Cari Blog Ini

Jumat, 20 Januari 2012

Antara jihad, ibadah dan menuntut ilmu

Mukadimah
Beberapa saat yang lalu ada segelintir orang yang menyatakan bahwa berjihad dengan mengangkat senjata dalam rangka menentang penjajahan yang dipelopori kaum kafir seperti yang terjadi di Irak, Palestina, Checnya dan negara-negara lainnya adalah Khawarij, teroris, matinya konyol, ruwaibidhah, dungu, anak ingusan dan berbagai label negatif lainnya.
Ironisnya, kata-kata itu justru keluar dari kalangan yang menisbatkan dirinya kepada ‘Ahli Sunnah’. Salah seorang dari kalangan tersebut dengan terang-terangan menyatakan bahwa Ibnu Ladin lebih berbahaya dari pada Binyamin Netanyaho seorang tokoh Yahudi. Hal ini diucapkan ketika Netanyaho menjadi PM Israil.
Untuk mendudukan masalah tersebut alangkah bijaknya jika kita merenungkan pernyataan sahabat Rasulullah saw yang bernama Umar bin Khattab.
Sebelum lebih jauh membahas pernyataannya radhiallahu  ’anhu, tidak ada salahnya kita sejenak membahas sebagian permasalahan yang terkait dengan sahabat.
Di antara pondasi Ahli Sunah Wal Jama’ah adalah komitmen dengan apa yang telah ditempuh para sahabat dan menjadikan mereka panutan setelah Rasulullah saw. Mereka adalah manusia terbaik setelah nabinya. Sehingga wajar jika Rasul saw bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah masa-ku, kemudian generasi yang datang sesudahnya, kemudian generasi yang datang sesudahnya… (HR. Bukhari).
Juga wajar jika Allah telah ridha kepada mereka, sebagaimana dalam firman-Nya: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (At Taubah: 100).
Belum lagi jika kita mengkaji pernyataan para ulama baik dari kalangan sahabat maupun generasi-generasi berikutnya. Maka kita akan mendapatkan betapa agungnya ungkapan mereka dalam memuji sahabat. Ibnu Mas’ud berkata: “Barang siapa yang ingin mengambil contoh maka ambillah  dari orang yang sudah meninggal. Karena orang yang masih hidup belum tentu aman dari fitnah. Mereka (yang harus dicontoh) adalah para sahabat Rasulullah saw…”.(atsar ini dinukil dari Minhajus Sunnah, 2/77).
Imran bin Hussein berkata: “Ambilah agama kalian dari kami (para sahabat). Demi Allah, jika kalian tidak melakukannya pasti akan tersesat.”
Dengan demikian, kalangan Ahli Sunnah sangat memuliakan sahabat. Hal ini berbeda dengan kalangan Ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu. Mereka jauh dari sahabat, mencela dan bahkan menghujat sahabat. Sikap mereka hanya semakin menjauhkan diri mereka dari kebenaran dan mengakibatkan mereka semakin tersesat. Sungguh benar apa yang dinyatakan Imran bin Hussein!.
Imam Syafi’i berkata: “Mereka (para sahabat) berada di atas kita baik dari segi ilmu, fikih, agama maupun hidayah. Pendapat mereka untuk kita jauh lebih baik dari pada pendapat kita untuk diri kita sendiri.” (I’lamul Muwaqqi’in, 1/80).
Dalam mengomentari pernyataan Imam Syafi’i, Ibnul Qayyim berkata: “Salah seorang dari mereka mengemukakan pendapat kemudian turun Al Qur’an dalam rangka menyetujui pendapatnya. …Bagaimana tidak, pendapat mereka bersumber dari hati yang penuh dengan cahaya, iman, hikmah, ilmu, wawasan, dan pemahaman tentang Allah, Rasul serta nasihat bagi umat. Hati mereka selalu dekat dengan hati Nabi, di antara keduanya tidak ada perantara. Mereka mengambil ilmu dan iman dari lentera kenabian…”. (untuk lebih lengkapnya silahkan lihat I’lamul Muwaqqi’in, 1/81,82).
Para sahabat telah meninggalkan ‘kekayaan’ yang sangat berharga bagi generasi sesudahnya baik berupa perkataan maupun sikap dalam masalah akidah, fikih, akhlaq dan dakwah.
