan konsepnya sendiri-sendiri, namun kita melihat (dengan bantuan Sunnah) bagaimana Rasulullah saw. mengimplementasikan konsep toleransi dalam ajaran Islam. Dengan mengikutsertakan Sunnah dalam penelaahan kita, maka pemahaman kita tidak akan berlebih ke kanan dan ke kiri, terhindar dari sikap ekstrem, dan tidak terjerumus pada suatu sikap yang sangat dibenci Allah SWT, yaitu berlebihan. Dalam hal ini Hamka bahkan menambahkan satu paragraf khusus untuk menekankan betapa pentingnya mempelajari Sunnah :
8 Ibid, p. 4-5.
9 Ibid, p. 25.

Kita jelaskan sekali lagi :
Kalau ada orang yang berani menafsir-nafsirkan saja al-Quran yang berkenaan dengan ayat-ayat hukum yang demikian, tidak berpedoman kepada Sunnah Rasul, maka tafsirnya itu telah melampaui, keluar daripada garis yang ditentukan oleh syariat. Sebab itu tidak seyogianya, tidak masuk akal bahwa seorang yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul berani-berani saja menafsirkan al-Quran yang berkenaan dengan halal dan haram menurut kehendaknya sendiri, padahal Sunnah Nabi telah ada berkenaan dengan itu. Nabi telah meninggalkan kepada kita jalan yang lurus dan jelas, malamnya sama terang dengan siangnya, dan selama-lamanya kita tidak akan tersesat dari dalam agama ini, atau terpesong keluar dari dalam garisnya, selama kita masih berpegang teguh kepada yang dua itu, yaitu Kitab dan Sunnah. Maka barangsiapa yang hendak mengenal Fiqhil-Quran, tidaklah akan berhasil maksudnya kalau dia tidak mempelajari Sunnah. Seorang yang berani menafsirkan al-Quran yang berkenaan dengan hukum dengan pendapatnya sendiri, padahal Sunnah ada, samalah halnya dengan orang yang masih saja memakai Qiyas, padahal Nash sudah ada dalam hal yang dia tinjau itu. Orang yang bertindak demikian, tidaklah lagi berfikir di dalam garis yang ditentukan oleh Islam.10

Buya Hamka juga mengingatkan untuk selalu memperlakukan Al-Qur’an sebagai sebuah bacaan yang komprehensif. Saking komprehensifnya – dan diyakini sebagai kitab yang tak ada kesalahan di dalamnya – maka ayat-ayat Al-Qur’an saling menafsirkan satu sama lainnya. Hamka memberi contoh dengan ayat ke-67 pada surah Thaahaa. Jika hanya ayat itu saja yang dibaca, maka nampak seolah-olah Nabi Musa as. merasa takut melihat tongkat-tongkat dan tali-tali para tukang sihir andalan Fir’aun yang sudah berubah menjadi ular. Namun jika kita juga menelaah ayat ke-116 dalam surah Al-A’raaf, maka kita akan sadari bahwa Nabi Musa as. tidak takut pada sihir itu, melainkan takut jika orang-orang, terutama kaumnya sendiri, akan
10 Ibid, p. 26.
terguncang imannya menyaksikan sihir tersebut jika Allah SWT tidak menunjukkan kekuasaan-Nya dengan segera, yaitu mukjizat yang mampu mengalahkan / melemahkan ilmu sihir. Beginilah bunyi kedua ayat yang dimaksud :
Maka Musa merasa takut dalam hatinya.
(Q.S. Thaahaa [20] : 67)
Musa menjawab: "Lemparkanlah (lebih dahulu)!" Maka tatkala mereka melemparkan, mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan).
(Q.S. Al-A’raaf [7] : 116)

Menurut Hamka, salah satu ‘bahaya’ besar dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah dengan memperturutkan kehendak masing-masing, sehingga mengabaikan kaidah-kaidah keilmuan yang sudah baku dan memilih pendapat yang sesuai dengan kehendaknya sendiri. Tentang hal ini Buya Hamka mengatakan :
Misalnya jika kita baca Tafsir al-Kasysyaf karangan Imam Jarullah az-Zamakhsyari kelihatanlah kegigihan beliau mempertahankan mazhab yang beliau anut, yaitu Mu’tazilah. Dan kalau kita tilik pula Tafsir ar-Raazi, kita lihatlah kegigihan beliau mempertahankan mazhab yang beliau anut, yaitu Syafi’iyah. Dan apabila kita baca pula tafsir yang ditulis sekitar seratus tahun yang telah lalu, yaitu Tafsir Ruhul Ma’ani, karangan al-Alusi Mufti Baghdad, kita lihat beliau mempertahankan mazhab yang beliau anut kemudian, yaitu Mazhab Hanafi, sedang dahulunya beliau adalah penganut Mazhab Syafi’i. Sampai-sampai ada susun kata beliau yang berbunyi kira-kira demikian : “Tetapi di dalam Mazhab kita, bukanlah begitu.” Meskipun sudah nyata susunan bunyi ayat lebih dekat kepada pendapat mazhab Syafi’i, beliau kuatkan juga pendapat mazhab yang beliau anut itu. Beliau telah berpindah mazhab kaena mazhab pemerintah Turki yang menguasai Irak pada waktu itu ialah Hanafi.11

