Cari Blog Ini

Sabtu, 04 Februari 2012

Wahhabi Menjawab Sepotong Kalimat Tuduhan Ustadz Bukhori (2)


Pemelintiran Ustadz Bukhori atas nama Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah dan Tuduhan Dusta atas nama Wahhabi

بسم الله الرحمن الرحيم

Oleh Syaikh Abdullah Alu Baher -Ghafarallahu lahu-

Alhamadulillah, Segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala Yang telah mencurahkan kasih sayangnya kepada orang-orang yang teguh di atas jalan Rasul-Nya sehingga mereka teguh di atas jalan yang mengantarkan mereka bahagia dunia dan akhirat. Shalawat dan salam senantiasa mengiringi ingatan kita agara lidah kita basah dengannya teruntuk baginda tercinta Rasulullah Muhammad bin Abdillah, kelurganya, sahabat dan orang-orang yang konsisten dengan risalahnya.

إِنَّ اَصدقَ الحديث كلام الله و خير الهدي هدي محمَّد صلى الله عليه و سلم و شرَّ الامور محدثاتها و كلَّ محدثَة بدعة و كل بدعة ضلــــــــــــــــــــــــــالة و كل ضلالة في النــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــار

أما بعد

Saudaraku… telah kami sampaikan risalah sederhana berisi tentang pembelaan kami terhadap ‘Allamah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -Qaddasallahu ruhah- atas perkataan Ustadz Bukhori yang bernada meremehkan. Pada risalah kali ini kami akan memaparkan pemelintiran Ustadz Bukhori Maulana terhadap perkataan Syaikhul Islam Ibnul Qoyyim -rahimahullah-. Kenapa? Karena beliau menukil perkataan Ulama kemudian perkataan itu tidak sesuai dengan maksud yang disampaikan. Disini kami juga menepis apa yang Ustadz tuduhkan kepada Wahhabi (baca:ahlussunnah) bahwasanya Wahhabi mengatakan kirim pahala itu tidak sampai serta mengurai masalah Ihda’utstsawab lil Mayyit kemudian mengurai perkataan ulama rujukan Wahhabi yang dihakimi. Hanya kepada Allah lah kami memohon pertolongan agar menunjukkan kepada kita yang benar itu benar dan memberikan kita kekuatan untuk mengikutinya, dan yang salah itu salah serta memberikan kita kekuatan untuk menjahuinya.

Saudaraku… adapun kalimat yang disampaikan oleh Ustadz Bukhori yang kami koreksi adalah sebagai berikut:

“Ibnul Qoyyim mengatakan seluruh ulama bersepakat bahwa kirim pahala bacaan Al-Qur’an, shodaqoh dan lain sebagainya sampai ke mayyit kecuali kelompok ahlul bid’ah di kalangan ahli kalam yaitu mu’tazilah. Jadi seluruh ulama dari zaman Nabi Muhammad sampai sa’at ini sepakat kirim pahala itu sampai”

Perkataan ini menurut pengakuan beliau diambil dari Kitab Syaikhul Islam dari Kitab Ar-Ruh. Kami sudah mengecek kitab Ar-Ruh dan kami tidak menemukan keterangan yang persis sama saperti yang beliau sampaikan. Memang ada penjelasan sang Imam mengulas masalah mayyit yang mendapat manfa'at dari orang yang masih hidup, namun kata-kata sepakat dalam masalah kirim bacaan Al-Qur'an ini tidak benar. Karena konseksuensi dari perkataan tersebut juga pada akhirnya memojokkan ulama. Namun sebelum kami mengoreksi kalimat beliau terlebih dahulu kita mengenal kitab Ar-Ruh.

Ada apa dengan kitab Ar-Ruh?

Kitab Ar-Ruh adalah karangan dari Syaikhul Islam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah -rahimahullah- dan penisbatan kitab tersebut kepada beliau adalah benar. Namun dengan begitu, beberapa orang yang berintisab terhadap Ilmu (ahlul Ilmi/Thalibul Ilmi) yang mengingkari penisbatan kitab ini terhadap beliau, diantaranya adalah Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid, karena banyak hal yang bertentangan dengan prinsip Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -Qaddasallahu ruhah- dan juga salaf. Salah satunya adalah bahwa didalam kitab itu Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah mendukung amaliyyah talqin Mayyit setelah penguburannya. Hal ini tidak menjadi dasar kita untuk menolak kesahihan penisbatan kitab tersebut terhadap beliau karena kalaupun salah memang karena beliau tidak ma’shum dan beliau ma’dzur dalam hal ini bahkan mendapat pahala ijtihad setelah berusaha untuk mendapatkan hasil istimbathul hukm. Yang wajib bagi kita adalah mengikuti apa yang beliau pegang yang sesuai dengan KEBENARAN. Dan dari sini kami katakan kepada Al-Ustadzul Karim Bukhori Maulana bahwa KAMI TIDAK MENYEMBAH IBNU QOYYIM AL-JAUZIYYAH karena tidak mengikuti dan taqlid terhadap kesalahan beliau yang menyelisihi Kitabullah dan Sunnah serta menganggap semua qoul beliau MUTHLAQ BENAR SEMUA.

Ada beberapa bukti yang dikemukakan oleh Dr. Bassam Ali Salamah Al-‘Amush dalam studi dan tahqiq beliau terhadap kitab Ar-Ruh. Ada beberapa poin yang disampaikan beliau mengenai Kitab ini, berikut kami paparkan keterangan beliau:

1. Bahwasanya kitab tersebut milik Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah -rahimahullah- dan ini tidak diragukan.

2. Bahwasanya kitab ini dikarang oleh beliau setelah berkoneksi (berjumpa) dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah-. Hal ini berdasarkan 2 kesimpulan

a. Penguatan bukti nisbat kitab ini kepada beliau -rahimahullah- , dan itu tampak pada berbagai sisi:

a.1) Bahwasanya sekelompok dari ahli biografi (seperti Ibnu Hajar, Al-Baghdadi, Ibnu ‘Imad, Asy-Syaukani, As-Suyuthi dan Nu’man Al-‘Alusi) menyebutkan kitab ini diantara karangannya.

a.2) Bahwasanya Ibnu Qoyyim -rahimahullah- juga menunjukkan sendiri di kitabnya At-Tibyanpada bab ke-6 dalam memaparkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallahu ‘anhu bersabda:”saat ruh mu’min…) kemudia beliau berkata:”Dan pembahasan tentang hadis ini telah aku paparkan panjang lebar dikitab Ar-Ruh).

a.3) kitab ini telah direkomendasikan oleh Allamah Ibrahim bin ‘Umar Al-Biqo’I bahwasanya kitab itu karangan Ibnu Qoyyim dengan dalih ringkasan kitab itu yang diberi nama “Sirr Ar-Ruh” skitar separuh dari kitab Ar-Ruh.

a.4) Al-‘Allamah Nu’man Al-Alusi menukil dalam kitab Al-Ayat Al-Bayyinat hal 54 beliau berkata:”dan hal ini telah diterangkan oleh Allamah Ibnu Qoyyim dalam kitab Ar-Ruh).

a.5) bahwasanya dibeberapa tempat dalam kitab tersebut (Ar-Ruh) beliau menyebutkan gurunya Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- dan mengambil pendapatnya.

(Ar-Ruh fil Kalam ‘ala arwahil amwat wal ahya lil Imam Ibni Qoyyim Al-Jauziyyah dirosah wa tahqiq Dr. Bassam ‘Ali Salamah Al’Amush, Dar Ibnu Taimiyyah:Riyadh Juz 1 101-102)

Demikian bukti bahwasanya kitab Ar-Ruh adalah karangan Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah -rahimahullah-.

Pemelintiran Ustadz Bukhori atas nama Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah dan Tuduhan Dusta atas nama Wahhabi

....Dan madzhab sebagian Ahlul Bid’ah dari Ahlul kalam bahwasanya TIDAK SAMPAI SAMA SEKALI KEPADA MAYYIT ,TIDAK DO’A TIDAK PULA YANG LAINNYA .“.......

Setelah kami melakukan pengecekan terhadap rujukan Ustadz bukhori bahwasanya Imam Ibnu Qoyyim mengatakan bahwasanya orang yang menolak pahala bacaan Al-Qur’an sampai adalah ahlul bid’ah dari kalangan ahlul kalam ternyata tidak sesuai maksudnya (yaitu menghakimi Wahhabi). Kalau kita cermati, kata-kata ini secara tidak langsung beliau menghukumi bahwasanya Imam Syafi’I dan sebagian syafi’iyyah -termasuk Imam Al-‘Izz bin Abdissalam- serta Imam Malik adalah Ahlul Bid’ah. berikut kami nukilkan perkataan Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah –rahimahullah- di kitab Ar-Ruh dalam masalah mengirim/menghadiahkan pahala amalan (puasa, haji, shodaqoh, bacaan Al-Qur’an, doa, Istughfar) dari orang hidup kepada orang mati sekaligus menerangkan masalah ini dan pokok perbedaannya serta tuduhan ustadz bahwasanya wahhabi mengatakan pahala orang hidup tidak sampai kepada orang mati (secara muthlak) kecuali do’a anaknya.

هل تنتفع أرواح الموتى بشيء من سعي الاحياء ام لا؟

فالجواب أنها تنتفع من سعي الأحياء بأمرين : مجمع عليهما أهل السنة من الفقهاء و أهل الحديث و التفسير. (احدهما) ما تسبب إليه الميت في حياته. (و الثاني) دعاء المسلمين له و استغفارهم له و الصدقة و الحج على نزاع ما الذي يصل من ثوابه هل ثواب الإنفاق أو ثواب العمل؟ فعند الجمهور يصل ثواب العمل نفسه و عند بعض الحنفية إنما يصل ثواب الإنفاق. و اختلفوا في العبادة البدنية كالصوم و الصلاة و قراءة القرآن و الذكر فمذهب الإمام أحمد و جمهور السلف وصولها و هو قول بعض أصحاب أبي حنيفة نص على هذا الإمام أحمد في رواية محمد بن يحيى الكحال قال قيل لابي عبد الله الرجل يعمل الشيء من الخير من صلاة أو صدقة أو غير ذلك فيجعل نصفه لأبيه أو لأمه ؟ قال أرجو أو قال الميت يصل إليه كل شيء من صدقة او غيرها و قال أيضا آية الكرسي ثلاث مرات و قل هو الله أحد و قل اللهم إن فضله لأهل المقابر. و المشهور من مذهب الشافعي و مالك أن ذلك لا يصل.

و ذهب بعض أهل البدع من أهل الكلام أنه لا يصل إلى الميت شيء البتة لا دعاء و غيره.

“ Apakah Arwah orang mati mendapatkan manfa’at dari usaha orang yang hidup, atau tidak? (jawab) bahwasanya mereka (orang mati) mendapatkan manfaat dari usaha (amal) orang yang masih hidup karena dua perkara: yang disepakati oleh Ahlussunnah dari kalangan Ahli Fiqih, Ahlul Hadits dan Ahli TAfsir (pertama) apa yang menjadi sebab sampainya (amal) kepada mayyit di kehidupannya (kedua) do’amuslimin untuknya (mayyit), istighfar mereka, shadaqoh, haji, dengan perbedaanya apa yang sampai dari pahalanya? Apakah pahala infaq atau pahala amalan? Maka menurut jumhur yang sampai adalah pahala amalan itu sendiri dan menurut sebagian Hanafiyah yang sampai pahala Infaq Dan mereka (para halul Ilmi) berselisih dalam masalah Ibadah Badaniyah : seperti puasa, shalat, bacaan Al-Qur’an dan dzikir maka madzhab Imam Ahmad dan Jumhur salaf bahwasanya pahalanya sampai dan itu pendapat sebagian sahabat Imam Abu hanifah. Imam Ahmad memasukkan pendapat ini dalam riwayat Muhammad bin Yahya Al-Kahal beliau berkata: Abu Abdillah (Imam Ahmad) ditanya tentang seseorang beramal dengan sesuatu kebaikan dari shalat, shadaqoh dan lainnya kemudian aku menjadikan separuhnya (pahala) untuk ayah atau ibuku? Beliau menjawab aku berharap (sampai) atau beliau berkata segala sesuatu (pahala) sampai kepada mayyit dari shadaqoh atau lainnya dan beliau juga berkata Aku membaca ayat Al-Kursi tiga kali dan qul huwallahu ahad dan berkata (Allahumma inna fadhlahu li ahlil maqobir) ya Allah sesungguhnya keutamaanya untuk penghuni kubur (mayyit). Dan yang masyhur dari Imam Syafi’I dan Malik bahwasanya itu tidak sampai (bacaan Al-Qur’an) Dan madzhab sebagian Ahlul Bid’ah dari Ahlul kalam bahwasanya TIDAK SAMPAI SAMA SEKALI KEPADA MAYYIT ,TIDAK DO’A TIDAK PULA YANG LAINNYA .“

( Kitab Ar-Ruh Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah halaman 117 Daarul Baz:Mekkah, penerbit Daarul kutub Al-Arabiyyah:Beirut cetakan 1979 M/1399 H. HURUF TEBAL dan BERGARIS dari kami bukan dari cetakan penerbit UNTUK MEMPERJELAS)

Setelah kita membaca dengan seksama nukilan diatas maka jelaslah bahwa yang dikatakan oleh Imam Ibnu Qoyyim sebagai Ahlul Bid’ah adalah mereka yang menolak sama sekali sampainya pahala dari amalan kebaikan baik itu do’a maupun itu sitighfar apalagi puasa, shadaqoh, haji dan semisalnya dari ibadah badaniyyah. Sedangkan yang menjadi permasalahan kita adalah bacaan Al-Qur’an. Adapun pahala puasa, shadaqoh dan haji, kami akan beberapa dalilnya dari hadits. Berikut hadits muttafqun ‘alaihi dengan lafazhnya dari riwayat Imam Bukhori -taghammadahullah birahmatih- dalam shahih Al-Bukhori:

حدثنا سعيد بن أبي مريم حدثنا محمد بن جعفر قال أخبرني هشام عن أبيه عن عائشة رضي الله عنها أن رجلا قال للنبي صلى الله عليه و سلم إن أمي افتلتت نفسها و أظنها لو تكلمت تصدقت فهل لها أجر إن تصدقت عنها قال نعم (حديث رقم 1308