Umar bin Khattab
Beliau berkata: “Jika bukan karena tiga hal, aku ingin segera bertemu dengan Allah: Jika bukan karena berjalan di jalan Allah (jihad), atau bukan karena aku meletakan jidatku di atas tanah sambil bersujud (shalat), atau duduk bersama sekelompok orang yang sedang memetik perkataan yang baik sebagaimana dipetiknya buah yang baik (menuntut ilmu).” (Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf , 13/272).
Dalam mengomentari pernyataan Umar radhiallahu ‘anhu, Ibnu Taimiyah berkata: “Pernyataan Umar merupakan pernyataan yang sangat sempurna dan integral. Beliau merupakan sosok yang mendapat ilham. Setiap kalimat dari pernyataannya mengumpulkan banyak ilmu seperti tiga hal yang disebutkan tadi. Beliau menyebut jihad, shalat dan ilmu. Sudah merupakan kesepakatan ulama bahwa ketiga hal tersebut merupakan amalan yang paling utama.  Ahmad bin Hambal berkata: “Sebaik-baik amalan yang dipersembahkan seorang hamba adalah jihad”. Imam Syafi’i berkata: “Sebaik-baik amalan yang dipersembahkan seorang hamba adalah shalat”. Sementara Abu Hanifah dan Malik berpendapat: “ilmu”.
Setelah diteliti bahwa setiap dari ketiga hal tersebut saling berkaitan dengan yang lainnya. Dalam satu kondisi bisa jadi yang ini lebih utama dan dalam kondisi lain yang ini justru lebih utama. Sebagaimana Nabi saw dan para khalifahnya melakukan yang ini (jihad), kadang mereka melakukan ini (shalat) dan kadang yang ini (ilmu). Keutamaan amalan itu tergantung pada tempat, kondisi dan maslahatnya. Sementara Umar telah mengumpulkan itu semuannya.” (Minhajus Sunnah, 6/75).
Dengan demikian, di tempat tertentu dan dalam kondisi tertentu jihad bisa menjadi lebih utama. Kalangan yang negrinya terjajah oleh kaum kuffar, mereka tidak mempunyai kesempatan untuk menuntut ilmu karena kondisinya serba terancam. Maka bagi mereka jihad defensif adalah lebih utama dari yang lainnya. Hal ini seperti yang terjadi di Iraq, Palestina, Checnya dan negara lainnya yang terjajah.
Kemudian apakah mereka yang berjihad di sana mengharuskan meminta fatwa kepada ulama yang ada di luar negaranya? Permasalahan ini pernah di jawab oleh Prof. DR. Muhamad bin Abdullah bin Ali Al Wuhaibi (Mantan Ketua Jurusan Tsaqofah Islam Universitas Malik Su’ud). Beliau mengatakan, “Bukan suatu keharusan meminta fatwa kepada ulama luar. Karena yang lebih paham dengan kondisi yang ada di negaranya adalah mereka, penduduk negeri tersebut.” Dan masih banyak ulama lain yang mendukung perjuangan mujahidin baik ulama yang ada di Saudi, Sudan, Palestina, Mesir, Yordan, Indonesia dan ulama berbagai negri lainnya.
Maka wajar jika dalam suatu kesempatan, ketika Rasulullah ditanya amalan apakah yang paling utama? Maka beliau pun menjawab: “Jihad”. Dalam kesempatan lain beliau menjawab: “Shalat tepat waktu.” Begitu pula dengan sikap Ibnu ‘Uyainah yang lebih memilih mengajarkan Al Qur’an dari pada berjihad mengangkat pedang. [*]
Ketika seseorang bertanya kepada rasulullah saw, “Tunjukanlah kepadaku amal yang setara dengan jihad? Beliau menjawab: “Aku tidak menemukan”. Kemudian beliau bersabda: “Apakah kamu sanggup, jika seorang mujahid pergi (ke medan perang), bahwa kamu masuk ke masjidmu lalu kamu mengerjakan shalat malam tanpa henti dan berpuasa tanpa berbuka? Orang tersebut menjawab, “Siapakah yang sanggup melakukan hal itu? (HR. Nasa’i dan semakna dengan hadits ini adalah yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim).