Pada saat yang bersamaan, Hamka juga menegaskan bahwa dalam penyusunan Tafsir Al Azhar, beliau senantiasa berusaha agar semaksimal mungkin mendekati maksud setiap ayat apa adanya, tanpa bersikap ta’ashshub pada satu paham atau mazhab tertentu.12 Oleh karena itu, Buya Hamka membuka diri terhadap sekian banyak kitab tafsir yang pernah dibacanya.13 Dari sekian banyak kitab tafsir tersebut, Hamka mengaku sangat kagum pada Tafsir al-Manar karya Rasyid Ridha berdasarkan ajaran gurunya, Syaikh Muhammad Abduh. Selain itu, Hamka juga mengaku sangat terpengaruh oleh Tafsir al-Maraghi, Tafsir al-Qasimi, dan ‘kitab tafsir’ karya Sayyid Quthb yang diberi nama Fii Zhilaalil Qur’aan.14
Pluralisme

Jika hanya melihat kutipan penjelasan Buya Hamka sebagaimana yang dituliskan oleh Syafii Maarif sebelumnya15, terlihat seolah-olah pembaca Tafsir Al Azhar diarahkan untuk menyamaratakan semua agama ; seolah-olah memeluk agama Islam, Yahudi, Nasrani dan Shabi’in itu tak ada bedanya, asal beriman. Dengan kata lain, mereka yang beragama Yahudi, Nasrani dan Shabi’in pun bisa dikategorikan orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Pemahaman seperti ini persis sama sebagaimana yang disebarluaskan oleh para penyebar ajaran pluralisme di Indonesia. Inilah kekhawatiran yang menyebabkan beberapa cendekiawan Muslim untuk menuangkan pemikirannya dalam rubrik Opini, yaitu untuk mencegah tersebarnya ajaran pluralisme yang menyamaratakan semua agama, merelatifkan kebenaran,
11 Ibid, p. 40.
12 Ibid, p. 40-41.
13 Pada bagian akhir dari setiap jilid buku Tafsir Al-Azhar terbitan Pustaka Panjimas, disertakan juga daftar kitab-kitab tafsir yang beliau jadikan bahan referensi.
14 Op. Cit., p. 41.
15 Lihat halaman 4 pada makalah ini.

Apalagi jika ajaran tersebut disebarluaskan dengan mencatut nama Buya Hamka. Sebelumnya, para penyeru ajaran liberalisme – yang biasanya setali tiga uang dengan pihak penyeru pluralisme – juga pernah menyebut-nyebut Yusuf al-Qaradhawi dan Muhammad Natsir sebagai bagian dari jamaah mereka.16 Oleh karena itu, pluralisme menjadi objek diskusi selama berminggu-minggu setelah artikel Syafii Maarif dimuat, meskipun artikel tersebut justru sama sekali tak pernah menyebut-nyebut istilah “pluralisme”.

Mengenai pluralisme, Budhy Munawar-Rachman – pengajar Filsafat pada Universitas Paramadina Jakarta yang juga seorang pentolan JIL – mengutip berbagai ungkapan para pemikir Internasional yang sudah lebih dulu menyebarluaskan aliran pluralisme ini. Ungkapan-ungkapan yang pernah dikutipnya antara lain adalah : “Other religions are equally valid ways to the same truth” (John Hick), “Other religions speak of different but equally valid truths” (John B. Cobb Jr.), dan “Each religion expresses an important part of the truth” (Raimundo Panikkar).17

Di Indonesia, sudah banyak pula yang mengatakan terus terang pendapatnya bahwa semua agama itu benar. Ulil Abshar Abdalla, dalam sebuah wawancara di Majalah GATRA edisi 21 Desember 2002, mengatakan bahwa “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar.” Abdul Munir Mulkhan dalam bukunya yang berjudul Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar berkata, “Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap agama memasuki kamar surganya.” Nurcholis Madjid dalam bukunya, Tiga Agama Satu Tuhan, mengatakan “Satu Agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level esoteriknya.”18

Ironisnya, istilah “pluralisme” itu sendiri belum jelas definisinya, dan seringkali dibuat rancu dengan “pluralitas”. Ada yang berpendapat bahwa pluralisme adalah sikap positif dalam menerima pluralitas sebagai sebuah kenyataan, ada pula yang berpendapat bahwa pluralisme mendorong untuk menyamakan agama-agama
16 Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Islam Liberal : Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya (Jakarta : Gema Insani Press, 2002, cet. 1), p. 10-18.
17 Ibid, p. 100.
18 Adian Husaini, Pluralisme Agama : Haram. Fatwa MUI yang Tegas & Tidak Kontroversial (Jakarta Pustaka Al-Kautsar, 2005, cet. 1), p. 38-40.

yang plural (jamak). Singkatnya, sampai kini pun orang masih memperdebatkan definisi pluralisme.19
Islam, Yahudi, Nasrani dan Shabi’in dalam Pandangan Hamka

Penting sekali untuk mencermati bagaimana penjelasan Buya Hamka sendiri dalam Tafsir Al Azhar yang berkaitan dengan ayat ke-62 dalam surah Al-Baqarah tersebut. Kutipan yang dicantumkan Syafii Maarif dalam artikelnya memang tidak salah tulis atau keliru cetak, namun ada baiknya kita menelitinya secara keseluruhan. Beginilah awal dari penafsiran Buya Hamka terhadap rangkaian ayat 62-66 dalam surah Al-Baqarah :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman” (pangkal ayat 62). Yang dimaksud dengan orang beriman di sini ialah orang yang memeluk Agama Islam, yang telah menyatakan percaya kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan akan tetaplah menjadi pengikutnya sampai Hari Kiamat: “Dan orang-orang yang jadi Yahudi dan Nasrani dan Shabi’in” ; yaitu tiga golongan beragama yang percaya juga kepada Tuhan tetapi telah dikenal dengan nama-nama yang demikian.20