“Telah Mengabarkan kepada kami Sa’id bin Abi Maryam mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ja’far berkata mewartakan kepada kami Hisyam dari ayahnya dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesungguhnya ibuku mendadak meninggal dan aku berpikir kalau seandainya beliau sempat berkata beliau bersedekah apakah aku bersedekah untuknya beliau mendapatkan pahala, Nabi menjawab : Ya” (hadits riwayat Bukhori no. 1308)

حدثنا محمد بن خالد حدثنا محمد بن موسى بن اعين حدثنا أبي عن عمرو بن الحارث عن عبيد الله بن أبي جعفر أن محمدابن أبي جعفر حدثه عروة عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال من مات و عليه صيام صام عنه وليه (حديث رقم 1830)

“Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Khalid telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Musa bin A’yan mengabarkan kepada kami ‘Amru bin Al-Harits dari Ubaidillah bin Abi Ja’far bahwasanya Muhammad bin Abi Ja’far menceritakan kepadanya Urwah dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam barangsiapa yang meninggal dan mempunyai beban (hutang) puasa maka maka hendaklah walinya berpuasa untuknya” (hadits no. 1830

حدثنا محمد بن عبد الرحيم حدثنا معاوية بن عمرو حدثنا زائدة عن الأعمش عن مسلم البَطِين عن سعيد بن جُبَير عن ابن عباس رضي الله عنهما قال جآء رجل إلى النبي صلى الله عليه و سلم فقال يا رسول الله إن أمي ماتت و عليها صوم شهر افأقضيه عنها قال نعم قال فدين الله أحق ان يقضى ( حديث رقم 1831)

“Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Abdurrahim telah mengabarkan kepada kami Mu’awiyah binj ‘Amru telah mengabarkan kepada kami Zaidah dari Al-A’masy dari Muslim Al-Bathin dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata seorang lelaki dating kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata wahai Rasulallah sesungguhnya ibuku meninggal dan mempunyai hutang puasa sebulan apakah aku mengqadha’nya? Beliau menjawab: Ya hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan ” (hadits no. 1831)

Kemudian kami nukilkan hadits riwayat Imam Bukhori di Kitab Subulussalam syarah bulughul maram karya Imam Ash-Shan’ani.

و عنه رضي الله عنه أنَّ امرأة من جهينة جآئت إلى النبي صلى الله عليه و سلم فقالت : إن أمي نذرت أن تحج فلم تحج حتى ماتت, أفحج عنها؟ قال نعم حجي عنها, أرأيت لو كان على أمك دين أكنت قاضيته؟ أقضو الله , فالله أحق بالوفاء. رواه البخاري

“Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya perempuan dari Juhainah dating kepada Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata: sesungguhnya ibuku bernadzar untuk berhaji dan belum berhaji samapai beliau meninggal, apakah saya berhaji untuknya (menggantikannya)? Beliau berkata: Ya, berhajilah untuknya, bagaimana menurutmu kalau ibumu punya hutang, apakah kamu membayarkanya? Maka hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar.

(Subulussalam Imam Ash-Shan’ani tahqiq dan ta’liq Dr. Muhammad Muhammad Isma’il Al-‘Awadhi Juz 2 halaman 680 penerbit Daarul bayan al-‘arabi:Kairo)

Kemudian komentar Syaikhul Islam ketika ditanya tentang ayat و أن ليس للإنسان إلا ما سعى dan hadits إذا مات ابن آدم انقطع عمله.... apakah menurut ayat itu orang mati tidak sampai amalan kebaikan kepadany? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:

“Para Imam sepakat bahwasanya shadaqoh sampai kepada mayyit, demikian pula dengan Ibadah maliyah, seperti: memerdekakan budak. Tapi mereka berselisih dalam masalah Ibadah badaniyyah: seperti shalat, puasa, bacaan (Al-Qur’an), dan dengan itu dalam Shahihain (shahih Bukhori dan Shahih Muslim)…..” (Majmu Fatawa Jilid 24 hal 309)

Setelah beliau memaparkan dalil-dalil dari hadits Shahih, beliau melanjutkan komentarnya: “Dan didalam hadits-hadits Shahih tersebut: bahwasanya beliau (Nabi) memerintahkan untuk haji fardhu untuk mayyit dan haji nadzar. Sebagaimana beliau memerintahkan untuk berpuasa. Karena sesungguhnya perintah itu terkadang dilakukan oleh anak dan terkadang dilakukan oleh saudara. Dan Nabi Shallalahu ‘alaihi wa sallammenyerupakannya dengan hutang, hyang menjadi beban mayyit. Sedangkan hutang dibenarkan membayarnya dari siapa saja, maka hal itu menunjukkan bolehnya dilkukan oleh siapa saja, tidak khusus buat anak, sebagaimana hadits yang sharih (jelas) bagi saudara yang membayarnya.

Maka demikian telah ditetapkan oleh Kitabullah, Sunnah dan Ijma’ diketahui secara Mufashshal lagi Mubayyan (yakni bukan secara ijmal). Dan juga diketahui bahwa yang demikian tidak menafikan firman Allah: (و أن ليس للإنسان إلا ما سعى) (إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث) bahkan yang benar, yang itu juga benar. Adapun hadits: (إن قطع عمله إلا من ثلاث : صدقة جارية أو علم ينتفع به, أو صالح يدعو له) disini beliau menyebutkan anak, dan doanya untuk (orang tua) adalah kekhususan, karena anak adalah usahanya juga, sebagaimana firman Allah: (ما أغني عنه ماله و ما كسب) mereka berkata: itu (kasab) adalah anaknya. Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :sesungguhnya apa yang dimakan oleh seseorang adalah dari hasil usahanya sendiri, dan sesungguhnya anaknya adalah anaknya adalah usahanya(maksudnya apa yang diusahakan anaknya adalah usahanya juga). Ketika dia berusaha dalam wujud anak itu maka amalan anak itu termasuk dari usahanya, berbeda dengan saudara, paman, ayah dan semisalnya.

maka sesungguhnya orang mendapatkan manfa’at juga dari do’a mereka, bahkan do’a dari selain keluarga, akan tetapi itu bukan termasuk dari amalan (bukan hitungan amalannya). Makanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: (إنقطع عمله إلا من ثلاث) beliau tidak mengatakan: sesungguhnya dia (orang mati) tidak mendapatkan dengan amalan selain dari dia. Jika anaknya mendo’akannya, maka hal itu ini adalah amalanya yang tidak terputus, dan jika ada orang yang mendoakannya maka itu bukan termasuk amalannya, namun ia mendapatkan manfa’at dari amal itu”. (Majmu Fatawa Jilid 24 halaman 311-312 Daar ‘alamil kutub:Riyadh, cetakan 1991 M/1413 H)

Maka jelaslah kalau kita perhatikan, yang jadi permasalahannya adalah pahala bacaan Al-Qur’an yang diperuntukkan untuk mayyit. Bukan yang disebutkan oleh Ustadz yang memelintirkan perkataan Ibnu Qoyyim Ibnu Qoyyim dan juga berdusta atas nama Wahhabi (baca:Ahlussunnah). Itulah Imam (Ibnu Taimiyyah), salah satu yang dijadikan rujukan oleh Wahhabi menjelaskan Ijma’ bahwa pahala do’a dan istighfar serta shalat jenazah memberikan manfa’at kepada mayyit dan sampai kepada mayyit, bahkan orang yang mengingkari dan menolak hal ini (juhud) adalah kafir karena menolak sunnah mutawatir. (Majmu Fatawa jilid 24 halaman 207)

Untuk lebih lanjut lihat fatwa Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Abdurrahman bin Baz -rahimahullah- dikumpulan fatwa dan makalh beliau yang berjudul majmu’ fatawa wa maqolat mutanawwi’ah yang dikumpulkan oleh Dr. Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’ar Juz 4 halaman 348-349, penerbit Daar Ulin Nuha:Riyadh, cetakan tahun 1993 M/1413 H.

.....kami tidak menyembah Imam Ahmad dan Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah serta siapa pun....

Imam Ahmad dan Jumhur mengatakan bahwa pahala bacaan Al-Qur’an sampai kepada mayyit. Ini bukan jadi ukuran benar. Yang jadi ukuran adalah dalil. Maka kami katakan dimanakah dalil yang sharih yang mengatakan bacaan Al-Qur’an sampai kepada mayyit?? Imam Ahmad dan juga jumhur memakai qiyas dalam hal ini. Mereka mengqiyaskan hadits-hadits puasa yang sampai kepada mayyit dengan kirim pahala bacaan Al-Qura’an. Imam Nawawi juga demikian yang dinukil oleh Imam Suyuthi dalam kitabnya SyarhuSh Shudur.

Kami disini menolak Qiyas, sama dengan Imam Syafi’I dan Imam Malik. Karena hal ini menyangkut Ibadah. Sedangkan hukum asal Ibadah adalah Tauqif (tidak beramal) hingga datang dalil menjelaskan masyru’iyyah amalan tersebut. Kami mengikuti apa yang dipegang Imam Ahmad berupa kebenaran bukan sosok Imam Ahmad dalam urusan Din (Ibadah). Karena kita dituntut untuk kembali kepada AlQur’an dan As-Sunnah ketika berselisih, bukan kepada pendapat fulan dan fulan. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab -rahimahullah- menukil perkataan Imam Ahmad di kitab At-Tauhid Alladzi huwa haqqullahi ‘alal abid bab man atho’al ulama wal umaro’ fi tahrim ma ahallallah aw tahlil ma harrmallah faqod ittakhodzahum arbaban mindunillah :

“Imam Ahmad bin Hanbal berkata: aku heran dengan kaum yang mengetahui isnad dan kesahihannya kemudian mereka bermadzhab dengan pendapat Sufyan, sedangkan Allah Ta’ala berfirman: maka hendaklah takut orang-orang yang menyelisihi perintah kami, mereka akan ditimpa fitnah atau adzab yang pedih (An-Nur:63) apakah kamu tau apa itu fitnah yang dimaksud? Fitnah yang dimaksud adalah syirik”

Maka kami katakan pula kepada Ustadz Bukhori Maulana, kami tidak menyembah Imam Ahmad dan Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah serta siapa pun karena kami mengembalikan urusan ini kepada dua pusaka peninggalan baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ini bukan menunjukkan bahwa kami tidak menghormati Imam Ahmad, bahkan ini adalah penghormatan kita kepada Imam Ahmad karena beliau tidak mau kalau kesalahan beliau yang menyelisihi sunnah diikuti oleh ummat ini yang nantinya akan menjadi tuntutan atas beliau dihari kiamat. Kalaupun beliau salah, beliau ma’dzur atau bahkan mendapatkan pahala satu karena usahanya dalam ijtihad. Namun itu sebatas hak beliau dan kekhususan seorang mujtahid. Adapun kita semua dituntut untuk mengikuti Al-Haq. Sedangkan Al-Haq menurut kami disini berpihak kepada Imam Syafi’i. maka wajiblah bagi kita untuk rujuk kepada Al-Haq. Wallahu Ta’ala a’lam bishshowab

Wahhabi Menjawab Sepotong Kalimat Tuduhan Ustadz Bukhori (1)

Inilah Syaikhul Islam yang Ustadz Remehkan

بسم الله الرحمن الرحيم
Oleh Syaikh Abdullah Alu Baher -Ghfarallahu lahu-

Alhmadulillah, Segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala Yang telah mencurahkan kasih sayangnya kepada orang-orang yang teguh di atas jalan Rasul-Nya sehingga mereka teguh di atas jalan yang mengantarkan mereka bahagia dunia dan akhirat. Shalawat dan salam senantiasa mengiringi ingatan kita agara lidah kita basah dengannya teruntuk baginda tercinta Rasulullah Muhammad bin Abdillah, keluarganya, sahabat dan orang-orang yang konsisten dengan risalahnya.

Semakin tinggi pohon tersebut menjulang, semakin kuat pula badai yang menerpa. Begitulah kira-kira pepatah yang menggambarkan seorang yang kuat imannya, teguh pendirian tauhid dan jihadnya. Gelombang badai tuduhan dan cercaan akan terus menghantamnya. Namun mereka yang telah diterangi oleh bashirah, tak akan goyah karena hidayah dari Allah ‘Azza wa Jalla telah menguhjam di hati. Akhir-akhir ini banyak serangan terhadap dakwah Tauhid yang kembali kepada kemurnian Aqidah dan Sunnah.

Hal ini memang terasa klasik bagi orang yang paham dakwah ini dan juga jalan yang pendahulu mereka lalui (salafushshalih). Akan tetapi ini akan menjadi fitnah bagi mereka yang baru mengenal dakwah dan belum mengerti akar permasalahan tersebut. Akantetapi fithrah mereka yang bersihlah yang menolaknya.

Pada hari Ahad siang, tepatnya 20 November 2011, diadakan acara untuk menentang dakwa Tauhid dan Sunnah (maaf tepatnya memecah belah ummat Islam) dengan tema “ulama sejagad menentang salafi wahhabi”. Salah satu pembicaranya adalah Ustadz Bukhori Maulana. Dalam penyampaian beliau ada nada yang tidak mengenakan dan statmen yang terkesan (maaf) mengada-ada dikarenakan (mungkin, Allah Ta’ala a’lam) oleh kebencian yang ditutup-tutupi. Saking bencinya dengan apa yang ia sebut sebagai “wahhabi-salafi” keluarlah kata-kata yang tidak enak didengar.

Ada hal yang perlu diluruskan bahwa apa yang mereka nilai dari salafi tidaklah semata-mata benar dari salaf  (sekedar pengakuan) dan dinisbatkan kepada wahhabi (baca; Ahlussunnah).