Namun dalam kondisi tertentu dan di tempat tertentu menuntut ilmu dan mengajarkannya adalah lebih utama, sebagaimana pernyataan Ibnu ‘Uyainah. Hal ini pun pernah diutarakan oleh DR. Muhamad Al Wuhabi, “Bisa jadi di negara tertentu justru menuntut ilmu dan mengajarkannya adalah lebih utama. Maka tidak semua orang alim harus pergi berjihad sementara di negaranya banyak kebodohan, kesesatan, kemusrikan dan ia pun sangat dibutuhkan di negaranya”.
Bagi kalangan yang belum diberi kesempatan untuk berjihad, maka tidak ada salahnya jika merenungkan pernyataan Sekjen Asosiasi Fuqaha Amerika Prof. DR. Salah Shawi. Beliau menjelaskan beberapa tahapan yang harus dilakukan, di antaranya:
Pertama: Mempersiapkan keyakinan dan keimanan secara benar (salah satunya dengan menuntut ilmu). Ini artinya pentingnya mendidik mereka menjadi sosok yang paham Islam. Menghidupkan ilmu syar’i secara benar dan memperbaharui syi’ar dan syariat Islam. Karena pada saat ini umat mewarisi pemahaman yang keliru seputar ajaran Islam. Kebodohan seperti inilah yang mengakibatkan kita mengenyam kesengsaraan dan penderitaan.
Kedua: Persiapan dalam menyatukan suara dan barisan (dengan berdakwah).  Sebagaimana firman Allah:” Janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu”. QS. Al Anfal: 8              
Bukan rahasia lagi apa yang diderita umat saat ini, yang mana kalangan pergerakan Islam masa kini berselisih, berpecah dan gontok-gontokan. Cukuplah kita mengambil pengalaman dan pelajaran yang pahit dan pedih dalam peperangan Afganistan.
Ketiga: Persiapan kekuatan (I’dad Quwwah).
Dalam permasalahan ini, anda bisa memahami bagaimana jerih payah para dai, murobbi dan muslih. Ini sebenarnya merupakan salah satu mata rantai dalam rangka menghidupkan umat dan bagian dari pada persiapan dalam rangka menegakan jihad. Jika ada yang belum mengetahui makna ini maka bisa jadi dikarenakan kelalaiannya atau salahnya pemahaman.” (Kumpulan Fatwa Shalah Shawi).
Benarlah komentar Ibnu Taimiyah, “Keutamaan amalan itu tergantung pada tempat, kondisi dan maslahatnya. Sementara Umar telah mengumpulkan semuannya.” (Minhajus Sunnah, 6/75).
Dengan demikian, sudah selayaknya masing-masing kelompok untuk menahan diri dan mengenal tugasnya masing-masing. Yang diberi peluang untuk berjihad tidak melabel para penuntut ilmu dan ulamanya dengan qooiduun (orang yang duduk-duduk saja). Begitu pula sebaliknya para penuntut ilmu tidak memberikan label kepada para mujahid dengan khawarij, teroris, mati konyol dan berbagai label negatif lainnya.
Ketika Ibnu Mubarak mendengarkan seseorang melakukan ghibah terhadap saudaranya, beliau bertanya: “Pernahkah kamu memerangi orang-orang Romawi? Dia menjawab:”Tidak.” Pernahkah kamu memerangi orang-orang Persia? Dia menjawab: “Tidak”. Beliau berkata: “Telah selamat dari ucapanmu orang-orang Romawi dan Persia. Sementara saudaramu tidak selamat dari lisanmu.”
Adakah mujahid Ahli Sunnah saat ini?
Permasalahan ini pernah diajukan kepada Prof. DR. Muhamad Al Wuhaibi. Setelah menyebutkan Izuddin Al Qassam, Umar Mukhtar dan yang lainnya (penulis lupa namanya) ke dalam deretan mujahid Ahli Sunnah. Beliau menjelaskan, “Kita melihat Mayoritas Mujahid Ahli Sunnah saat ini ada di Iraq, Palestina, Checnya dan negara lainnya.”
Wallahu a’lam
Abu Mazin, Lc.