Dengan demikian, kita dapatkan tabel definisi sebagai berikut :
Istilah yang digunakan Hamka pada terjemahan ayat ke-62 dalam surah Al-Baqarah
Definisi Orang-orang yang beriman

Mereka yang memeluk Agama Islam (Hamka menggunakan huruf “A” dan “I” kapital), menyatakan percaya kepada Nabi Muhammad saw., dan akan tetap menjadi pengikut beliau hingga Hari Kiamat.
Orang-orang yang jadi Yahudi
Mereka yang juga percaya kepada Tuhan tapi dikenal dengan sebutan orang-orang Yahudi.
19 Perkembangan konsep pluralisme ini dijelaskan oleh Anis Malik Thoha pada bagian awal dari bukunya yang berjudul Tren Pluralisme Agama.
20 Hamka, Tafsir Al Azhar Juzu’ 1 (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1982), p. 211.
Orang-orang yang jadi Nasrani
Mereka yang juga percaya kepada Tuhan tapi dikenal dengan sebutan orang-orang Nasrani.
Orang-orang yang jadi Shabi’in
Mereka yang juga percaya kepada Tuhan tapi dikenal dengan sebutan orang-orang Shabi’in.

Kata “tapi” dalam tabel definisi di atas menunjukkan bahwa dalam kalimat tersebut terdapat sebuah kontradiksi. “Percaya kepada Tuhan tapi dikenal sebagai orang Yahudi” artinya sama saja dengan mengatakan bahwa agama Yahudi sesungguhnya bukan agama yang tepat bagi mereka yang sebenar-benarnya beriman. Kata “dikenal” bahkan memberi penekanan lebih lanjut, yaitu bahwa agama Yahudi, Nasrani dan Shabi’in yang disandang oleh orang-orang yang dibicarakan dalam ayat ini sebenarnya tidak tepat untuk disandangkan pada mereka, hanya saja masyarakat sudah terlanjur menganggap demikian.
Mengenai agama Yahudi, Hamka menjelaskan lebih jauh bahwa nama “Yahudi” itu sendiri terambil dari nama Yehuda, yaitu salah seorang anak Nabi Ya’qub as. Oleh karena itu, Yahudi lebih merupakan sebuah agama keluarga daripada agama untuk manusia pada umumnya.21 Jika sebutan “Yahudi” memang diperuntukkan bagi sebuah bangsa atau keluarga, maka memang dimungkinkan adanya ‘Yahudi yang beriman’ dan ‘Yahudi yang tidak beriman’, karena batasan antara istilah “Yahudi” dan “Bani Israil” memang sangat tipis sekali, apalagi bila kita membicarakan orang-orang di masa lalu yang telah tiada dan tak bisa lagi dimintai keterangannya. Jika seorang Yahudi atau Bani Israil memegang teguh ajaran Taurat yang murni, maka ia bukanlah seorang yang kafir, dan statusnya sama saja dengan umat Islam yang memegang teguh ajaran Rasulullah saw.

Agama Nasrani, atau kaum Nashara, juga terambil dari suatu bangsa, yaitu yang berasal dari daerah kelahiran Nabi ‘Isa as., yaitu Nazaret (dalam bahasa Ibrani) atau Nashirah (dalam bahasa Arab). Beberapa ulama berpendapat bahwa istilah “Nasrani” memang berasal dari nama desa Nashirah, antara lain menurut pendapat Ibnu Qatadah dan Ibnu Abbas. Adapun nama “Shabi’in” akar katanya bermakna “keluar dari agama asalnya”. Oleh karena itu, Rasulullah saw. pun pernah disebut sebagai seorang shabi’ karena telah mencela-cela berhala yang disembah oleh kaumnya.22 Penjelasan ini menunjukkan bahwa bisa jadi ada orang yang dikenalsebagai seorang Nasrani atau Shabi’in, padahal ia sebenarnya beriman kepada Allah SWT.

Mengenai definisi iman, Buya Hamka menggunakan definisi yang kurang lebih sama dengan yang digunakan oleh jumhur ulama, yaitu “pengakuan hati yang terbukti dengan perbuatan yang diucapkan oleh lidah menjadi keyakinan hidup.” Hal ini diungkapkannya ketika menjelaskan penafsiran atas ayat ke-3 dalam surah Al-Baqarah.23 Dalam penjelasannya perihal ayat ke-4 dalam surah Al-Baqarah, Hamka menegaskan bahwa iman itu niscaya baru sempurna jika percaya kepada apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.24

Dengan demikian, orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Shabi’in yang pernah bertemu dengan risalah Nabi Muhammad saw. namun tak beriman pada beliau tidaklah layak dimasukkan dalam kategori ‘orang-orang yang beriman’. Sebab, sebagaimana penjelasan Buya Hamka ketika menafsirkan istilah “mereka yang dimurkai” pada akhir surah Al-Fatihah, ditegaskan bahwa ungkapan ini merujuk pada mereka yang telah diberi petunjuk, telah diutus Rasul-Rasul kepadanya, dan telah diturunkan Kitab-Kitab wahyu kepadanya, namun ia tidak juga beriman.25 Hal ini penting untuk digarisbawahi, untuk memberi penekanan pada definisi istilah “Yahudi”, “Nasrani” dan “Shabi’in” yang tercantum pada ayat ke-62 dalam surah Al-Baqarah sebagaimana ditafsirkan oleh Hamka.