Saudaraku… diantara perkataan yang terlontar dari lisan beliau adalah kalimat yang bernada peremehan kepada ulama besar yang diakui oleh ulama yang menyelisihinya dan yang sejalan dengan beliau. Beliau adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -Qaddasallahu ruhah-. Inilah perkataan ustadz terhadap beliau
“kalau kita berbicara salafi wahhabi, kita mesti berbicara makhluk ini (Syaikhul islam Ibnu Taimiyah)”.
Kalau seandainya ulama-ulama kibar mutaakhkhirin sezaman dengan beliau mendengar kata-kata ini, niscaya mereka akan geleng-geleng kepala keheranan karena melihat kepedean Ustadz tersebut seakan-akan ia memiliki perbendaharaan ilmu dan riwayat sanad serta penguasaan dirayah yang mumpuni (maaf, kami tidak mencoba untuk mengabarkan hal yang ghaib. Ini cuma prediksi berdasarkan rekomendasi ulama-ulama yang mengakui kelimuan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah).

Memang ada beberap ulama yang menentang beliau yang sezaman dengan beliau, terutama ulama sulthan, dan zaman setelah beliau wafat –sekitar abad 8 H-. Diantara yang sangat mengingkari beliau adalah Imam As-Subki dan Ibnu Hajar Al-Haitami. Adapun Imam As-Subki yang santer gugatan beliau terhadap syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah adalah masalah Syaddurrihal (mengadakan perjalanan untuk ibadah ziarah). Dan hal itu telah dibantah oleh murid beliau yaitu Imam Ibnu Abdil Hadi -rahimahullah- dengan kitab yang berjudul Ash-Shorimul Munakki fir Raddi ‘alas Subki. Ada lagi yang lebih ekstrem yaitu Muhammad Al-Bukhori (bukan Imam bukhori). Sampai orang yang memanggil Ibnu Taimiyyah dengan gelar Syaikhul Islam adalah Kafir. Namun hal tersebut dibantah oleh Al-Hafizh Muhammad bin Abi Bakar bin Nashiruddin dengan kitab yang berjudul “Ar-Raddul Wafir ‘Ala man za’ama man samma ibna taimiyyah Syaikhal Islam kafir”.

Siapakah Ibnu Taimiyyah?
Nama dan nasab beliau adalah Taqiyyuddin Abul ‘Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Abdissalam bin Taimiyyah Al-Harrani Ad-Dimasyqi lahir dikota Harran. Baliau lahir pada hari Senin 10 Rabi’ul Awwal 661 H. Beliau hidup ditengah-tengah keluarga yang cinta ilmu. Ayah dan kakek beliau adalah ulama besar Hanabilah. Beliau mendengarkan (sima’) hadits dari Imam Ibnu Abdid Daim, Ibnu Abil Yusri, Ibnu Abdan, Syaikh Syamsyuddin Al-Hanbaly, Syaikh Syamsuddin bin ‘Atha Al-Hanafy, Syaikh Jamaluddin Ash-Shirfi, Majduddin Ibnu ‘Asakir, Syaikh Jamaluddin Al-Baghdadi, An-Najib bin Al-Miqdad, Ibnu Abil Khair, Ibnu ‘Allan .

Murid-murid beliau adalah Syaikhul Islam Ibnul Qoyyim , Imam Adz-Dzahabi, Imam Ibnu Abdil Hadi, Al-Hafizh Ibnu Katsir -rahimahumullah-.

Inilah pembelaan para ulama terhadap Syaikhul Islam
Syaikh kamaluddin Az-Zamlakani menulis sebuah rekomendasi, beliau berkata:”Adalah para ahli fiqih dari berbagai golongan ketika duduk dalam majlis beliau (ibnu taimiyyah) mereka mengambil faedah dari beliau dalam madzhab mereka. Tidak diketahui dari beliau ketika berdialog kemudian memotong dialog (tanpa ada titik temu), dan beliau tidak berbicara dalam salah satu disiplin ilmu syar’I atau selainnya melainkan beliau melebihi ahlinya, serta telah terpenuhi pada diri beliau syarat-syarat ijtihad”.
Dan bait Sya’ir pujian Az-zamlakani yang monumental atas kelebihan Syaikhul Islam Ibnu taimiyyah
ماذا يقول الواصفون لــــه و صفاته جلت عن الحصر
هو حجة لله قاهـــــــــــرة هو بيننا أعجوبة الدهــــــر
هو آية في الخلق ظاهرة أنوارها اربت على الفجــر

Apa yang dikatakan oleh orang –orang pemberi shifat kepadanya
Sedangkan shifatnya melampaui batas
Dia adalah hujjah milik Allah yang mencengkram
Dia adalah keajaiban masa diantara kita
Dia merupakan tanda kebesaran Allah yang nyata
Sinarnya menutupi sinar fajar

Al-Hafizh Ibnu Sayydun Naas:”Beliau orang yang mencapai puncak keilmuan dan menguasai atsar dan sunan. Jika beliau berbicara dalam masalah tafsir maka beliau membawa panjiinya, jika berfatwa dalam masalah fiqih maka beliau mengerti klimaksnya (mengetahui solusinya), dan jika berbicara dalam masalah hadits maka beliau memiliki riwayatnya,… beliau orang paling menonjol disetiap bidang ilmu daripada putra semisalnya, dan mataku belum pernah melihat orang semisal dengan beliau”.

Imam Ibnul wardi berkata:”Beliau memiliki pengetahuan yang sempurna dalam masalah rijalul hadits, jarh wat ta’dil dan tingkatannya (thabaqaturrijal)…. Semua hadits yang tidak diketahui Ibnu taimiyyah maka bukan hadits)”.

Imam Ibnul Wasithi berkata setelah mengeluarkan sederet pujian:”Demi Allah, kemudian demi Allah aku tidak pernah melihat dibawah langit ini orang seperti Syaikh kalian Ibnu Taimiyyah ilmunya, amala, kondisi, akhlaq, ittiba’, dermawan, menunaikan hak Allah Ta’ala, orang yang paling benar aqidahnya, sehat ilmu dan azamnya…. Hati yang sehat akan bersaksi bahwa beliau adalah pengikut sejati Nabi”.
....Semua hadits yang tidak diketahui Ibnu taimiyyah maka bukan hadits.....
Syaikh taqiyyuddin Ibnu Daqiq Al-‘id berkata:”Ketika aku berdiskusi bersama beliau, aku melihat seseorang yang seluruh ilmu berada dipelupuk matanya. Ia mengambil apa yang ia mau darinya dan membiarkan (tidak mengambil) apa yang ia mau”.
Syaikh Abu Hayyan (ahli tafsir) berkata:”Kedua mataku belum pernah melihat seperti orang ini”. Padahal Abu Hayyan dan Ibnu Taimiyyah pernah berdebat hebat saat Ibnu Taimiyyah mengemukakan ada 80 keselahan yang terdapat pada pendapat Sibaweh (ulama Nahwu).
Dan masih banyak lagi rekomendasi dan pujian ulama serta pengakuan mereka terhadap Syaikhul Islam Ibnu taimiyyah -Qaddasallahu ruhah-.
(silahkan rujuk kitab Jala'ul 'ainain fi muhakamatil ahmadain halaman 19 -25 karya Imam As-Sayyid Nu'man bin Mahmud Al-Alusi 1252 H Mathba'atul Madani cetakan tahun 1401 H)

Suasana wafatnya syakhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah-

Pada saat itu tanda-tanda kebesaran Allah tampak. Seorang hamba Allah yang ‘alim, shalih, bertaqwa dan termasuk dalam garda depan melawan bid’ah telah berpulang ke rahmatullah. Alam pun menyaksikan. Saat-saat itu Allah benar-benar memuliakan hamba yang satu ini. Beliau tidak lain adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –Qaddasallahu ruhah-. Kisah wafatnya beliau kami ambilkan dari kitab Al-bidayah wan Nihayah karya Al-Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah-.

Berikut adalah nukilan dari kitab tersebut yang dikutip oleh Ibnu Katsir dari riwayat Syaikh Alamuddin Al-Barzali: Halaman 135 – 136 (cetakan 1978 M Darul Fikri : Beirut)
"Pada Senin malam 20 Dzul Qo’idah (728 H) telah wafat Syaikh, Imam, ‘Alim, ‘Allamah, Al-Faqih, Al-Hafizh yang zuhud, taat beribadah, sang Mujahid Syaikhul Islam Taqiyuddin Abul ‘Abbas Ahmad bin Syaikh Imam kami Allamah Mufti Syihabuddin Abul Mahasin Abdul Halim bin Syaikhul Islam Abul Barokat Abdus Salam bin Abdullah bin Abul Qasim Muhammad bin Al-Khidhr bin Muhammad bin Al-Khidhr bin ‘Ali bin Abdullah bin Taimiyyah Al-Harrani kemudian Ad-Dimasyqi, di Qol’ah Damaskus di ruangan yang mana beliau ditahan didalamnya (penjara). Dan datanglah orang banyak ke Qol’ah, kemudian mereka diizinkan masuk.

Sementara sejumlah orang duduk disisi beliau sebelum dimandikan dan mereka membaca Al-Qur’an serta kemudian bertabarruk dengan melihat dan mencium beliau. Kemudian mereka beranjak, kemudian datanglah rombongan perempuan kemudian mereka melakukan seperti hal itu. Kemudian mereka beranjak. Setelah dimandikan beliau dikeluarkan kemudian orang-orang berkumpul di Qol’ah. Sedangkan jalan menuju masjid dan didalam masjid telah dipenuhi jama’ah. Begitu pula dengan bab Al-Barid, bab As-Sa’at menuju bab al-Labadin dan Al-Ghiwarah.

Jenazah datang pada jam 4 siang kemudian diletakkan didalam Masjid, sedangkan para aparat telah mengawasinya dari orang-orang karena sesak. Beliau pertama kali disholatkan di Qol’ah dan yang menjadi Imam adalah Syaikh Muhammad Tamam, kemudian beliau disholatkan di Masjid Al-Umawi setelah sholat Zhuhur. Semakin lama semakin berlipat jumlah yang datang…. Kemudian beliau dikuburkan di pekuburan Ash-Shufiyyah disamping saudaranya Syarafuddin Abdullah rahimahumallah… jumlah lelaki yang dating mencapai 200 orang, mereka minum dari sisa air yang dipakai memandikan Syaikhul Islam… dan kopiah beliau dijual seharga 500 dirham…"

Keterangan tersebut kami potong karena terlalu banyak, dan tidak ada yang aneh-aneh bahkan keajaiban kalau kami paparkan secara lengkap. Pembaca bisa merujuk ke halaman yang tertera. Bahkan diriwayat lain dikatakan bahwa diseluruh pelosok timur dan barat  melaksanakan shalat untuk beliau (shalat ghaib) dan di adzani “Ashshalatu ‘ala turjamanil Qur’an” Shalat untuk penterjemah A-Qur’an.

Jadi saudaraku, kita bisa melihat keagungan ilmu dan kepribadian beliau hingga para ulama, baik yang pro maupun kontro, berkumpul untuk mendoakan beliau dan memberikan rekomendasi serta pujian yang jarang bisa didapatkan sekalipun dari kawan sendiri. Mudah-mudahan ini menjadi koreksi bagi kita agar berhati-hati dengan lisan yang khilaf yang akhirnya mencederai hak-hak para ulama.
Wallahul musta’an

Pelecehan Asma Allah ''Al-Wahhab'' dalam Tudingan ''Wahabi''

Pelecehan Asma Allah ''Al-Wahhab'' dalam Tudingan ''Wahabi''

Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Rabb pencipta alam semesta yang mengetahui segalanya, yang tersembunyi maupun terang-terangan. Dia yang akan menghisab semua perbuatan hamba-hamba-Nya, yang besar maupun yang kecilnya.
عَالِمِ الْغَيْبِ لَا يَعْزُبُ عَنْهُ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ وَلَا أَصْغَرُ مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْبَرُ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
"Demi Tuhanku Yang mengetahui yang gaib, sesungguhnya kiamat itu pasti akan datang kepadamu. Tidak ada tersembunyi daripada-Nya seberat zarrah pun yang ada di langit dan yang ada di bumi dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam Kitab yang nyata (lauhul Mahfudz)." (QS. Saba': 3)
Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya yang telah mengagungkan Allah dengan sebenarnya, beriman kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya dengan jujur dan benar. Semoga shalawat dan salam juga dilimpahkan kepada siapa saja yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Istilah Salafi-Wahabi terus digulirkan dan dikampanyekan oleh Said Agil Siraj untuk mendiskreditkan kelompok yang tidak sejalan dengan pemikirannya. "Wahabi" distigmakan sebagai kelompok sesat dan menyimpang yang harus diwaspadai. Bahkan, Said menuduh, gerakan Wahabi sebagai penebar benih radikal dan teror yang mengajarkan doktrin pengeboman. Lebih dari itu, dengan jelas Sa'id menyebutkan beberapa lembaga-lembaga dan tokohnya yang disebutnya sebagai Salafi-Wahhabi.
Walaupun sudah mendapatkan berbagai kritik penggunaan istilah "Wahabi" yang salah kaprah, nampaknya tak dipedulikan. Tak bergeming dan terus menyemburkan bisa beracun yang akan membinasakan persatuan umat Islam secara pelan-pelan. Meminjam ungkapan Al-Qur'an terhadap Bal'am bin Abar, seorang laki-laki dari Bani Israil yang diberi pengetahuan agama tinggi namun sengaja menyimpang darinya karena dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, "Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga)." (QS. Al-A'raf: 176)
Sesungguhnya penetapan istilah "Wahabi" yang dinisbatkan kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At-Tamimi An-Najdi, saja sudah tidak tepat menurut kaidah bahasa Arab. Apalagi isi dakwahnya, jauh tuduhan dari hakikatnya. karena ulama ini menyeru kepada pemahaman Islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan al-Sunnah sesuai pemahaman para ulama salaf. Beliau menyeru untuk memurnikan tauhid dari noda syirik, kufur, nifak dan khurafat. Dalam ibadah beliau bermazhab Hambali, mengikuti pendapat Imam Ahmad bin Hambal, murid istimewa Imam al-Syafi'i rahimahullah, yang berusaha mendasarkan ibadah kepada Sunnah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam.
Dalam menjalankan dakwahnya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang hidup di abad 18 Masehi, tak pernah menyebut kiprah dakwahnya dengan penamaan dakwah "Wahabi" atau tak pernah mendirikan organisasi dakwah bernama Wahabi. Para ulama yang menjadi murid-muridnya secara langsung atau tidak yang mereka telah mensyarah kitab-kitab beliau dan mengambil perkataan-perkataannya juga tak ada yang menamakan diri dengan Wahabi. Kenapa? Karena istilah "Wahabi" adalah cacat secara bahasa. Sementara Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para murid-muridnya orang Arab asli yang berbicara dengan bahasa Arab, tentunya tak wajar kalau sampai salah kaprah dalam menetapkan peristilahan.
Penisbatan "Wahabi" kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Semestinya bentuk penisbatannya adalah ‘Muhammadiyyah’, karena sang pengemban dan pelaku dakwah tersebut bernama Muhammad, bukan ayahnya yang bernama Abdul Wahhab (hamba Allah yang Maha Pemberi). Lebih para lagi, kata wahabi diambil dari Nama Allah "Al-Wahhab" (Maha Pemberi). Sehingga akan berakibat, orang yang termakan dengan propaganda anti "Wahabi" akan membenci nama Allah al-Wahhab.
Al-Wahhab disebutkan sebanyak tiga kali oleh Al-Qur'an. Pertama, menerangkan tentang al-Rasikhuna fi al-'Ilmi (Orang-orang yang dalam ilmu agamanya) yang mereka berdoa,  
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)." (QS. Ali Imran: 9)
Kedua, bantahan dari Allah terhadap kesombongan kaum musyrikin untuk mentauhidkan Allah dan memusuhi utusan-Nya.
أَمْ عِنْدَهُمْ خَزَائِنُ رَحْمَةِ رَبِّكَ الْعَزِيزِ الْوَهَّابِ
"Atau apakah mereka itu mempunyai perbendaharaan rahmat Tuhanmu Yang Maha Perkasa lagi Maha Pemberi?" (QS. Shaad: 9)
Ketiga, doa Nabi Sulaiman kepada Allah agar memberikan kekuasaan kepada beliau yang tidak diberikan kepada manusia sesudahnya,
قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
"Ia (Sualiman) berkata: "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang jua pun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi"." (QS. Shaad: 35)
Al-Wahhab bermakna: Yang Maha luas pemberiannya, banyak berbuat baik yang meliputi semua makhluk-Nya, yang taat maupun yang jahat. Pemberian-Nya meliputi seluruh alam dengan limpahan kebaikan, karunia dan kemurahan-Nya.
Allah dengan nama-Nya Al-Wahhab, senatiasa memberi tanpa mengharap ganti. Memberi apa yang dikehendaki kepada siapa yang dikehendaki oleh-Nya tanpa pamrih. Memberi orang yang membutuhkan tanpa diminta dan mengabulkan permintaan kepada siapa yang berdoa kepada-Nya dengan lisan maupun perbuatan. Dia memberikan kenikmatan di dunia sebagai cobaan dan melimpahkan kenikmatan di akhirat sebagai balasan bagi makhluk-Nya.
Kewajiban Terhadap Nama Allah
Pada dasarnya, setiap nama Allah harus diagungkan dan dimuliakan kaum muslimin. Mereka diwajibkan untuk mengetahuinya, beriman kepadanya, bersungguh-sungguh memahaminya, dan diperintahkan untuk beribadah dan berdoa kepada Allah dengan menyebut nama-nama-Nya, sebagaimana firman Allah Ta'ala:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
"Hanya milik Allah asmaulhusna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaaul Husna itu" (QS. Al-A'raf: 180)
Namun jika nama Allah diambil dan digunakan untuk me-lebel-i sesuatu yang harus disesatkan dan dimusuhi, maka ini termasuk menghinakannya. Sehingga kaum muslimin (khususnya yang awam) tidak suka dengan nama Al-Wahhab. Sementara membenci salah satu dari Nama Allah yang jelas petunjukkan dari Al-Qur'an dan al-Sunnah itu menyebabkan kekufuran.
Pada saat perjanjian Hudaibiyah antara Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan Musyrikin Quraiys, maka beliau memerintahkan kepada juru tulis untuk menuliskan Bismillahirrahmanirrahim. Namun kaum musyrikin melalui perwakilan mereka Suhail bin 'Amr menolaknya, ia berkata, "Adapun ar-Rahman al-Rahim kami tidak mengetahuinya." Karena itulah Allah menurunkan firman-Nya,
وَهُمْ يَكْفُرُونَ بِالرَّحْمَنِ
"Padahal mereka kafir kepada Tuhan Yang Maha Pemurah." (QS. Al-Ra'du: 30)
Kaum musyrikin Makkah bukannya tidak mempercayai Allah, karenanya mereka masih menerima dengan nama Allah. Tapi mereka kufur kepada nama Allah al-Rahman, yang karenanya Allah mengafirkan mereka dengan pengingkaran tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa menolak atau ingkar kepada salah satu atau dua nama Allah yang jelas petunjuknya dari Al-Qur'an dan Sunnah itu menyebabkan kekufuran.
Oleh sebab itu,  kami berkeyakinan bahwa istilah ini sengaja dimunculkan bukan dari orang beriman yang baik, menguasai bahasa Arab yang dalam, dan memiliki kecintaan kepada Islam yang sesungguhnya. Wallahu Ta'ala A'lam.

Na’am Ana Wahhabi!

Ya, Saya Seorang Wahhabi (Menjawab Kedengkian kafirin, Syiah Rafidhah & Ahli Bidah)

Oleh: Syaikh Abu Bashir Ath-Thurthusi
Sejatinya saya tidak menyukai berbagai terminologi kontemporer yang dapat memecah-belah kaum muslimin dan tidak mempunyai citra persatuan di antara mereka. Akan tetapi, saya terpaksa mendeklarasikan secara tegas dan gamblang –tanpa fanatisme dan sikap sentimen golongan– bahwa saya adalah seorang Wahhabi! Saya adalah seorang yang menaruh hormat dan simpati kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, dan kepada dakwahnya.
Apabila Wahhabiyah berarti dakwah menyeru orang kepada tauhid dan akidah yang benar, menghapuskan kesyirikan dan berlepas diri dari orang-orang musyrik, sebagaimana dakwah yang diserukan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, maka saya adalah seorang Wahhabi!
Apabila Wahhabiyah berarti dakwah menyeru manusia kepada Al-Qur‘an dan As-Sunnah, berpegang teguh kepada teladan, petunjuk, dan pemahaman salaf ash-shalih, serta memberangus fanatisme mazhab, sebagaimana dakwah yang diserukan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, maka saya adalah seorang Wahhabi!
Jika Wahhabiyah berarti berpegang teguh kepada As-Sunnah yang kokoh dan shahih, serta memberangus bid’ah, takhayul, dan khurafat (mitos), sebagaimana dakwah yang dilakukan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, maka saya adalah seorang Wahhabi!
...Jika Wahhabiyah berarti berpegang teguh kepada As-Sunnah, memberangus bid’ah, takhayul, dan khurafat sebagaimana dakwah yang dilakukan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, maka saya adalah seorang Wahhabi!...
Apabila Wahhabiyah berarti berjihad memerangi segenap thaghut (setiap orang dan segala sesuatu yang disembah dan ditaati selain Allah) yang zalim, memerangi kesyirikan dan orang-orang musyrik, sebagaimana dakwah yang dilakoni oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, maka saya adalah seorang Wahhabi!
Apabila Wahhabiyah berarti sikap dan paradigma al-wasathiyyah (pertengahan); tidak cenderung kepada sikap berlebihan seperti Khawarij dan tidak longgar atau menggampangkan seperti Murjiah, sebagaimana dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, maka saya adalah seorang Wahhabi!
Dan masih ada banyak lagi perilaku yang dianggap musuh-musuh dakwah tauhid Sebagai bagian dari Wahhabiyah, yang secara menyeluruh berupaya memurnikan kalimat tauhid la ilaha illallah beserta segala aspek yang terkait dengannya berikut konsekuensinya, maka saksikanlah bahwa saya adalah seorang Wahhabi!
Apabila kita mengamati dan mencermati sikap orang-orang dengki yang memusuhi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya, maka kita mendapatkan bahwa mereka bisa jadi adalah orang kafir, atau kelompok Syi’ah Rafidhah, atau kaum Sufi ekstrim, atau kalangan pelaku bid’ah yang sesat, atau kelompok orang-orang bodoh yang sangat membenci tanpa mau mengetahui sedikit pun dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
...Orang-orang dengki yang memusuhi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya, bisa jadi adalah orang kafir, Syi’ah Rafidhah, Sufi ekstrim, atau pelaku bid’ah yang sesat...
Itulah batalion kejahatan. Siapa saja merelakan dirinya untuk bergabung ke dalamnya, mendedikasikan diri untuk menjadi prajuritnya, dan memperkuat barisannya, niscaya dia akan menemui kekecewaan dan kerugian.
Mengapa mereka begitu murka  kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab? Pada masa sekarang, betapa banyaknya orang yang membenci dakwah tauhid. Sudah sejak lama kita mendengar berbagai kelompok yang melontarkan cacian, makian, dan fitnah dusta kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya. Sampai-sampai istilah ‘Wahhabi’ dan ‘Wahhabiyah’ menjadi stigma buruk dan negatif di kalangan manusia. Sayangnya, mereka sedikit pun tidak bisa mendatangkan dalil tak terbantahkan dan argumentasi kuat yang dapat melegitimasi kebencian, kezaliman, dan kedengkian mereka.
Khazanah intelektual dan karya-karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berserakan di mana-mana. Orang yang menginginkannya bisa dengan mudah mendapatkannya. Semua karya-karyanya berbicara dengan kebenaran, mengajak kebenaran, dan memerintahkan kebenaran. Jika ada pernyataan di dalamnya yang kalian bantah dan tolak, maka datangkanlah satu antitesa yang mu’tabar (kredibel dan tak terbantahkan). Jika kalian merasa benar, bantahlah dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dengan hujjah-hujjah meyakinkan yang bisa menjustifikasi permusuhan dan kebencian kalian!
Namun jika kalian tidak bisa mendatangkan –sekali-kali tidak akan bisa– argumentasi dan bukti itu, maka akuilah bahwa yang kalian benci dan musuhi dari dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah sebuah kebenaran. Ya, kebenaran itulah yang tidak disukai oleh kalian dan para thaghut.
Apabila kalian mengatakan, “Tengoklah kezaliman dan kekeliruan sebagian kalangan yang berafiliasi kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya pada masa sekarang!” Maka saya menjawab, “Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya tidak bisa diserang dan dihujat hanya karena ada segelintir orang yang mengaku berafiliasi kepadanya, lalu mereka membuat kesalahan dan kekeliruan. Kesalahan yang dilakukan seorang pengikut atau murid tidak lantas membuat pemimpin atau gurunya layak mendapatkan cercaan dan hujatan. Seseorang tidak bisa dimintai tanggung jawab atau dihukum berdasarkan dosa orang lain. Seandainya hal ini bisa diterima, niscaya tidak akan ada orang di muka bumi yang selamat dari kesalahan dan hukuman.” Wallahu A’lam.
[Diterjemahkan oleh Ganna Pryadharizal dari artikel berjudul Na’am Ana Wahhabi!]