[*] Untuk lebih rinci dalam permasalahan macam-macam jihad bisa dilihat dalam Kitab Zaadul Ma’ad karya Ibnul Qayyim ketika membahas ayat: “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” (QS. Al  Hajj: 78). Dan masalah ini juga disinggung dalam kitab Miftah Daaris Sa’adah, Ibnul Qayyim.
Source: Elhakimi[.]wordpress[.]com

17 alasan ulama Islam mengkafirkan kaum Syi’ah


SEJUMLAH tujuh belas doktrin Syi’ah yang selalu mereka sembunyikan dari kaum muslimin sebagai bagian dari pengamalan doktrin taqiyah (menyembunyikan Syi’ahnya). Ketujuh belas doktrin ini terdapat dalam kitab suci Syi’ah:
  1. Dunia dengan seluruh isinya adalah milik para imam Syi’ah. Mereka akan memberikan dunia ini kepada siapa yang dikehendaki dan mencabutnya dari siapa yang dikehendaki (Ushulul Kaafi, hal.259, Al-Kulaini, cet. India).
    Jelas Doktrin semacam ini bertentangan dengan firman Allah SWT QS: Al-A’raf 7: 128, “Sesungguhnya bumi adalah milik Allah, Dia dikaruniakan kepada siapa yang Dia kehendaki”. Kepercayaan Syi’ah diatas menunjukkan penyetaraan kekuasaan para imam Syi’ah dengan Allah dan doktrin ini merupakan aqidah syirik.
  2. Ali bin Abi Thalib yang diklaim sebagai imam Syi’ah yang pertama dinyatakan sebagai dzat yang pertama dan terakhir, yang dhahir dan yang bathin sebagaimana termaktub dalam surat Al-Hadid, 57: 3 (Rijalul Kashi hal. 138).
    Doktrin semacam ini jelas merupakan kekafiran Syi’ah yang berdusta atas nama Khalifah Ali bin Abi Thalib. Dengan doktrin semacam ini Syi’ah menempatkan Ali sebagai Tuhan. Dan hal ini sudah pasti merupakan tipu daya Syi’ah terhadap kaum muslimin dan kesucian aqidahnya.
  3. Para imam Syi’ah merupakan wajah Allah, mata Allah dan tangan-tangan Allah yang membawa rahmat bagi para hamba Allah (Ushulul Kaafi, hal. 83).
  4. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib oleh Syi’ah dikatakan menjadi wakil Allah dalam menentukan surga dan neraka, memperoleh sesuatu yang tidak diperoleh oleh manusia sebelumnya, mengetahui yang baik dan yang buruk, mengetahui segala sesuatu secara rinci yang pernah terjadi dahulu maupun yang ghaib (Ushulul Kaafi, hal. 84).
  5. Keinginan para imam Syi’ah adalah keinginan Allah juga (Ushulul Kaafi, hal. 278).
  6. Para imam Syi’ah mengetahui kapan datang ajalnya dan mereka sendiri yang menentukan saat kematiannya karena bila imam tidak mengetahui hal-hal semacam itu maka ia tidak berhak menjadi imam (Ushulul Kaafi, hal. 158).
  7. Para imam Syi’ah mengetahui apapun yang tersembunyi dan dapat mengetahui dan menjawab apa saja bila kita bertanya kepada mereka karena mereka mengetahui hal ghaib sebagaimana yang Allah ketahui (Ushulul Kaafi, hal. 193).
  8. Allah itu bersifat bada’ yaitu baru mengetahui sesuatu bila sudah terjadi. Akan tetapi para imam Syi’ah telah mengetahui lebih dahulu hal yang belum terjadi (Ushulul Kaafi, hal. 40).
    Menurut Al-Kulaini (ulama besar ahli hadits Syi’ah), Bahwa Allah tidak mengetahui bahwa Husein bin Ali akan mati terbunuh. Menurut mereka Tuhan pada mulanya tidak tahu karena itu Tuhan membuat ketetapan baru sesuai dengan kondisi yang ada. Akan tetapi imam Syi’ah telah mengetahui apa yang akan terjadi. Oleh sebab itu menurut doktrin Syi’ah Allah bersifat bada’ (Ushulul Kaafi, hal. 232).