Buya Hamka juga mengulas sebuah hadits yang cukup dikenal luas, yaitu peristiwa ketika seseorang bertanya kepada Rasulullah saw. mengenai orang-orang yang dijelaskan dalam bagian akhir dari surah Al-Fatihah tersebut. Jawaban Nabi saw. adalah : “Yang dimaksud dengan orang-orang yang dimurkai ialah Yahudi dan yang dimaksud dengan orang-orang yang sesat ialah Nasrani.”26 Hal ini, jika dikombinasikan dengan kata “tapi” dan “dikenal” pada terjemahan versi Hamka ayat ke-62 dalam surah Al-Baqarah, ditambah lagi dengan definisi “iman” dan penjelasan mengenai bagian akhir dari surah Al-Fatihah dalam Tafsir Al Azhar, semakin menambah jelas bahwa agama Yahudi, Nasrani dan Shabi’in tidak memiliki makna yang selevel dengan agama Islam. Adapun agama yang benar hanyalah Islam, namun tidak menutup kemungkinan ada pula orang-orang di masa lalu yang dikenal sebagai pemeluk agama Yahudi, Nasrani, dan Shabi’in, padahal mereka sungguh-sungguh beriman. Ini tak ubahnya seperti Nabi Daud as. yang disebut sebagai Yahudi oleh orang-orang Yahudi, juga disebut Nasrani oleh orang-orang Nasrani, padahal sebenarnya beliau adalah seorang Nabi yang saleh dan sudah pasti beriman kepada Allah SWT dengan sebenar-benarnya iman.

Dalam Tafsir Al Azhar, Buya Hamka menjelaskan masalah kekafiran dalam banyak kesempatan, antara lain ketika menjelaskan penafsiran atas ayat ke-6 dan ke-7 dalam surah Al-Baqarah. Banyak contoh yang beliau kemukakan di sana, antara lain tentang para pemuka kaum Yahudi di Madinah pada masa Rasulullah saw. yang menolak mengakui kenabian beliau. Demikian pula Raja Heraclius dari Syam yang mengetahui kenabian beliau, namun menolak untuk tunduk karena takut kehilangan kedudukannya sebagai Raja. Ada pula kekafiran yang lebih ‘kasar’ seperti Kisra dari Persia yang menolak mentah-mentah dakwah Rasulullah saw.

Pada akhirnya, Buya Hamka menyimpulkan definisi kekafiran sebagai berikut :
Yang dikatakan kafir ialah orang-orang yang tidak mau percaya kepada adanya Allah. Atau percaya juga dia bahwa Allah ada, tetapi tidak dipercayainya akan keesaanNya, dipersekutukannya yang lain itu dengan Allah. Atau tidak percaya akan kedatangan Rasul-rasul dan Nabi-nabi Allah dan tidak percaya akan kehidupan Hari Akhirat. Tidak percaya akan adanya syurga dan neraka. Pendeknya tidak menerima, tidak mau percaya kepada keterangan-keterangan jelas yang termaktub dalam Kitab Allah ; semuanya itu ditolaknya, setelah datang kepadanya keterangan yang jelas.28

Di sini, Hamka telah menunjukkan pendiriannya yang tegas, yaitu bahwa antara keimanan dan kekafiran terdapat suatu batasan yang tegas. Siapa pun yang hidup dan telah mengenal ajaran yang benar dari para Nabi dan Rasul pada jamannya dan tak mau mengikutinya, maka ia dikategorikan sebagai orang kafir. Dengan demikian, kaum Yahudi, Nasrani, dan Shabi’in pada masa kini yang tidak mau mengikuti ajaran Rasulullah saw. juga tak mungkin dikategorikan sebagai orang-orang yang beriman. Di sisi lain, orang yang mengaku dirinya Muslim dan beriman kepada Allah dan Hari Kemudian juga bisa disebut kafir jika menolak perintah agama.

Meski demikian, perlu pula dibedakan antara kelalaian dan pengingkaran. Muslim yang lalai shalat tidaklah sama dengan orang kafir yang mengingkari perintah shalat.29
‘Satu Titik’

Ada pula penjelasan Hamka yang sekilas nampak seperti ajaran pluralisme, namun sebenarnya tidak. Silakan cermati paragraf berikut :
Apabila telah bersatu mencari kebenaran dan kepercayaan, maka pemeluk segala agama itu akhir kelaknya pasti bertemu pada satu titik kebenaran. Ciri yang khas dari titik kebenaran itu ialah menyerah diri dengan penuh keikhlasan kepada Allah yang Satu ; itulah Tauhid, itulah Ikhlas, dan itulah Islam! Maka dengan demikian, orang yang telah memeluk Islam sendiripun hendaklah menjadi Islam yang sebenarnya.


Hamka tidak mengatakan bahwa semua agama itu benar dan menyembah Tuhan yang Satu, melainkan justru para pemeluk agama yang benar-benar mencari kebenaran dengan hati yang bersih dan jujur, pastilah akhirnya akan bertemu pada satu titik. ‘Satu titik’ di sini jelas tidak mencerminkan sikap merelatifkan kebenaran, melainkan sebuah penegasan bahwa kebenaran memang hanya satu. Untuk lebih tegasnya lagi, Hamka juga menyebutkan bahwa kebenaran yang dimaksud tidak lain adalah agama Islam itu sendiri. Di akhir penjelasannya, Hamka menghimbau umat Islam agar tidak cepat ‘merasa aman’ karena sudah mengaku beriman. Sikap yang paling benar sebagai seorang Muslim adalah mengevaluasi diri dan melakukan perbaikan secara berkesinambungan.

Sikap Buya Hamka terhadap agama Yahudi dan Nasrani bahkan telah dijelaskan dengan lebih tegas, namun luput dari pengutipan Syafii Maarif dalam artikelnya. Padahal, penegasan sikap ini sangat penting untuk dicantumkan guna menjelaskan pendapat Hamka yang sebenarnya.