Pesan Berharga dari Perang Hunain

Pesan Berharga dari Perang Hunain di Bulan Syawal

Oleh :Manih Ka Pucuak
Segala puji bagi Allah ‘Azza wajalla, yang telah menyinari kita dengan cahaya hidayah. Hingga kita menjadi hamba Allah yang bertauhid, tunduk kepada-Nya semata. Shalwat dan salam senantiasa mengawal ingatan kita agar lidah kita basah dengannya. Teruntuk bagi junjungan mulia, Muhammad bin Abdillah, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang tertatih memperjuangkan Dinullah sampai hari kiamat.
Perang Hunain adalah perang yang terakhir yang dikomandoi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Terjadi di bulan syawal pada tahun 8 Hijriyyah, dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melakukan penaklukan terhadap kota Mekkah.  Ada beberapa pesan yang berharga buat kaum mulimin pada peristiwa ini. Agar mereka benar-benar mengerti tentang kedudukan Iman dan Jihad.
Ketika Mekkah jatuh di tangan kaum Muslimin, dan Qurasy berbondong-bondong masuk Islam. Ada ketakutan dari kabilah-kabilah besar yang berada dekat dengan Mekkah. Yang terdepan dari Klan-klan itu adalah Hawazin dan Tsaqif.  mereka berseru:” Setelah Mekkah, kita akan menjadi target Muhammad selanjutnya, kita akan menyerang Muhammad segera sebelum mereka memulai”.  Maka berkumpullah mereka untuk sebuah rencana penyerangan. Dari sekian banyak kabilah Hawazin, tsaqif dan bani Thaif terpilih lah Malik bin ‘Auf An-Nashry sebagai Komandan tertinggi yang memobilisasi pasukan.
Ada seoarang tokoh yang sudah tua diantara mereka, Duraid bin Ash-Shummah, memberikan ide dalam strategi. Namun Malik, tidak mau menerimanya karena ia mau jadi penggerak tunggal. Maka bergegaslah mereka menuju Hunain yang berjarak 10 mil dari Mekkah. Mereka memilih tempat strategis yang bernama Authas,dekat dengan Hunain. Malik mengutus mata-mata untuk mengetahui kondisi Rasulullah SAW, diantara mereka Abu Hadrad Al-Aslamy.
...mereka berseru:” Setelah Mekkah, kita akan menjadi target Muhammad selanjutnya, kita akan menyerang Muhammad segera sebelum mereka memulai”...
Pada hari Sabtu 6 Syawal, Rasulullah SAW berangkat bersama para sahabat menuju Hunain. Jumlah mereka pada saat itu dua belas ribu pasukan, 10000 diantaranya adalah orang-orang yang ikut Rasulullah dalam penaklukan kota Mekkah dan 2000 orang yang baru masuk Islam pada Fathu Mekkah. Rasulullah SAW menugaskan ‘Attab bin Usaid untuk menjaga Mekkah.
saat malam tiba, datanglah seoarang penunggang kuda yang mengabarkan tentang posisi dan kondisi kabilah Hawazin dibukit-bukit. Rosulullah SAW tersenyum seraya berkata:”itulah Ghanimah kita besok”. Dengan sukarela salah seorang sahabat berjaga-jaga semalaman untuk menjaga keamanan kaum muslimin, beliau adalah Anas bin Abi Martsad Al-Ghanawi –Radhiyallau ‘anhu-.
Ditengah –tengah perjalanan ke Hunain, mereka melalui pohon sidrah yang besar lagi hijau. Orang-orang menemakan Dzatu Anwath.  Orang-orang Arab biasanya menggantungkan senjata mereka untuk bertabarruk dipohon itu, menyembelih hewan disisinya agar mendapat keberuntungan. Maka sebagian dari pasukan Rasulullah (yang baru masuk Islam) berkata kepada beliau:”bikin juga buat kita Dzatu Anwath, sebagaimana mereka punya Dzatu Anwath. Rasulullah SAW  bersabda:
”Allahu Akbar, yang kalian katakan ini, demi jiwa Muhammad yang berada dalam genggaman-Nya, sebagaimana yang dikatakan bani Israil kepada Musa,”jadikan untuk kami Ilah, sebagaimana mereka punya ilah”, sesungguhnya itu adalah  tradisi, sungguh kalian akan mengikuti tradisi orang sebelum kalian, sesungguhnya kalian orang yang berbuat kejahilan”[1].
Dengan jumlah yang besar itu, kaum muslimin percaya diri, bangga dan yakin bahwa jumlah mereka tidak akan dikalahkan. Maka turunlah surah At-Taubah ayat 25:
”Dan sungguh Allah telah menolong kalian dibeberapa peperangan, dan pada saat perang Hunain. Ketika kalian bangga dengan jumlah kalian yang banyak, sedangkan itu tidak berarti bagi kalian, dan bumi menjadi sempit bagi kalian, kemudian kalian mundur kebelakang”.
...Rasulullah mengobarkan semangat mereka:”sekaranglah perang membara”...
Di pagi buta, Rasulullah SAW telah menyiapkan pasukan. Panji telah diserahkan dan brigade telah terpilih. Dengan semangat mereka maju menuju Hunain. Namun sebelum sampai pada tempat mereka sudah dhujani anak panah yang datang dari balik bukit. Ternyata musuh sudah menempatkan posisi duluan sebelum mereka. Ditambah lagi kaum muslimin mendapatkan serangan mendadak. Pukulan telak pada saat itu menimpa kaum muslimin. Namun Rasulullah tampil sebagai pendobrak semangat mereka. Beliau bergegas maju seraya berseru:
”Aku adalah Nabi yang tidak berdusta, aku adalah cucu abdul Muththalib”
Kemudian Rasulullah memanggil kaum Anshar dan kabilah yang lain. Setelah berkumpul Rasulullah mengobarkan semangat mereka:”sekaranglah perang membara”. Setelah itu Rasulullah mengambil segenggam debu dan menaburi ke wajah orang-orang kafir sambil berkata:”buruklah wajahmu”[2].
Singkat cerita, orang Kafir dipukul mundur oleh RAsulullah SAW dan para sahabatnya, hingga ke wilayah-wilayah sekitar. Hasil dari ghanimah adalah 6000 tawanan, 24000 onta, 40000 domba, 4000 perak, kemudian Rasulullah memerintahkan Mas’ud bin ‘Amru Al-ghifary sebagi penanggungjawab ghanimah.
Pesan Berharga dari Perang Hunain
Setelah menyimak kisah dari perang Hunain, ada beberapa pesan yang dapat kita ambil. Pertama, bahwa kemenangan kaum muslimin tidak bergantung pada kuantitas,tapi pada kualitas iman yaitu yaqin pada pertolongan Allah dan ketaatan pada amir. Allah Ta’ala berfirman:
Berapa banyak jumlah yang sedikit mampu mengalahkan jumlah yang banyak dengan izin Allah(Qs Al-Baqarah  249)
Saat pasukan Thalut tidak mengikuti instruksi pimpinan mereka, maka kondisi mereka berubah menjadi lemah. Allah jelaskan dalam Al-Qur’an:
“Mereka (pasukan Thalut) berkata :kami tidak punya kemampuan sekarang” (Qs Al-Baqarah  249)
Begitu pula dengan pasukan pemanah yang melanggar wasiat dari Rasulullah SAW. kedua, bahwasanya perkara Jihad tidak bisa diabaikan dan ditinggalkan. Karena maslahat jihad jauh lebih besar dari segalanya. Karena Jihad itu adalah yang mengayomi dan mengawal tegaknya Dinullah. Rasulullah SAW bersabda:
“Pangkal dari urusan ini adalah Islam,tiangnya  Shalat dan puncaknya adalah Jihad”(HR Al-Hakim)
Oleh sebab itu, ketika seruan jihad telah dikumandangkan, maka tidak ada jalan lain selain menyambut seruan itu. Telah kita cermati, bahwa orang yang baru masuk Islam saja langsung berangkat menuju medan Jihad. Bahkan diantara mereka masih ada yang jatuh dalam perkara syirik,namun tidak dikafirkan karena masih baru masuk Islam.
Kalau kita melihat wacana sebagian muslim sekarang, bahwasanya lebih penting menuntut ilmu karena dengan begitu kita akan paham agama dan membangun peradaban. Hal ini terbantahkan dengan kisah Hunain ini. Yang mana hampir seluruh kaum muslimin berangkat bersama Rasulullah untuk Jihad membela Islam. Karena kehidupan tidak akan stabil dan syari’at tidak akan tegak memimpin kecuali dengan Jihad. Allah Ta’ala berfirman :
“Dan perangilah mereka hingga tidak ada fitnah (kekufuran dan kezaliman), dan din ini (ketaatan dan ketundukan) seluruhnyahanya untuk Allah”(Qs Al-anfaal 39)
“Dan jikalau seandainya Allah tidak menolak bahaya sebagian manusia dengan sebagian yang lainnya, maka sungguh akan rusaklah bumi”(Qs Al-Baqarah 251)
“Barangsiapa yang berperang untuk meninggikan kaliamat Allah maka dia fisabilillah”(HR Muslim)
...Oleh sebab itu, ketika seruan jihad telah dikumandangkan, maka tidak ada jalan lain selain menyambut seruan itu...
Yang ketiga,  bahwasanya Allah memberikan keutamaan kepada Nabi dan ummatnya yaitu berupa rasa takut yang dicampakkan dihati orang kafir. Rasa takut ini adalah merupakan pertolongan Allah yang membuat hati musuh-musuh Islam  gentar terhadap orang-orang yang teguh membela Islam. Allah Ta’ala berfirman :
“Kami akan campakkan rasa takut dihati orang kafir”(Qs Ali ‘Imron 151)
Pada saat pengusiran bani Nadir juga Allah berfirman: “Dan Dia mencampakkan rasa takut dihati mereka (orang Kafir)”(Qs Al-Hasyr 2)
“Mereka tidak akan memerangi kalian kecuali didesa terkepung atau dari balik tembok”(Qs Al-Hasyr 14)
“aku ditolong dengan rasa takut yang dicampakkan dihati orang kafir selama sebulan”(HR Bukhari)
Terbukti setelah melakukan penaklukan kota Mekkah, Hawazin, Tsaqif dan kabilah lain sudah merasa ketakutan akan dikuasai oleh Rasulullah shallalahu 'alaihi wasallam. Demikianlah apa yang dapat kita petik dari peristiwa perang Hunain. Mudah-mudahan kita mampu mengamalkan Dinullah dengan benar dan menjaganya hingga akhir hayat.

Jihad Harus Dengan Izin Amirul Mukminin, Tapi Amir Yang Mana??