  9. Para imam Syi’ah merupakan gudang ilmu Allah dan juga penerjemah ilmu Allah. Para imam Syi’ah bersifat Ma’sum (Bersih dari kesalahan dan tidak pernah lupa apalagi berbuat Dosa). Allah menyuruh manusia untuk mentaati imam Syi’ah, tidak boleh mengingkarinya dan mereka menjadi hujjah (Argumentasi Kebenaran) Allah atas langit dan bumi (Ushulul Kaafi, hal. 165).
  10. Para imam Syi’ah sama dengan Rasulullah Saw (Ibid).
  11. Yang dimaksud para imam Syi’ah adalah Ali bin Abi Thalib, Husein bin Ali, Ali bin Husein, Hassan bin Ali dan Muhammad bin Ali (Ushulul Kaafi, hal. 109)
  12. Al-Qur’an yang ada sekarang telah berubah, dikurangi dan ditambah (Ushulul Kaafi, hal. 670). Salah satu contoh ayat Al-Qur’an yang dikurangi dari aslinya yaitu ayat Al-Qur’an An-Nisa’: 47, menurut versi Syi’ah berbunyi: “Ya ayyuhalladziina uutul kitaaba aaminuu bimaa nazzalnaa fie ‘Aliyyin nuuran mubiinan”. (Fashlul Khitab, hal. 180).
  13. Menurut Syi’ah, Al-Qur’an yang dibawa Jibril kepada Nabi Muhammad ada 17 ribu ayat, namun yang tersisa sekarang hanya 6660 ayat (Ushulul Kaafi, hal. 671).
  14. Menyatakan bahwa Abu Bakar, Umar, Utsman bin Affan, Muawiyah, Aisyah, Hafshah, Hindun, dan Ummul Hakam adalah makhluk yang paling jelek di muka bumi, mereka ini adalah musuh-musuh Allah. Siapa yang tidak memusuhi mereka, maka tidaklah sempurna imannya kepada Allah, Rasul-Nya dan imam-imam Syi’ah (Haqqul Yaqin, hal. 519 oleh Muhammad Baqir Al-Majlisi).
  15. Menghalalkan nikah Mut’ah, bahkan menurut doktrin Syi’ah orang yang melakukan kawin mut’ah 4 kali derajatnya lebih tinggi dari Nabi Muhammad Saw. (Tafsir Minhajush Shadiqin, hal. 356, oleh Mullah Fathullah Kassani).
  16. Menghalalkan saling tukar-menukar budak perempuan untuk disetubuhi kepada sesama temannya. Kata mereka, imam Ja’far berkata kepada temannya: “Wahai Muhammad, kumpulilah budakku ini sesuka hatimu. Jika engkau sudah tidak suka kembalikan lagi kepadaku.” (Al-Istibshar III, hal. 136, oleh Abu Ja’far Muhammad Hasan At-Thusi).
  17. Rasulullah dan para sahabat akan dibangkitkan sebelum hari kiamat. Imam Mahdi sebelum hari kiamat akan datang dan dia membongkar kuburan Abu Bakar dan Umar yang ada didekat kuburan Rasulullah. Setelah dihidupkan maka kedua orang ini akan disalib (Haqqul Yaqin, hal. 360, oleh Mullah Muhammad Baqir al-Majlisi).
Ketujuhbelas doktrin Syi’ah di atas, apakah bisa dianggap sebagai aqidah Islam sebagaimana dibawa oleh Rasulullah Saw. dan dipegang teguh oleh para Sahabat serta kaum Muslimin yang hidup sejak zaman Tabi’in hingga sekarang? Adakah orang masih percaya bahwa Syi’ah itu bagian dari umat Islam? Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad, barangsiapa yang tidak MENGKAFIRKAN aqidah Syi’ah ini, maka dia termasuk Kafir.
Semua kitab tersebut diatas adalah kitab-kitab induk atau rujukan pokok kaum Syi’ah yang posisinya seperti halnya kitab-kitab hadits Imam Bukhari, Muslim, Ahmad bin Hambal, Nasa’i, Tirmidzi, Abu Daud, dan Ibnu Majah bagi kaum Muslimin. Oleh karena itu, upaya-upaya Syi’ah untuk menanamkan kesan bahwa Syi’ah adalah bagian dari kaum Muslimin, hanya berbeda dalam beberapa hal yang tidak prinsip, adalah dusta dan harus ditolak tegas !!!.