Dan kedatangan Islam bukanlah sebagai musuh dari Yahudi dan tidak dari Nasrani, melainkan melanjutkan ajaran yang belum selesai. Maka orang yang mengaku beriman kepada Allah, pasti tidak menolak kedatangan Nabi dan Rasul penutup itu dan tidak pula menolak Wahyu yang dia bawa. Yahudi dan Nasrani sudah sepatutnya terlebih dahulu percaya kepada kerasulan Muhammad apabila keterangan tentang diri beliau telah mereka terima. Dan dengan demikian mereka namanya telah benar-benar menyerah (Muslim) kepada Tuhan. Tetapi kalau keterangan telah sampai, namun mereka menolak juga, niscaya nerakalah tempat mereka kelak.31

Dengan demikian, jelaslah kini duduk permasalahannya. Jika semua keterangan dari Buya Hamka disampaikan dengan baik, setidaknya dijelaskan inti-inti pembicaraannya, akan jelaslah bahwa beliau sama sekali tidak bermaksud menyamakan agama Islam dengan yang lainnya, dan beliau pun memiliki pendirian yang tegas terhadap agama yang benar, yaitu Islam. Hal ini membuktikan bahwa nama beliau tak sepatutnya digunakan untuk membenarkan ajaran pluralisme, terutama karena uraiannya dalam Tafsir Al Azhar sangat berlawanan dengan paham tersebut.

Sayang sekali paragraf di atas ini tidak dikutip dalam artikel Syafii Maarif. Jika paragraf ini dicantumkan, maka takkan ada keraguan mengenai pernyataan-pernyataan Buya Hamka dalam menafsirkan ayat tersebut. Sebaliknya, penjelasan Hamka yang dikutip justru menggiring pembaca untuk mengira bahwa beliau benar-benar sejalan dengan paham pluralisme.
Antara Fii Zhilaalil Qur’aan dan Al-Mishbah

Barangkali bermanfaat untuk memperbandingkan penafsiran Hamka terhadap ayat ke-62 dalam surah Al-Baqarah ini dengan tafsir lainnya. Sangat masuk akal jika kita menggunakan Kitab Fii Zhilaalil Qur’aan sebagai pembanding, karena Hamka sendiri menyatakan terus terang bahwa dirinya sangat mengagumi buah karya Sayyid Quthb ini serta sangat terpengaruh olehnya. Demikianlah penjelasan Sayyid Quthb :

Yang dimaksud dengan “orang-orang yang beriman” ialah kaum muslimin. Dan, “al-ladziina haaduu” ialah orang-orang Yahudi, yang boleh jadi bermakna ‘kembali kepada Allah’ dan boleh jadi bermakna bahwa mereka adalah anak-anak Yahudza. Sedangkan, nashara adalah pengikut Nabi Isa as.. Adapun shabiin, menurut pendapat yang lebih kuat ialah golongan musyrikin Arab sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw., yang berada dalam keragu-raguan terhadap tindakan kaumnya yang menyembah berhala, lalu mereka mencari akidah sendiri yang mereka sukai dan kemudian mendapat petunjuk kepada akidah tauhid. Para ahli tafsir berkata, “Sesungguhnya mereka itu melakukan ibadah menurut agama hanif semula, agama Nabi Ibrahim, dan mereka meninggalkan tata peribadatan kaumnya, hanya saja mereka tidak mendakwahi kaumnya itu. Kaum musyrikin berkata tentang mereka itu, “Sesungguhnya mereka shabauu, yakni meninggalkan agama nenek moyangnya, sebagaimana yang mereka katakan terhadap kaum muslimin sesudah itu. Karena itulah, mereka disebut shabi’ah.” Pendapat ini lebih kuat daripada pendapat yang mengatakan bahwa mereka itu penyembah bintang sebagaimana disebutkan dalam beberapa tafsir.

Ayat ini menetapkan bahwa siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta beramal saleh, mereka akan mendapatkan pahala di sisi Tuhannya, mereka tidak merasa khawatir dan tidak bersedih hati.
Yang ditekankan di sini adalah hakikat ibadah, bukan fanatisme golongan atau bangsa. Dan, hal ini tentu saja sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw. Adapun sesudah diutusnya beliau, maka bentuk iman yang terakhir ini sudah ditentukan.32
32 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Jilid 1 (Jakarta : Gema Insani Press, 2000, cet. 5), p. 90-91.

Baik Buya Hamka maupun Sayyid Quthb sama-sama berpendapat bahwa ‘titik kebenaran’ itu telah final, yaitu agama Islam sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Dengan demikian, kaum Yahudi, Nasrani dan Shabi’in yang sempat bertemu dengan ajaran Islam namun tak beriman tidak akan diridhai oleh Allah SWT.

Selain kitab Fii Zhilaalil Qur’an, kita juga dapat memperbandingkan penjelasan Buya Hamka dengan pendapat Quraish Shihab yang dituangkannya dalam Tafsir Al-Mishbah. Tafsir Al-Mizhbah dipilih karena tafsir ini dikenal sangat toleran, bahkan sebagian kalangan menganggapnya terlalu toleran terhadap pendapat-pendapat yang lemah. Salah satu sisi yang sering diperdebatkan dari Tafsir Al-Mishbah adalah ketika membahas jilbab, di mana Quraish Shihab justru mengedepankan pendapat lemah yang menganggap bahwa jilbab bukanlah suatu kewajiban bagi seorang Muslimah.