Menjawab Syubhat ''Salafi'': Jihad Harus Dengan Izin Amirul Mukminin

Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Diberitakan Muslimdaily.com, pada kamis sore, 01 desember 2011, Nasir Abbas dan Abdurrahman al-Ayyubi dan seorang lagi yang tak dikenal namanya, datang menemui Ustadz Abu Bakar Ba'asyir di Bareskrim, Mabes Polri. Kedatangan mereka bukan untuk menjenguk Ust. Abu yang diberitakan terganggu mata kanan beliau karena penyakit katarak, tapi untuk melakukan deradikalisasi terhadap Ustadz sepuh ini. Caranya dengan gaya lama, bahwa negara ini adalah negara Islam yang sah menurut syariat, sehingga harus diakui dan harus dibela sampai titik darah penghabisan. Tak perlu melakukan perjuangan Tathbiq Syariah Islam (implementasi syariat Islam secara formal) di negeri ini, karena sudah sesuai dengan Islam. Sementara pemimpinnya adalah amirul mukminin, yang wajib didengar dan ditaati perintahnya walau –seandainya- secara pribadi adalah banyak maksiat.
“Indonesia ini adalah negara Islam ustad, karena mayoritas penduduknya adalah orang Islam dan jihad itu diperbolehkan kalau amirnya memerintahkan untuk berjihad (maksudnya amir: SBY),” tegas Abdurrahman Al-Ayyubi kepada Ustad Abu Bakar Ba'asyir.
Nasir Abbas dan Abdurrahaman al-Ayyubi pasti sudah mengenal baik Ust. Abu Bakar Ba'asyir. Keduanya pernah berjumpa dan berinteraksi dengan beliau cukup lama. Keduanya pernah terjun di medan jihad, hanya saja sekarang keduanya sudah murtad darinya. Boleh jadi kemurtadan keduanya dari jihad karena syubuhat ini, Indonesia adalah Negara Islam dan pemimpinnya adalah amirul mukminin, serta jihad yang sah menurut syar'i adalah yang dikomando olehnya. Jika jihad diamalkan tanpa ada izin amirul mukmin yang sah, maka menurut mereka, jihadnya tidak sah atau batil.
Bagi siapa yang melek berita, pasti akan merasa aneh jika Indonesia disebut negara Islam. Para anggota DPR pasti akan berang jika negara ini adalah disebut negara Islam. Pastinya Amerika dan negara-negara kafir lainnya juga tak akan tinggal diam jika sudah tegak Negara Islam. Buktinya, jika di beberapa daerah tumbuh kesadaran untuk menerapkan beberapa aturan yang mengadopsi hukum Islam, maka muncul protes dari beberapa anggota dewan dengan mengatakan, "Indonesia ini bukan negara Islam."
Presiden Indonesia Susilo Bangbang Yudhoyono (SBY) juga pernah menyatakan, bahwa Indonesia bukan negara Islam. Dia juga tidak pernah menyatakan diri sebagai amirul mukminin, tapi seorang pluralis sejati. Bagi seorang pluralis tidak boleh menyatakan Islam adalah agama salah. Dia wajib membenarkan Islam, tapi juga wajib membenarkan agama lainnya. Sementara Islam mengajarkan, Islam saja agama yang benar agama dan selainnya adalah batil. Siapa yang memeluk agama selain Islam, maka amal baiknya tidak diterima oleh Allah dan jika mati di atasnya pasti ia masuk neraka.
Jadi aneh sekali, pemimpin negara ini bilang Indonesia bukan negara Islam, tapi segelintir kelompok kecil yang tergabung dalam kelompok "Salafi" memastikan ini adalah negara Islam. Ini seperti pepatah Arab, “Semuanya mengaku sebagai kekasih Laila. Namun Laila tidak mengakui mereka sebagai kekasihnya.”
Al-'Allamah Al-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, dalam Naqdah Al Qaumiyah Al-Arabiyah (hal. 39) menyebutkan tentang siapa yang menjadikan hukum yang menyelisihi Al-Qur'an, maka ini adalah kerusakan yang besar, dan merupakan kekafiran yang nyata, murtad secara terang-terangan, sebagaimana firman Allah:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
"Maka demi Rabb mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. Al-Nisa’: 65)
Dan firman Allah:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?“ (QS. Al-Ma’idah: 50)
Sampai kepada kata-kata: “……dan setiap negara yang tidak berhukum dengan hukum Allah dan tidak menyerahkan urusan kepada hukum Allah, maka negara tersebut adalah negara jahiliyah, kafir, zhalim dan fasiq sesuai dengan nash ayat muhkamat (tegas) ini. Wajib bagi orang Islam untuk membencinya dan memusuhinya karena Allah, dan haram bagi kaum muslimin memberikan wala’ (kecintaan, pembelaan dan loyalitas) dan menyukainya, sampai negeri itu beriman kepada Allah yang Maha Esa, dan berhukum dengan Syariat-Nya”.
Siapa Pemimpin Kaum Mukminin(Amirul Mukminin) Itu?
Para pemimpin Islam yang wajib ditegakkan kaum muslimin adalah pemimpin yang menegakkan Al-Qur'an dan Sunnah, dan menerapkan syariat Islam dalam mengatur rakyatnya. Yang karena itulah mereka mendapatkan hak besar untuk didengar dan ditaati rakyatnya, di mana rakyat tidak boleh menentang dengan senjata dan memberontak terhadapnya, walaupun dia itu banyak berbuat maksiat, zalim, dan fasik selain kekufuran. (Lihat: Al-Wajiz: Intisari aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Abdullah bin Abdul Hamid al-Atsari: 192-193)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "Engkau dengarkan dan taati pemimpinmu, walaupun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas, maka dengarkan dan taatilah." (HR. Muslim no. 1847)
Dalam sabdanya yang lain, "Siapa yang benci kepada suatu (tindakan) pemimpinnya, maka hendaknya ia bersabar. Karena sesungguhnya tiada seorangpun dari manusia yang keluar sejengkal saja dari pemimpinnya kemudian ia mati dalam keadaan demikian melainkan ia mati dalam keadaan jahiliyah." (HR. Muslim no.1894)
Dalam riwayat Muslim lainnya (no. 1855), "Dan jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang tidak kalian sukai, maka bencilah perbuatannya (saja), dan janganlah keluar dari ketaatan kepadanya."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: "Orang yang memberontak kepada pemimpin pasti menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada kebaikan akibat perbuatannya." (Minhajus Sunnah, dinukil dari catatan kaki al-Wajiz: 194)
Kemudian beliau mengatakan, "Adapun pemimpin yang tidak mengindahkan syariat Allah Ta'ala dan tidak berhukum dengannya, bahkan berhukum dengan selainnya, maka dia telah keluar dari cakupan ketaatan kaum muslimin. Yakni tidak ada lagi kewajiban untuk taat kepadanya." (Minhajus Sunnah: I/146, dinukil dari Al-Wajiz: 194)
Kenapa Pemimpin Seperti Itu Tidak Wajib Lagi Mendapatkan Ketaatan Dari Kaum Muslimin? Hal tersebut karena dia telah menyia-nyiakan maksud tujuan kepemimpinannya yang untuk itulah dia diangkat dan mempunyai hak untuk didengar ucapannya dan ditaati perintahnya serta tidak boleh keluar dari pemerintahan yang sah. Karena seorang penguasa tidak berhak mendapatkan itu semua melainkan karena dia mengerjakan urusan-urusan kaum muslimin, menjaga agama dan menyebarkannya, menegakkan hukum dan memperkokoh tempat yang dikhawatirkan mendapat serangan musuh, menumpas orang yang menentang Islam setelah didakwahi, memberikan loyalitasnya kepada kaum muslimin dan memusuhi musuh-musuh agama. Jika dia tidak menjaga agama atau tidak melaksanakan urusan kaum muslimin, maka berarti hilanglah hak kepemimpinannya, dan wajib bagi rakyat –melalui Ahlul Halli Wal 'Aqdi berhak melakukan penilaian dalam masalah tersebut- untuk menurunkan jabatannya dan mengangkat orang lain yang mampu merealisasikan tujuan pemerintahan.
Maka Ahlus Sunnah Wal Jama'ah tidak memperbolehkan keluar dari para pemimpin hanya karena disebabkan kezaliman dan kefasikannya saja –karena kefajiran dan kezaliman tidak berarti mereka menyia-nyiakan agama-, tapi masih berhukum dengan syariat Allah. Karena Salafush Shalih tidak mengenal suatu keamiran (kepemimpinan) yang tidak menjaga agama, maka ini menurut pandangan mereka tidak disebut keamiran. Akan tetapi yang dinamakan keamiran itu adalah yang menegakkan agama. Kemudian setelah itu terjadi keamiran yang baik atau keamiran yang fajir. Imam Ali radliyallahu 'anhu berkata, "Manusia harus memiliki pemimpin, yang baik maupun jahat." Mereka berkata, "Wahai Amirul Mukminin, yang baik kami telah tahu, tapi bagaimana dengan yang jahat?" Beliau menjawab, "(Dengannya) hudud bisa ditegakkan, jalan-jalan menjadi aman, musuh bisa diperangi, dan fa'i bisa dibagi." (Dari Kitab Minhajus Sunnah, Ibnu Taimiyah: I/146, dinukil dari Al-Wajiz, Abdullah bin Abdul Hamid al-Atsari: 194-195)
Jihad Tanpa Intruksi Amirul Mukminin Tidak Haram
Dalam pertemuan singkat antara Ustad Abu Bakar Ba'asyir dengan Nasir Abbas, Abdurrahman Al-Ayyubi, dan seorang teman kedunya, Ustadz Abu menyampaikan munculnya penghianat perjuangan Islam dari dalam diri umat Islam yang disebut "Salafi Dakhili".
“Dulu waktu saya masih di Malaysia, saya pernah disampaikan oleh ulama dari Thailand. Bahwa hati-hati kepada orang-orang salafi. Kalau kami (Ulama Thailand tersebut) menamakan mereka Salafi Dakhili. Karena mereka bentukan intern kerajaan Arab Saudi. Setelah saya pulang ke Indonesia saya melihat dan menemukan orang-orang Salafi Dakhili tersebut. Dan saya menyimpulkan bahwa paling sedikit ada dua tujuan Salafi Dakhili tersebut yaitu: Satu, menentang jihad dengan alasan tidak boleh jihad sebelum ada khilafah. Kedua, membantu toghut dengan alasan negara Islam itu adalah negara yang mayoritas penduduknya orang Islam di dalamnya masih terdengar suara azan," kata kiyai pendiri Pesantren Al-Mukmin, Surakarta kepada kedua mantan mujahid.
Menarik sekali penjelasan Ustad Abu di atas, para "Salafi" menentang jihad dengan alasan tidak boleh jihad sebelum ada khilafah. Dan sebagaimana pernyataan Abdurrahman Al-Ayyubi di atas, " . . . dan jihad itu diperbolehkan kalau amirnya memerintahkan untuk berjihad (maksudnya amir: SBY).”
Konsep jihad semacam ini tidak dikenal oleh para ulama salaf. Kami belum pernah mendapatkan pendapat ulama salaf, bahwa syarat sah jihad harus berada di bawah komando amirul mukminin. Padahal saat sekarang tidak ditemukan pemimpin muslim yang benar-benar menjadikan syariat Islam sebagai Undang-undang negaranya. Ini adalah kesimpulan orang-orang akhir zaman yang mengaku sebagai pengikut ulama salaf, (Salafi). Tidaklah mesti setiap apa yang mereka simpulkan itu sesuai dengan pemahaman ulama salaf. Dan mereka juga tidak boleh menjadikan setiap kesimpulan mereka sebagai pendapat ulama salaf.
Konsep jihad yang tidak boleh ditegakkan kecuali dengan keberadaan amirul mukminin atau imam besar kaum muslimin adalah konsep jihad kaum Syi'ah. Dalam prinsip ajaran Syi'ah, tidak wajib shalat Jum'at dan tidak boleh ditegakkan jihad kecuali dengan adanya Imam. Dan sampai sekarang imam mereka yang ditunggu-tunggu kedatangannya tak juga keluar-keluar. Dan ini merugikan perjuangan Syi'ah sendiri. Maka berijtihadlah beberapa ulama dari mereka yang kemudian lahirlah konsep wilayatul faqih, sosok ulama yang memiliki wewenang sebagaimana wewenangnya imam. Sehingga dengan keputusannya, jihad boleh ditegakkan.
Tersebut dalam Tahdzib Kitab Mashari' al-'Usyaq Fi Fadhail al-Jihad, milik Imam Ahmad bin Ibrahim bin al-Nahhas al-Dimasyqi al-Dimyathi (Syahid tahun 814 H), pada pasal "Fiima Laa Budda li Al-Mujahid min Ma'rifatihi min al-ahkam" (Hukum-hukum yang wajib diketahui oleh mujahid),
"Jihad tanpa izin Imam atau wakilnya adalah makruh (dibenci), tetapi tidak sampai haram. Dan dikecualikan beberapa kondisi berikut dari kemakruhannya:  . . .
Kedua, Apabila imam meniadakan jihad, lalu dia dan pasukannya sibuk mengurusi dunia, yang merupakan fenomena di era ini dan di beberapa negeri, maka tidak dimakruhkan berjihad tanpa izin imam. Karena imam meniadakan jihad, sementara mujahidin menegakkan kewajiban yang ditiadakan."
Ketiga, Apabila orang yg ingin berjhad tidak mampu meminta izin, karena ia tahu jika meminta izin maka tidak akan diizinkan.(Mughni al-Muhtaj: 4/330)
Ibnu Qudamah berkata,
فإن عدم الإمام لم يؤخر الجهاد لأن مصلحته تفوت بتأخيره وإن حصلت غنيمة قسمها أهلها على موجب أحكام الشرع
"Sesungguhnya tidak adanya imam tidak diakhirkan jihad, karena kemashlahatan jihad akan hilang dengan mengakhirkannya. Jika diperoleh ghanimah maka pemiliknya membaginya sesuai dengan ketentuan hukum syar'i." (al-Mughni: 10/374)
Penutup
Sesungguhnya faham para ulama salaf (generasi sahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan dua generasi setelahnya) adalah pemahaman yang lurus dan paling selamat. Setiap muslim hendaknya memahami Islam sesuai dengan apa yang telah pahami dengan baik dan mereka amalkan dalam kehidupan. Namun, perlu jujur dalam mengikuti faham mereka tersebut. Tidak boleh kita curang, mengatasnamakan kepada mereka setiap apa yang kita simpulkan. Sehingga ini akan menyebabkan kekacauan dalam kehidupan ber-Islam kaum muslimin yang jauh dari kemuliaan. Salah satu tema yang dinisbatkan kepada ulama salaf adalah urusan jihad yang wajib dibawah kepemimpinan amirul mukminin (imam). Padahal tidak ada keterangan dari mereka yang demikian. Bahkan kesimpulan tersebut bertentangan dengan nash-nash syar'i yang qath'i dan Ushul Syar'iyyah dan kaidah-kaidah fiqih, demikian ditulis oleh Hakim al-Mathiri, Syubhah; Laa Jihaada Illa Bi Wujudi Imam wa Raayah, dari situs Mimbar Tauhid wa al-Jihad. Wallahu Ta'ala A'lam

Warga Nahdhiyyin Seharusnya kembali ber-Jihad


Seperti Inilah Seharusnya Warga Nahdhiyyin Memahami Jihad

Oleh: Ahmad 'Isy Karim
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Jihad, satu kewajiban dalam Islam yang berusaha terus dipadamkan oleh kafirin dan munafikin. Berbagai alasan diada-adakan untuk memandulkan gerakan jihad. Hasil-hasil kajian keislaman dalam bentuk arahan dan fatwa ditampilkan untuk merendahkan amal tertinggi dalam agama Allah ini. Tidak lain, semua ini hasil dari virus syubuhat yang disuntikkan kafirin muharibin untuk melemahkan kondisi umat Islam. Virus tersebut berhasil menjalar ke tubuh-tubuh umat Islam, bukan saja kalangan awam, tapi juga sudah menyebar di tubuh para tokohnya. Sehingga tidak jarang beberapa tokoh kaum muslimin, entah apa kepentingannya, menelurkan ijtihad baru tentang jihad yang berlawanan dengan ijtihad para ulama terdahulu yang komitmen dengan Al-Qur'an dan al-Sunnah.
Salah satu organisasi yang memiliki basis ulama cukup besar di Indonesia adalah Nahdhatul Ulama (NU). Dari namanya yang berarti kebangkitan para ulama menunjukkan banyaknya ulama yang bergabung di dalamnya. Sehingga hasil-hasil kajiannya terlihat memiliki bobot keilmuan yang dalam, salah satunya tentang Jihad Fi Sabilillah. Tapi ini dulu. Sekarang, perlu lagi dibuktikan keulamaan para tokohnya. Sehingga NU tidak dicibir oleh organisasi Islam lainnya karena sebagian oknum tokohnya membuat kesimpulan yang nyleneh dari para pendahulunya yang lebih bersih dari kepentingan dalam mengeluarkan fatwa, khususnya tentang Jihad Fi Sabilillah. Di mana beberapa tokohnya terlihat paling getol menentang kewajiban jihad, memalingkan maknanya, dan menyematkan berbagai julukan buruk kepada para mujahidin.
Berikut ini kami suguhkan tulisan dari Ustadz Abu Izzuddin Al Hazimi dalam mengeksplor pembahasan Jihad dari kitab-kitab kuning yang dijadikan rujukan dalam kajian keislaman kaum nahdhiyyin, khususnya di pesantren-pesantren yang berafiliasi ke Nahdhatul Ulama (NU):
Berikut saya nukilkan fatwa 2 orang ulama Madzhab Syafi’i tentang hukum jihad dan hukum penguasa yang menetapkan undang-undang selain syari’ah Allah. Jika kaum muslimin di Indonesia konsekwen dengan ajaran madzhabnya, seharusnya mereka setiap tahun menyiapkan pasukan atau i’dad untuk melaksakana fardhu kifayah ini.
Namun kalau mereka membaca lebih teliti dan jujur dengan kitab yang mereka baca setiap hari ini, mereka seharusnya mengeluarkan fatwa bahwa jihad hari ini hukumnya fardhu ‘ain karena musuh sudah masuk ke negeri-negeri kaum muslimin bahkan menjajah baitul maqdis!
Jihad Dalam Fathul Mu'in
Di dalam kitab Fathul Mu'in (IV/206), Bab Jihad disebutkan:
باب الجهاد : (هو فرض كفاية كل عام) ولو مرة إذا كان الكفار ببلادهم، ويتعين إذا دخلوا بلادنا كما يأتي: وحكم فرض الكفاية أنه إذا فعله من فيهم كفاية سقط الحرج عنه وعن الباقين. ويأثم كل من لا عذر له من المسلمين إن تركوه وإن جهلوا
"BAB JIHAD: (Jihad hukumnya Fardhu Kifayah SETIAP TAHUN), walaupun hanya sekali (dalam setahun), jika orang-orang kafir berada di negeri mereka. Dan (hukumnya) berubah menjadi fardhu ‘Ain jika mereka (orang-orang kafir) memasuki (menyerang) Negeri kita sebagaimana akan kami jelaskan lebih lanjut. Sedangkan maksud hukum Fardhu Kifayah  adalah jika sebagian kaum muslimin telah melaksanakan kewajiban ini sebagai syarat kifayah (kecukupan minimal) maka kewajiban itu telah gugur darinya dan dari kaum muslimin lainnya. namun bagi orang yang memiliki kemampuan dan tidak ada udzur ia berdosa jika meninggalkan kewajiban ini walaupun mereka ini orang-orang yang jahil (bodoh dan tidak mengetahui hukumnya)."
Jihad dalam I'anatut Thalibin
Matan (redaksi) dalam kitab Fathul Mu’in ini diterangkan lebih lanjut dalam Kitab I’anatut Thalibin (IV/205) yang merupakan Syarah (penjelasan) dari Kitab tersebut, sebagai berikut: 
باب الجهاد أي باب في بيان أحكام الجهاد : أي القتال في سبيل الله
 قوله: إذا كان الكفار ببلاده -  قيد لكونه فرض كفاية : أي أنه فرض كفاية في كل عام إذا كان الكفار حالين في بلادهم لم ينتقلوا عنها
قوله: ويتعين - أي الجهاد، أي يكون فرض عين، والملائم أن يقول وفرض عين الخ
وقوله: إذا دخلوا بلادنا -  أي بلدة من بلاد المسلمين ومثل البلدة القرية وغيرها
"Bab Jihad : Maksudnya adalah bab yang menjelaskan tentang hukum-hukum jihad (yang maksudnya) yaitu QITAL fi sabilillah (Perang di jalan Allah).
  • “Jika orang-orang kafir berada di negeri mereka”: Ini sebagai syarat atau ketentuan, karena hukumnya Fardhu kifayah. Maksudnya adalah bahwa hukum jihad itu fardhu kifayah dalam setiap tahun jika orang-orang kafir berada di negeri mereka dan tidak pindah dari sana.
  • “Dan (hukumnya) berubah menjadi Fardhu ‘Ain”: Maksudnya adalah jihad, menjadi Fardhu Ain. Kalimat “wayata’ayyan” ini sama artinya dengan Fardhu Ain
  • “Jika mereka (orang-orang kafir) memasuki (menyerang) Negeri kita”: Maksudnya adalah salah satu negeri di antara negeri-negeri kaum muslimin. Dan sudah cukup disamakan dengan negeri (jika mereka masuk) sebuah desa atau semisalnya."
Penutup
Dari dua kitab induk ulama Madzhab Syafi’i tentang hukum jihad di atas, yang dijadikan panduan di pesantren-pesantren yang berafiliasi kepada NU, seharusnya kaum Nahdhiyyin setiap tahun menyiapkan pasukan atau i’dad untuk melaksakana fardhu kifayah ini. Namun kalau mereka membaca lebih teliti dan jujur dengan kitab yang mereka baca setiap hari ini, mereka seharusnya mengeluarkan fatwa bahwa jihad hari ini hukumnya fardhu ‘ain karena musuh sudah masuk ke negeri-negeri kaum muslimin bahkan menjajah baitul maqdis!. Wallahu Ta'ala A'lam.