Sumber: Risalah Mujahidin, edisi 9, th 1 Jumadil Ula 1428 / Juni 2007


Bacaan Zikir Setelah Shalat


Seseorang dituntut agar melaksanakan salat seperti salatnya Nabi sesuai dengan sabdanya, “Sholluu Kamaa Roatumuuni Usholli” (salatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sedang salat). Karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan zikir jika telah selesai salat, maka kita juga mengerjakannya, meskipun tidak mampu selengkap beliau.
Zikir-zikir yang di baca Nabi saw setiap selesai salat banyak sekali, baik yang diriwayatkan dengan sanad yang dhaif/lemah ataupun yang diriwayatkan dengan sanad yang shahih (kuat). Adapun zikir-zikir yang diriwayatkan dengan sanad yang shahih itu di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Membaca ‘Istighfar’ (Astaghfirullah/Aku mohon ampunan kepada Allah 3 kali dan membaca, ‘Allahumma antas salaam waminkas salaam tabaarokta yaa dzal jalaali wal ikroomi’ (Ya Allah Engkaulah Dzat Yang Selamat dari kekurangan dan cacat dan dari Engkaulah keselamatan itu, Maha Suci Engkau wahai Dzat Yang Maha Kaya dan Maha Sempurna).
Hal itu sesuai dengan hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Tsauban ra, dia berkata,”Rasulullah saw apabila selesai salat membaca Istighfar 3 kali dan membaca, ‘Allahumma antas salaam waminkas salaam tabaarokta yaa dzal jalaali wal ikroomi’.” (Ya Allah, Engkaulah Dzat Yang Selamat dari kekurangan dan cacat dan dari Engkaulah keselamatan itu, Maha Suci Engkau wahai Dzat Yang Maha Kaya dan Maha Sempurna).
2. Membaca zikir ini: “Laa ilaha illallahu wahdahu laa syariikalahu lahul mulku walahul hamdu wahuwa ‘ala kulli syain qodiir” (Tiada Tuhan selain Allah, Maha Esa Allah, Tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya semua kerajaan dan bagi-Nya segala puji dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu) dan membaca,”Allahumma laa maani’a limaa ‘a’thaita walaa mu’thia limaa mana’ta walaa yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu.”
Hal itu sesuai dengan hadis dari al-Mughirah bin Syu’bah ra, bahwasanya Nabi saw membaca zikir setiap selesai salat fardhu,”Laa ilaha illallahu wahdahu laa syariikalahu lahul mulku walahul hamdu wahuwa ala kulli sya’in qodiir” (Tiada Tuhan selain Allah, Maha Esa Allah, Tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya semua kerajaan dan bagi-Nya segala puji dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu) “Allahumma laa maani’a limaa ‘a’thaita walaa mu’thia limaa mana’ta walaa yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu’ (Ya Allah tiada orang yang menghalangi terhadap apa yang telah Engkau berikan dan tiada orang yang memberi terhadap apa yang telah Engkau halangi dan kekayaan orang yang kaya itu tidak akan bisa menyelamatkan dia dari siksa-Mu)” (HR al-Bukhari dan Muslim).
3. Membaca Tasbih 33 kali, Tahmid 33 kali dan Takbir 33 kali, lalu pada hitungan keseratus membaca,”Laa ilaha illallohu wahdahu laa syariikalahu lahul mulku walahul hamdu wahuwa ‘ala kulli syain qadiir.”
Hal itu sesuai dengan hadis dari Abu Hurairah ra, dari Rasulullah saw bersabda,”Barangsiapa membaca tasbih (Subhaanallahi) 33 kali, tahmid (Alhamdulillahi) 33 kali dan takbir (Allahu Akbar 33 kali) setiap selesai salat, hitungan tersebut berjumlah 99, dan dia membaca pada hitugan keseratus ‘Laa ilaha illallahu wahdahu laa syariikalahu lahul mulku walahul hamdu wahuwa ala kulli sya’in qodiir’ (Tiada Tuhan selain Allah, Maha Esa Allah, Tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya semua kerajaan dan bagi-Nya segala puji dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu), maka diampunilah segala dosa-dosanya, sekalipun sebanyak buih air laut.” (HR Muslim, dan pada riwayat yang lain, takbir tersebut sebanyak 34 kali)
4. Membaca zikir/do’a seperti yang diriwayatkan Sa’d bin Abi Waqqash untuk memohon perlindungan kepada Allah SWT dari kekikiran, sifat penakut, umur yang hina/pikun, fitnah dunia dan fitnah kubur.