Ternyata, dalam Tafsir Al-Mishbah yang ‘terlalu toleran pada pendapat lemah’ pun, kita jumpai penolakan yang sangat kuat terhadap paham pluralisme.
Ada sementara orang yang perhatiannya tertuju kepada penciptaan toleransi antar ummat beragama yang berpendapat bahwa ayat ini dapat menjadi pijakan untuk menyatakan bahwa penganut agama-agama yang disebut oleh ayat ini, selama beriman kepada Tuhan dan hari kemudian, maka mereka semua akan memperoleh keselamatan,... tidak akan diliputi oleh rasa takut di akhirat kelak, dan tidak pula akan bersedih.

Pendapat semacam ini nyaris mempersamakan semua agama, padahal agama-agama itu pada hakikatnya berbeda-beda dalam aqidah serta ibadah yang diajarkannya. Bagaimana mungkin Yahudi dan Nasrani dipersamakan, padahal keduanya saling mempersalahkan. Bagaimana mungkin yang ini dan itu dinyatakan tidak akan diliputi rasa takut dan sedih, sedang yang ini menurut itu – dan atas nama Tuhan yang disembah – adalah penghuni surga dan yang itu penghuni neraka? Yang ini tidak sedih dan takut, dan yang itu, bukan saja takut tetapi disiksa dengan aneka siksa.
Bahwa surga dan neraka adalah hak prerogatif Allah memang harus diakui. Tetapi hak tersebut tidak menjadikan semua penganut agama sama di hadapan-Nya. Bahwa hidup rukun dan damai antar pemeluk agama adalah sesuatu yang mutlak dan merupakan tuntunan agama, tetapi cara untuk mencapai hal itu bukan dengan mengorbankan ajaran agama.33

Pemaksaan Agama

Syafii Maarif menggarisbawahi konsep toleransi dan anti-pemaksaan agama dalam penafsiran Hamka. Setelah menjelaskan pendapatnya mengenai kaum-kaum yang melihat petunjuk tapi tak mau mengikutinya, Hamka melengkapinya dengan penjelasan mengenai neraka (yaitu tempat di akhirat yang Allah sediakan bagi orang-orang yang tak beriman), sebagaimana yang dikutip oleh Syafii Maarif dalam artikelnya.34 Ada dua contoh pemaksaan agama yang diuraikan oleh Buya Hamka, dan keduanya justru menjelaskan kaum Yahudi dan Nasrani sebagai pelaku utamanya. Kedua contoh tersebut adalah :
1. Raja Yahudi dari Yaman Selatan, yaitu Dzi Nuwas, yang menggali lubang besar dan menyalakan api di dalamnya untuk memaksa penduduk Najran agar memeluk agama Yahudi.
2. Para pemuka agama Yahudi dan Nasrani yang mati-matian menghambat dakwah Islam, menyebar berita bohong, dan selalu menganggap umat Islam sebagai musuhnya. Padahal, Islam menyebut mereka dengan istilah kehormatan, yaitu Ahlul Kitab.

Tidak diragukan lagi bahwa Islam memang melarang pemaksaan untuk memeluk suatu agama, sehingga usaha untuk mendakwahkan Islam pun tak boleh dilakukan dengan cara demikian. Akan tetapi, konsep toleransi ini harus dipahami dengan benar, yaitu atas dasar perbedaan yang nyata, bukan penyamarataan agama. Kekeliruan semacam ini bisa diakibatkan oleh pemahaman yang tidak menyeluruh, misalnya memahami sikap Islam terhadap agama lain hanya dengan dasar ayat “lakum diinukum wa liyadiin” sementara mengabaikan lima ayat sebelumnya sekaligus juga sekian banyak ayat lainnya di dalam Al-Qur’an.
33 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 1 (Ciputat : Penerbit Lentera Hati, 2000, cet. 1), p. 208.
34 Lihat halaman 5 pada makalah ini.

Dengan demikian, ajakan untuk kembali pada ajaran toleransi oleh Syafii Maarif dapat dibenarkan, namun dasar pemikirannya harus dijernihkan terlebih dahulu. Jika dasar pemikirannya adalah pada kutipan penjelasan Hamka sebelumnya (yang jika dibaca sekilas akan nampak seolah-olah membenarkan paham liberalisme), maka toleransi semacam itu tidaklah dibenarkan oleh Islam, tidak pula disetujui oleh Buya Hamka. Sikap toleran terhadap umat lain tidak membuat kita wajib menyebut agamanya sebagai agama yang benar selain Islam.

Sikap ‘lunak dan keras’ Hamka ini perlu ditelaah lebih lanjut. Di satu sisi, Hamka bersikap sangat ‘lunak’ ketika menjelaskan bahwa ayat ke-62 dalam surah Al-Baqarah ini jangan dianggap telah di-nasakh oleh ayat ke-85 dalam surah Ali ‘Imran, agar umat Islam tidak bersikap fanatik dan merasa benar sendiri.35 Tepat setelah menunjukkan sikap ‘lunak’ tersebut, Hamka malah bersikap ‘keras’ dengan menyebutkan suatu hadits yang menjelaskan bahwa orang-orang Yahudi, Nasrani dan umat mana pun yang mendengar dakwah Rasulullah saw. namun menolak beriman padanya pasti akan masuk neraka.36 Hadits ini kemudian diikuti dengan penjelasan Hamka sendiri sebagaimana yang sudah dibahas sebelumnya.37

Kalangan yang mempromosikan paham pluralisme memang seringkali berpikir ‘terlalu jauh’ dalam merespon fatwa ulama. Jika ada ulama yang mengatakan bahwa hanya ajaran Islamlah yang mengarahkan manusia pada keselamatan dunia-akhirat, maka ulama itu akan diberi predikat ‘ekstrem’, ‘radikal’, dan semacamnya. Padahal, keyakinan penuh terhadap agama sendiri sama sekali tidak mengimplikasikan kebencian pada umat beragama lainnya, atau adanya keinginan untuk mencelakakan umat beragama lainnya. Keyakinan pada agama sendiri dan keinginan untuk mencelakakan yang lain adalah dua hal yang sangat berbeda.