Surat-surat Rasulullah: Ajak Penguasa & Raja-raja Kafir Masuk Islam

Surat-surat Rasulullah: Ajak Penguasa & Raja-raja Kafir Masuk Islam

Pada masa awal setelah diangkat sebagai utusan Allah (Rasulullah) Nabi Muhammad Saw membangun komunikasi dengan para pemimpin suku dan pemimpin negara lain. Beliau mengirim utusan yang membawa surat ajakan masuk Islam. Korespondensi melalui surat itu tujukan kepada Heraclius (kaisar Romawi), Raja Negus (penguasa  Ethiopia), dan Khusrau (penguasa Persia).
Sejarah mencatat, waktu itu Heraclius (Raja Romawi) dan Kisra (Raja Persia) merupakan dua kerajaan yang terkuat pada zamannya, dan merupakan dua orang yang telah menentukan jalannya politik dunia serta nasib seluruh penduduknya. Perang antara dua kerajaan ini berkecamuk dengan kemenangan yang selalu silih berganti.
Pada mulanya Persia adalah pihak yang menang. Ia menguasai Palestina dan Mesir, menaklukkan Baitul Maqdis (Yerusalem) dan berhasil membawa Salib Besar (The True Cross). Kemudian giliran Persia mengalami kekalahan lagi. Panji-panji Bizantium kembali berkibar lagi di Mesir, Suriah serta Palestina, dan Heraklius berhasil mengembalikan salib itu.

Kalau saja orang ingat akan kedudukan kedua kerajaan itu, mereka akan dapat mengira-ngira betapa besarnya dua nama ini, yang mendengarnya saja hati orang sudah gentar. Tiada satu kerajaan pun yang pernah berpikir hendak melawan mereka. Yang terlintas dalam pikiran orang ialah hendak membina persahabatan dengan keduanya. Jika kerajaan-kerajaan dunia yang terkenal pada waktu itu saja sudah demikian keadaannya, apalagi negeri-negeri Arab.

Yaman dan Irak waktu itu di bawah pengaruh Persia, sedang Mesir sampai ke Syam di bawah pengaruh Heraclius. Pada waktu itu Hijaz dan seluruh semenanjung jazirah terkurung dalam lingkaran pengaruh kedua imperium ini. Kehidupan orang Arab pada  masa itu hanya tergantung pada soal perdagangan dengan Yaman dan Syam. Dalam hal ini perlu sekali mereka mengambil hati Kisra dan Heraclius agar kedua kerajaan ini tidak merusak perdagangan mereka.
Disamping itu kehidupan orang-orang Arab tidak lebih daripada kabilah-kabilah, yang dalam bermusuhan, kadang keras, kadang lunak. Tak ada ikatan di antara mereka yang merupakan suatu kesatuan politik, yang dapat mereka gunakan untuk menghadapi pengaruh kedua kerajaan raksasa tersebut.

Oleh sebab itu, Rasulullah mengirimkan utusan-utusannya kepada kedua penguasa besar itu—juga kepada Ghassan, Yaman, Mesir dan Abisinia. Beliau mengajak mereka untuk memeluk Islam, tanpa merasa khawatir akan segala akibat yang mungkin timbul. Dampak yang mungkin dapat membawa seluruh negeri Arab tunduk di bawah cengkeraman Persia dan Bizantium.

Akan tetapi kenyataannya, Rasulullah tidak ragu-ragu mengajak para raja itu menganut agama yang benar. Beliau mengirim utusan kepada Heraclius, Kisra, Muqauqis, Harits Al-Ghassani (Raja Hira), Harits Al-Himyari (Raja Yaman) dan kepada Najasi, penguasa Abesinia (Ethiopia). Beliau hendak mengajak mereka masuk Islam.


Para sahabat menyatakan mereka kesanggupan mereka melakukan tugas besar ini. Rasulullah kemudian membuat sebentuk cincin dari perak bertuliskan: "Muhammad Rasulullah".
Adapun surat buat Heraclius itu dibawa oleh Dihyah bin Khalifah al-Kalbi, dan surat kepada Kisra dibawa oleh Abdullah bin Hudzafah. Sementara surat kepada Najasyi dibawa oleh Amr bin Umayyah, dan surat kepada Muqauqis oleh Hatib bin Abi Balta'ah.

Sementara itu, surat kepada penguasa Oman dibawa oleh Amr bin Ash, surat kepada penguasa Yaman oleh Salit bin Amr, dan surat kepada Raja Bahrain oleh Al-'Ala bin Al-Hadzrami. Sedangkan surat kepada Harith Al-Ghassani, Raja Syam, dibawa oleh Syuja' bin Wahab. Dan surat kepada Harits Al-Himyari, Raja Yaman, dibawa oleh Muhajir bin Umayyah.

Masing-masing mereka kemudian berangkat menuju tempat yang telah ditugaskan oleh Nabi. Para penulis sejarah berbeda pendapat tentang waktu keberangkatan mereka. Sebagian besar menyatakan para utusan berangkat dalam waktu yang berbarengan, sementara sebagian lagi berpendapat mereka berangkat dalam waktu yang berlainan.
Surat Untuk Heraclius
Berikut Surat Rasulullah kepada Heraclius (Raja Romawi) -- yang dibawa oleh Dihyah al-Kalbi – teksnya berbunyi:
"Dengan nama Allah, Pengasih dan Penyayang. Dari Muhammad hamba Allah dan utusan-Nya kepada Heraclius pembesar Romawi. Salam sejahtera bagi yang mengikuti petunjuk yang benar. Dengan ini saya mengajak tuan menuruti ajaran Islam. Terimalah ajaran Islam, tuan akan selamat. Tuhan akan memberi pahala dua kali kepada tuan. Kalau tuan menolak, maka dosa  orang-orang Arisiyin—Heraklius bertanggungjawab atas dosa rakyatnya karena dia merintangi mereka dari agama—menjadi tanggungiawab tuan.
Wahai orang-orang Ahli Kitab. Marilah sama-sama kita berpegang pada kata yang sama antara kami dan kamu, yakni bahwa tak ada yang kita sembah selain Allah dan kita tidak akan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, bahwa yang satu takkan mengambil yang lain menjadi tuhan selain Allah. Tetapi kalau mereka mengelak juga, katakanlah kepada mereka, saksikanlah bahwa kami ini orang-orang Islam."

Ketika Rasulullah Saw mengirim surat kepada Kaisar Heraclius dan menyerukan kepada Islam. Pada waktu itu Kaisar sedang merayakan kemenangannya atas Negeri Persia.
Begitu menerima surat dari Rasulullah Saw, Sang Kaisar pun berkeinginan untuk melakukan penelitian guna memeriksa kebenaran kenabian Muhammad Saw. Lalu Kaisar memerintahkan untuk mendatangkan seseorang dari Bangsa Arab ke hadapannya. Abu Sufyan ra, waktu itu masih kafir, dan rombongannya segera dihadirkan di hadapan Kaisar.
Abu Sufyan pun diminta berdiri paling depan sebagai juru bicara karena memiliki nasab yang paling dekat dengan Rasulullah Saw. Rombongan yang lain berdiri di belakangnya sebagai saksi. Itulah strategi Kaisar untuk mendapatkan keterangan yang valid.

Maka berlangsunglah dialog yang panjang antara Kaisar dengan Abu Sufyan ra. Kaisar Heraclius adalah seorang yang cerdas dengan pengetahuan yang luas. Beliau bertanya dengan taktis dan mengarahkannya kepada ciri seorang nabi. Abu Sufyan ra juga seorang yang cerdas dan bisa membaca arah pertanyaan Sang Kaisar. Namun beliau dipaksa berkata benar walaupun berusaha memberi sedikit bias.

Di akhir dialog Sang Kaisar mengutarakan pendapatnya. Inilah ciri-ciri seorang nabi menurut pandangannya dan sebagaimana telah dia baca di dalam Injil. Ternyata semua ciri yang tersebut ada pada diri Rasulullah Saw.
Kaisar Heraclius telah mengetahui tentang Rasulullah Saw dan membenarkan kenabian beliau dengan pengetahuan yang lengkap. Akan tetapi ia dikalahkan rasa cintanya atas tahta kerajaan, sehingga ia tidak menyatakan keislamannya. Ia mengetahui dosa dirinya dan dosa dari rakyatnya sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullah Saw.
Dengan kecerdasan dan keluasan ilmunya Kaisar bisa mengetahui kebenaran kenabian Rasulullah Saw. Bahkan Kaisar menyatakan : “Dia (maksudnya Rasulullah Saw) kelak akan mampu menguasai wilayah yang dipijak oleh kedua kakiku ini.” Saat itu Kaisar sedang dalam perjalanan menuju Baitul Maqdis.

Abu Sufyan ra menceritakan dialog ini setelah masuk Islam dengan keislaman yang sangat baik, sehingga hadits ini diterima. Kaisar lalu memuliakan Dihyah bin Khalifah Al-Kalby dengan menghadiahkan sejumlah harta dan pakaian. Kaisar pun memuliakan surat dari Rasulullah Saw, namun ia lebih mencintai tahtanya. Akibatnya, di dunia, Allah Swt memanjangkan kekuasaannya. Namun dia harus mempertanggungjawabkan kekafirannya di akhirat kelak.
Surat Untuk Muqouqis (Penguasa Mesir)
Kemudian Rasululullah Saw juga mengirim surat kepada Gubernur Mesir Muqauqis. Berikut Surat untuk Muqouqis, Gubernur Mesir:
“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad hamba Allah dan utusanNya kepada Muqauqis raja Qibthi. Keselamatan bagi orang yang mengiktui petunjuk. Amma ba’du: Aku mengajakmu dengan ajakan Islam. Masuklah Islam maka engkau akan selamat. Masuklah Islam maka engkau akan diberikan Alah pahala dua kali. Jika kau menolak maka atasmu dosa penduduk Qibthi.
Katakanlah: “Hai Ahli Kitab marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang orang yang berserah diri (kepada Allah)” (QS ali Imran 3:64). (Al-Mawahib al Laduniyah).”
Surat untuk Raja Habasyah Najasyi (Ethiopia)
Selanjutnya, Rasulullah Saw mengirimkan surat kepada Raja Habasyah, Najasi. Berikut Surat Nabi kepada Raja Habsyah Najasyi.
“Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad hamba Allah dan utusa Allah kepada Najasyi raja Habasyah, keselamatan bagi yang mengikuti petunjuk.
Amma ba’du: Aku memuji Allah padamun yang tidak ada tuhan selain Dia, Yang Maha Menguasai, Maha Suci, Maha Penyelamat, Maha Pemberi Aman dan Maha Pembeda. Aku bersaksi bahwa Isa anak Maryam ruh Allah, dan firmanNya yang diberikan kepada Maryam yang suci lagi perawan, lalu ia hamil dari ruh dan tiupannya, sebagaimana Ia menciptakan Adam dengan tanganNya.
Aku mengajakmu kepada Allah yang Esa, yang tidak ada sekutu bagiNya, mematuhi dengan ketaatan kepadaNya dan untuk mengikutiku dan mempercayai apa yang aku bawa. Aku Rasulullah, aku mengajakmu dan para pasukanmu kepada Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Tinggi. Aku telah menyampaikan pesan dan memberi nasehat, maka terimalah nasehatku. Keselamatan bagi orang yang mengikuti petunjuk. (Thabaqut Ibnu Sa’ad).


Surat Untuk Raja Raja Persia (Raja Khosrau II/Kisra Abrawaiz)
Lalu Rasullah juga mengirim surat kepada Raja Persia
Berikut Surat Rasulullah kepada Raja Persia, Kisra Abrawaiz:
“Dengan Nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad Rasulullah kepada Kisra raja Persia. Keselamatan bagi yang mengikuti petunjuk, yang beriman kepada Allah dan RasulNya, dan bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan aku adalah utusan Allah kepada semua umat manusia, untuk memberi peringatan bagi siapa yang hidup. Masuklah Islam maka kau akan selamat, dan jika kau mengabaikannya maka atasmu dosa orang orang Majusi.” (Sumber: hadist Ibnu Abbas yang di-takhrij oleh Bukhari dan oleh Ahmad).  


Ketika Rasulullah Saw mengirim surat kepada Kisra Abrawaiz raja dari Negeri Persia dan menyerunya kepada Islam. Namun ketika surat itu dibacakan kepada Kisra, ia pun merobeknya sambil berkata, ”Budak rendahan dari rakyatku menuliskan namanya mendahuluiku”.

Ketika berita tersebut sampai kepada Rasulullah Saw, beliaupun mengatakan, ”Semoga Allah mencabik-cabik kerajaannya.” Doa tersebut dikabulkan. Persia akhirnya kalah dalam perang menghadapi Romawi dengan kekalahan yang menyakitkan. Kemudian iapun digulingkan oleh anaknya sendiri yakni Syirawaih. Ia dibunuh dan dirampas kekuasaannya.