Dalam hal ini, sebagaimana pesan Buya Hamka sebelumnya, sunnah Nabi saw. wajib digunakan untuk memahami pesan-pesan Al-Qur’an.38 Rasulullah saw. tidak akan memberikan jawaban yang tidak tegas dalam urusan aqidah. Beliau selalu menegaskan bahwa siapa pun yang mendengar dakwahnya namun tidak mengikutinya pasti akan masuk neraka. Akan tetapi, sebagaimana penjelasan Buya Hamka juga, neraka bukanlah di dunia, melainkan di akhirat. Manusia, apalagi umat Islam, tak punya kepentingan untuk ‘menciptakan neraka’ di dunia. Itulah sebabnya Hamka
35 Hamka, Tafsir Al Azhar Juzu’ 1 (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1982), p. 217.
36 Ibid.
37 Lihat halaman 17 pada makalah ini.
38 Lihat halaman 8 pada makalah ini.
21
mengutuk perbuatan Raja Dzi Nuwas yang membantai semua penduduk Najran yang menolak memeluk agama Yahudi. Rasulullah saw. pun demikian halnya. Meskipun beliau yakin seratus persen bahwa agama Islam – yaitu agama yang dibawanya – adalah yang paling benar, sementara agama Yahudi dan Nasrani telah menyimpang dari ajaran Tauhid yang lurus, namun kita tidak menjumpai sikap kasar beliau terhadap penganut agama lainnya. Beliau tetap berinteraksi dengan baik kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, selama mereka tidak memusuhi beliau. Di sinilah kita jumpai titik temu antara sikap ‘keras’ dan ‘lunak’ sebagaimana yang ditunjukkan dalam Tafsir Al Azhar. Menganggap orang lain telah berbuat salah atau berpendapat keliru bukan berarti harus bertindak kasar padanya. Dalam dunia pendidikan pun, menghukum keras siswa yang melakukan kesalahan bukan sebuah tindakan yang bijaksana.

Jadi, kasus-kasus pemaksaan agama sebenarnya bukan berasal dari keyakinan penuh terhadap agama sendiri, melainkan dari aktualisasi yang salah atas keyakinan tadi. Jika kita merasa benar sendiri, dan merasa berhak ‘menciptakan neraka di dunia’ bagi orang-orang yang kita anggap salah, maka pertumpahan darah pasti akan terjadi, sebagaimana yang terjadi di Eropa pada era hegemoni Geraja dahulu.
Duduk Permasalahannya

Hal menarik lainnya yang perlu mendapat perhatian adalah awal dari permasalahan itu sendiri, yaitu kejadian yang menyebabkan Syafii Maarif merasa berkewajiban untuk menuliskan artikelnya yang kontroversial itu. Awal mulanya adalah sebuah pesan singkat dari seorang jenderal polisi yang mengaku membutuhkan penjelasan mengenai ayat ke-62 dalam surah Al-Baqarah demi menghadapi beberapa tersangka kerusuhan di Poso. Mudah ditebak bahwa para tersangka kerusuhan yang dimaksud di sini semuanya beragama Islam. Mudah ditebak pula bahwa sang jenderal berkesimpulan (atau berasumsi?) bahwa akar konflik di Poso adalah pemaksaan agama, salah satunya adalah kasus umat Islam yang memaksa umat lain untuk memeluk agama Islam.

Meskipun Islam terang-terangan melarang aksi pemaksaan agama, namun kita tidak serta-merta bisa begitu saja menerima keterangan dari jenderal polisi tersebut. Benarkah akar konflik di Poso salah satunya adalah aksi pemaksaan agama dari pihak umat Islam? Sementara data-data yang ada di lapangan sangat melemahkan hipotesa itu. Umat Islam di Poso adalah minoritas, sehingga tidak pada tempatnya melakukan pemaksaan agama (kalaupun memang ada niat untuk melakukannya). Selain itu, sebagaimana dapat kita lihat dari uraian di atas, meskipun berpendirian tegas bahwa ajaran Islamlah yang paling benar, tak ada satupun ulama yang menganjurkan pemaksaan agama terhadap kaum Non-Muslim. Oleh karena itu, jika memang ada aksi pemaksaan agama di Poso, maka perlu dipertanyakan dari mana sumbernya.

Sang jenderal (dan Syafii Maarif) juga tidak boleh berpaling dari fakta bahwa umat Islamlah yang paling banyak menjadi korban di Poso, dan bukan sebaliknya. Sebagai tokoh umat Islam Indonesia, terutama Muhammadiyah, Syafii Maarif semestinya bersikap lebih kritis ketimbang langsung memenuhi permintaan sang jenderal tersebut. Dengan sikap yang demikian itu, Syafii Maarif malah mengimplikasikan bahwa memang benar umat Islam Poso telah melakukan penyimpangan terhadap ajaran Al-Qur’an, yakni bersikap toleran terhadap umat beragama lainnya. Sulit dibayangkan betapa sakit hati umat Islam Poso yang menjadi korban dalam konflik tersebut jika menyaksikan sikap Syafii Maarif yang demikian itu.

Kesimpulan

Beberapa kritik memang pantas untuk dialamatkan kepada Syafii Maarif atas penulisan artikel Hamka Tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah. Telah terjadi kerancuan yang luar biasa akibat pengutipan yang tidak tepat, sehingga mengakibatkan munculnya kesan yang berlawanan sama sekali dengan pendapat Buya Hamka yang sebenarnya. Akibat kelalaiannya dalam mencantumkan beberapa detil penjelasan, maka timbul kesan bahwa Hamka benar-benar mendukung pluralisme sebagaimana yang dipromosikan oleh kaum sekularis-liberalis pada umumnya.

Penjelasan dalam artikel Syafii Maarif juga perlu dikritisi karena tidak lengkap menyajikan definisi peristilahan yang digunakan sebagaimana yang dimaksudkan oleh Hamka. Untuk itu, sebaiknya merujuk pada bagian-bagian lain dalam Tafsir Al Azhar atau karya-karya Hamka yang lainnya. Sebab, adakalanya istilah yang digunakan Hamka berbeda definisi dengan yang biasa digunakan orang. Sebagai contoh, Hamka sering menggunakan istilah “tasawuf”, namun definisinya jelas berbeda dengan kebanyakan aliran tasawuf yang kita jumpai di masyarakat. Jika kita menelusuri definisi peristilahan yang digunakan oleh Hamka, akan jelaslah bahwa paham yang dibawanya itu sangat berlainan dengan paham pluralisme, meskipun istilah “pluralisme” itu sendiri seringkali kabur definisinya.

Selain kesan yang salah, masalah juga muncul akibat kekeliruan dalam melihat duduk permasalahan yang sebenarnya. Sebagai seorang tokoh Islam Nusantara, Syafii Maarif seharusnya bersikap tegas membela umat Islam yang tertindas. Dalam kasus ini, setidaknya Syafii Maarif bisa mengecek fakta-fakta lapangan terlebih dahulu dan mengoreksi pendapat sang jenderal rekannya itu jika ada yang dirasa melenceng dari kenyataan. Sebab, jika salah bersikap, maka Syafii Maarif akan nampak seolah-olah mendukung perspektif yang keliru terhadap umat Islam, terutama umat Islam di Poso.

Buya Hamka adalah seorang ulama yang rendah hati dan berusaha untuk berdiri menengahi setiap golongan. Dalam usahanya untuk menjadi penengah itu, terkadang beliau memberi kesan seolah-olah sependirian dengan para pengusung paham pluralisme. Di sisi lain, jika kita menelaah pemikiran-pemikirannya secara mendalam, jelas terlihat bahwa beliau tidak bersikap ambigu dalam kebenaran, apalagi soal aqidah. Beliau tidak ragu untuk mengatakan bahwa agama Islam adalah ajaran yang paling benar, sementara yang lainnya keliru. Meski demikian, sesuai dengan prinsip-prinsip toleransi dalam ajaran Islam, beliau juga tidak menganjurkan sikap anarkis dan fanatik buta dalam beragama. Dalam kaitannya dengan ayat ke-62 dalam surah Al-Baqarah ini,

Buya Hamka berpesan agar setiap umat beragama mengevaluasi dirinya sendiri dan membaktikan hidup untuk mencari kebenaran dengan penuh ketulusan dan kejujuran. Jika benar-benar mencari kebenaran, maka tidak bisa tidak, cepat atau lambat pasti akan bertemu dengan ajaran Islam. Setegas itulah keyakinan Buya Hamka terhadap Agama Islam (dengan huruf “A” dan “I” kapital).

Daftar Pustaka
Adian Husaini (2005), Pluralisme Agama : Haram. Fatwa MUI yang Tegas & Tidak Kontroversial, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.
Adian Husaini (2006), Hamka dan Pluralisme Agama, surat kabar Republika, edisi Jum’at, 1 Desember 2006.
Adian Husaini dan Nuim Hidayat (2002), Islam Liberal : Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya, Jakarta : Gema Insani Press.
Ahmad Syafii Maarif (2006), Hamka Tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah, surat kabar Republika, edisi Selasa, 21 Nopember 2006.
Al Makin (2006), Menghindari ‘Argumen Sirkuler’ Pluralisme, surat kabar Republika, edisi Jum’at, 22 Desember 2006.
Anis Malik Thoha (2005), Tren Pluralisme Agama, Jakarta : Penerbit Perspektif.
Bustanuddin Agus (2006), Meluruskan Persepsi Pluralisme, surat kabar Republika, edisi Jum’at, 15 Desember 2006.
Fajar Riza Ul Haq (2006), Pluralisme, Syafii dan Hamka, surat kabar Republika, edisi Jum’at, 8 Desember 2006.
Hamka (1982), Tafsir Al Azhar Juzu’ 1, Jakarta : Pustaka Panjimas.
M. Hasibullah Satrawi (2006), Menyelami Lautan Pluralisme Islam, surat kabar Republika, edisi Jum’at, 22 Desember 2006.
M. Quraish Shihab (2000), Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 1, Ciputat : Penerbit Lentera Hati.
Sayyid Quthb (2006), Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jakarta : Gema Insani Press.
Syamsuddin Arif (2006), (Mis)interpretasi ‘Ayat Pluralisme’, surat kabar Republika, edisi Jum’at, 15 Desember 2006.
Syamsul Hidayat (2006), Menyelami Penafsiran Buya Hamka, surat kabar Republika, edisi Jum’at, 1 Desember 2006.
Zuhairi Misrawi (2006), Pluralisme Berbasis Alquran, surat kabar Republika, edisi Jum’at, 8 Desember 2006.