Seterusnya kerajaan itu kian tercabik-cabik dan hancur sampai akhirnya ditaklukkan oleh pasukan Islam pada jaman Khalifah Umar bin Khaththab ra hingga tidak bisa lagi berdiri. Selain itu Kisra masih harus mempertanggung-jawabkan kekafirannya di akhirat kelak. (MKP/dari berbagai sumber)

BAGAIMANA SEHARUSNYA MENJADI ALIM,ULAMA, PENDETA ATAU RAHIB ITU?


BAGAIMANA SEHARUSNYA MENJADI ALIM,ULAMA, PENDETA ATAU RAHIB ITU?

Ahli ilmu atau ulama seringkali kita identikkan bagi sebagai orang yang menyampaikan ceramah/tausyah agama Islam dengan segala kefasihan lidah dan mulutnya mengeluarkan dalil dan ayat-ayat  Al Quran dan Hadist, padahal ulama dalam arti dasarnya adalah alim dari ilmu, dan setiap orang yang mempunyai apa saja ilmu pada hakekatnya juga ulama, jadi bukan semata Syeikh, Kyai, Ustadz saja, terkadang orang awam yang  tidaklah hafidz ayat per ayat namun lebih mengerti tafsirannya meskipun yang dipegangnya cuma satu ayat, demikian juga halnya seharusnya dengan pendeta dan imam-imam pada agama Yahudi dan Nasrani, adalah juga ulama, karena mereka juga mempelajari kitab suci mereka, yang dulu aslinya  diturunkan dari Allah yang sama juga.

QS ALBAQARAH 187:Dan ingatlah tatkala Allah mengambil janji orang-orang yang diberi kitab itu.”Hendaklah kamu terangkan isi Kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu sembunyikan.” Tetapi mereka memungkiri perjanjian itu, mereka menjualnya dengan harga yang sedikit. Alangkah jahatnya tukaran yang akan mereka terima”.

Bersebab AlQuran turun disaat Islam masih dalam masa perkembangan awal, masa pendirian pondasi agama ini maka Allah seringkali mengibaratkan dan mengum-pamakan segala misal dan contoh kepada Yahudi dan Nasrani, namun hakekatnya Allah berbicara dengan kita kaum muslimin dari saat turun sampai sekarang dan masa yang akan datang sepanjang AlQuran masih dibaca buat diamalkan dan tidak lagi sebatas membaca dalam perlombaan mutsabaqah tilawatil semata. Karena hakekatnya meskipun permisalan Allah dengan kaum itu namun karena mereka tidak membaca AlQuran, maka Allah berbicara kepada kitalah yang membacanya saat ini.

> Dan ingatlah tatkala Allah mengambil janji orang-orang yang diberi kitab itu.  

Yang dimaksud orang-orang yang diberi kitab adalah Bani Israil umumnya, karena mereka diberi Kitab Taurat, Zabur dan Injil. Ulama-ulama atau pendeta mereka lebih tahu isi dari kitab mereka, maka Allah dahulu mengambil sumpah mereka.

>”Hendaklah kamu terangkan isi Kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu sembunyikan.”

Kalau kita perhatikan secara seksama kitab-kitab perjanjian lama yag ada sekarang, baik kitab Keluaran, Imamat orang Levi, Bilangan maupun Kitab Ulangan, kita akan lihat berkali-kali Tuhan mengambil sumpah bani Israil memalui Nabi Musa.as agar setia, memegang teguh ajaran Tauhid dan menjauhi penyembahan berhala/patung. Didalam Kitab Ulangan pasal 4 ayat 1 dan 2 (terbitan 1962) Tuhan berfirman dengan perantaraan Musa yang berbunyi:

1.Maka sekarangpun dengarlah olehmu, hai Israil, akan segala hukum dan undang-undang yang kuajarkan kepadamu, supaya kamu melakukan dia, supaya kamu boleh hidup dan boleh masuk kedalam dan mempusakai negeri yang dikaruniakan Tuhan yaitu Allah nenek moyangmu, kepadamu.

2.Maka janganlah kamu tambahkan sesuatu kepada perkataan pesanku ini dan janganlah kamu kurangkan dia, melainkan peliharalah segala hukum Tuhan Allah yang kupesankan kepadamu.

Pada pasal 6 ayat 2 lebih ditegaskan lagi : “Supaya kamu takut akan Tuhan Allahmu dengan meniru segala hukum dan undang-undangnya, yang kusuruh akan kamu, yaitu kamu dan anakmu dan cucumu pada segala hari umurmu hidup, supaya umur dilanjutkan.”

Dengan menyalin beberapa ayat dari puluhan ayat perjanjian Tuhan dengan bani Israil dapatlah kita membaca dan memahami perjanjian yang dibuat Allah dengan Bani Israil agar setia memegang Taurat, dan tahut kepada Allah.

Antara janji Tuhan dengan mereka bahwa kelak akan datang seorang Nabi, dan hendaklah mereka mempercayai hal itu. Tuhan berfirman dalam Ulangan 18:15-22 :” 
15- Bahwa seorang nabi dari tengah-tengah kamu, dari segala saudaramu, dan yang seperti aku ini, yaitu dijadikan oleh Tuhanmu bagi kamu, maka akan dia patutlah kamu dengar”
18-  Nabi yang Aku bangkitkan bagi mereka dari antara saudara mereka, seperti engkau ini(Musa): Aku akan menaruh firmanKu dimulutnya dan ia akan mengatakan kepada mereka segala yang Kuperintahkan kepadanya.
19- Orang yang tidak mendengarkan segala firmanKu yang diucapkan nabi itu demi nama-Ku, daripadnya akan kutuntut pertanggungjawaban.
20- Tetapi seorang nabi yang terlalu berani untuk mengucapkan demi nama-Ku perkataan yang tidak pernah Kuperintahkan untuk dikatakan olehnya, atau yang berkata demi nama Allah lain, nabi itu harus mati.
21- Jika sekiranya kamu berkata dalam hatimu:Bagaimanakah kami mengetahui perkataan yang tidak difirmankan TUHAN?
22-  Apabila seorang nabi berkata demi nama Tuhan dan perkataannya itu tidak terjadi dan tidak sampai, maka itulah perkataan yang tidak difirmankan TUHAN, dengan terlalu berani nabi itu telah mengatakannya,maka janganlah gentar kepadanya.

Saudara Bani Israil tidaklah lain Bani Ismail sebagai kakak tertua dari Bapak Ibrahim dan Ibu Hajar/Hagar, kemudian Nabi Musa menerangkan Nabi yang akan datang itu yang seperti aku ini. Ditilik dari perbandingan sejarah rasul-rasul, teranglah bahwa jalan hidup Nabi Muhammad lebih banyak kesamaannya dengan Nabi Musa, sama-sama punya ayah-ibu, sama-sama menyentak pedang kalau perlu dan sama-sama tidak mati terbunuh.

Menerangkan hal ini kepada anak cucu Bani Israil adalah keniscayaan dan kewajiban Ulama-ulama Bani Israil, dan itu memang mereka pegang teguh sekedar cerita turun temurun, sehingga wajar saja setelah 600 tahun berdirinya agama sekte Nasrani mereka tidak percaya dan mengikuti agama Kristen. Namun apa yang  terjadi setelah terang bagi Yahudi Medinah telah nampak tanda kenabian pada saudara mereka Bani Ismail ? Lanjutan ayat ini menerangkan:

>  Tetapi mereka memungkiri perjanjian itu, mereka menjualnya dengan harga yang sedikit.

Bahwasanya ahli ahli dan ulama kitab itu tidak jujur lagi. Mereka telah mangkir akan janji turun temurun dari nenek mereka, bahwa kedatangan Nabi yang diterangkan Musa.as, setelah kelahiran dan kenabian Muhammad tidak mereka buka-buka lagi. Apalagi disaat nabi Muhammad saw hidup taurat mereka sembunyikan dan Rasulullah hanya tahu isi Taurat hanya dari Allah saja.

Padahal sebelum kedatangan nabi Muhammad, Yahudi sering berbangga didepan orang arab bahwa seorang Nabi buat mereka akan datang, yang akan memimpin mereka kelak menghancurkan kafir musyrik dan ini sering diulang-ulang buat memanas manasi orang Arab yang Ummi, tidak punya kitab dan buta huruf.

Bagi orang Nasrani, mereka menafsirkan nubuwah Musa untuk Isa alMasih, padahal Isa punya Ibu tapi tidak punya bapak, Musa mati diusia lanjut dan Isa menurut keyakinan Nasrani mati dibunuh, dan Nabi Muhammad bukan juga mati dibunuh.

Jadi jelaslah dalam QS 3:187 ini menerangkan langkah yang mereka ulama Yahudi, nasrani tempuh sudah tidak jujur lagi. Mereka perjual belikan kejujuran dengan hal dunia untuk memelihara pangkat, martabat dan harta dunia :

> “Alangkah jahatnya tukaran yang akan mereka terima” ujung ayat 187

Memang agama tidaklah boleh dipaksakan (QS 2: 256), sehingga tidaklah perlu mereka ulama Yahudi/Nasrani bersikap curang dalam mempertahankan agama mereka kepada sekalian jemaat mereka. Disaat Islam diMedinah sudah jaya dan dimasa-masa kekhlifan berikutnya, tidaklah pernah kita baca dan dengar mereka digiring dengan pedang agar mau memeluk agama Islam. Mereka memutar ayat-ayat Tuhan semata hanyalah mempertahankan pengaruh dan kedudukan.

Tabi’in besar Qatadah pernah berkata:” Inilah perjanjian yang telah diambil Tuhan dengan ahli ahli ilmu. Maka barangsiapa mengetahui sedikit ilmu hendaklah diajarkan kepada manusia. Sekali-kali janganlah disembunyikan karena itu adalah kebinasaan dirinya dan ilmu itu sendiri”

Dalam islam mereka disebut Rasulullah sebagai “pewaris Nabi-nabi”. Mereka tidak boleh menyembunyikan kebenaran dan wajib menyampaikan/tabligh. Lihatlah bagaimana penyiksaan fisik dan mental yang diterima Ulama-ulama besar Islam dahulu, Imam Malik,Imam Hanafi,Imam Syafi’i, Imam Hambali, Ibnu Taimiyah,Imam Nawami yang rela dipenjara karena kebenaran yang mereka ucapkan tidak sesuai dengan selera penguasa waktu itu. Kenapa mereka rela berkeras mempertahankan keyakinan mereka? Karena mereka juga merasa mereka termasuk Orang-orang yang dib eri kitab itu.

Berkata Sayid Rasyid Ridha dalam tafsir Al-Manar:
Ketahuilah, bahwasannya tidak ada kerusakan yang sangat membahayakan bagi agama ini yang menyebabkan isi kitab tersia-sia, sampai orang-orang mau mencampakkannya kebelakang punggung mereka, mau memperjualbelikan ayat dengan harga yang sedikit. Tidak ada suatu bahayapun yang mengancam agama lebih daripada menjadikan ulama bergantung kepada kasihan penguasa negara.
Oleh sebab itu wajiblah ulama agama mempertahankan kebebasan sempurna, bebas dari tekanan pengusa, tidaklah msauk akal seorang penguasa tirani akan mau begitu saja memberikan belenggu emas dileher-leher ulama, melainkan supaya mereka dituntun menurut kehendak penguasa menipu rakyat dan memperkaya diri dengan membawa agama. Kalau rakyat cerdas, tidaklah mereka akan mau mengikuti fatwa ulama yang lehernya berantai emas dari penguasa.”

Hadist Rasulullah dari Anas bin Malik yang dirawikan oleh al-Aglii, Hasan bin Sufyan :
“Ulama itu adalah orang kepercayaan Rasul-rasul untuk memimpin segenap hamba Allah, selama mereka belum bercampur dengan sultan. Tetapi kalau mereka telah berbuat demikian, sesungguhnya dia telah mengkhianati Rasul-rasul. Maka hendaklah waspada terhadap mereka, hendaklah merek disisihkan” .

Dan ada hadist yang lebih keras lagi, dari ad-dailamy dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw berkata;” Apabila telah engkau lihat seorang alim ulama bercampur-gaul dengan sultan terlalu banyak, ketahuilah bahwa dia itu seorang pencuri.”

Janganlah kita tertipu kalau mereka berkata :Kita mendekati puncak kekuasaan untuk menangkis kezaliman dan mempertahankan hak orang teraniaya” itu adalah bisikan setan semata.

Dapatlah kita lihat keadaan Indonesia sekarang, sejak reformasi berapa  ribu orang Ulama yang sudah silih berganti duduk dipuncak kekuasaan negara, adakah mereka membawa perubahan kepada akhlak dan moral bangsa ini? Tidak malah mereka mempunyai andil juga dalam menghancurkan bangsa ini, setelah mereka rasa kebenaran yang sebenarnya, mereka mundur dan mungkin bertobat namun rakyat sudah terlanjur tidak mempercayai lagi...MasyaAllah.

Marilah Ulama itu berkaca kepada KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah Yogyakarta yang hidup dari menjual kain batik, juga KH Hasyim As’ari dari Jombang, Buya Hamka dan banyak lagi contoh Ulama besar yang tidak haus akan gelar dan pangkat namun nama dan ajaran mereka harum seantero bumi. Karena mereka menjaga sekali apa-apa yang akan masuk kedalam perut mereka, jangankan yang haram, yang subhat saja mereka tolak bahkan pemberian hadiah yang seharusnya halal tetapi karena berasal dari penguasa mereka tolak, agar kebebasan mengatakan kebenaran tidak terhimpit lidah mereka.

JADI DENGAN URAIAN DIATAS ULAMA, PENDETA,RAHIB ADALAH LIDAH TERAKHIR PENYAMPAI WAHYU ALLAH DAN ALIM ULAMA BUKANLAH TERBEBAN KEPADA MEREKA SEMATA, SEORANG ILMUWAN/SCIENTIS DAN PEMILIK ILMU LAINNYA WAJIB MENYAMPAIKAN ILMUNYA KEPADA JALAN YANG DIPERINTAHKAN ALLAH, DENGAN TIDAK MEMUTAR-BALIKKAN FAKTA/AYAT BUAT MENYOKONG SEGALA KEMAUAN PENGUASA.

Wallohualam.