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra, bahwa Rasulullah saw memohon perlindungan kepada Allah setiap kali selesai salat dengan bacaan “Allahumma inni a’udzu bika minal bukhli (Ya Allah sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kekikiran) wa a’udzu bika minal jubni (dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari sifat penakut) wa a’udzu bika min an urodda ilaa ardzalil umri (dan aku memohon perlindungan kepada-Mu agar tidak dikembalikan kepada umur yang hina/pikun) wa a’udzu bika min fitnatid dunya (dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari fitnah yang ada di dunia ini) wa a’udzu bika min adzaabil qobri (dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari siksa kubur).” (HR al-Bukhari).
5. Membaca zikir/doa,”Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatika’. Hal ini sesuai dengan hadis Muadz bin Jabal, bahwa Rasulullah saw berkata kepadanya,”Aku berwasiat kepadamu wahai Muadz, janganlah Engkau benar-benar meninggalkan setiap kali selesai salat membaca, ‘Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatika’ (Ya Allah anugerahkanlah pertolongan kepadaku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu dan beribadah yang baik kepada-Mu).” (HR Ahmad, Abu Daud dan an-Nasa’i dengan sanad yang kuat).
6. Membaca ayat Kursi, yaitu surah Al-Baqarah ayat 255,”Allahu laa Ilaaha Illa huwal hayyul qoyyuum, laa ta’khudzuhu sinatuw walaa nauum, lahuu maa fis samaawaati wamaa fil ardhi, mandzal ladzii yasyfa’u ‘indahuu illa bi idznihi, ya’lamu maa baiina aidiihim wamaa kholfahum, walaa yuhiithuuna bisyain min ‘ilmihi illa bimaa syaa’a, wasi’a kursiyyuhus samaawati wal ardho wa laa yauduhu hifdzuhumaa wahuwal ‘aliyyul ‘adziim’.
(Allah, tidak ada Tuhan [yang berhak disembah] melainkan Dia, Yang Hidup Kekal lagi terus menerus mengurus [makhluk-Nya], tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar).
Hal itu sesuai dengan hadis dari Umamah ra, Rasulullah saw bersabda,”Barangsiapa membaca ayat Kursi setiap kali selesai salat, maka tidak akan menghalangi dia masuk surga kecuali dia tidak mati (maksudnya, dia pasti masuk surga).” (HR an-Nasa’i dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban, at-Thabarani menambahkannya ‘qulhuwallahu ahad’ (yakni dan membaca surah Al-Ikhlash) ).
Sumber: Subulus Salaam, Muhammad bin Isma’il ash-Shalam

Kaidah-Kaidah Memahami Sunnah


Seorang muslim diperintahkan oleh Allah untuk mengikuti Rasulullah saw. dan meneladani beliau. Allah SWT berfirman (yang artinya), “…. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah ….” (Al-Hasyr: 7). Juga, firman-Nya, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzaab: 21).
Sebelum mengamalkan hadits-hadits Rasulullah, seorang muslim harus memahami beberapa hal penting, yang merupakan kaidah, agar pemahamannya benar dan pengamalannya mendapatkan petunjuk (terarah).
Setiap hadits yang diutarakan oleh Rasulullah saw. itu ada maksudnya. Orang yang serampangan mengamalkan hadits tanpa memahami maksudnya akan terjebak pada kesalahan dalam pengamalan ibadahnya. Contoh berikut mungkin dapat menerangkan jelasnya pernyataan ini. Yaitu, kasus yang dialami oleh ‘Adi bin Hatim r.a. ketika turun firman Allah SWT, “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar ….” (Al-Baqarah: 187). Dia (‘Adi bin Hatim r.a.) mengambil dua helai benang: yang satu berwarna putih, dan yang satu lagi berwarna hitam. Kemudian, diletakkannya di bawah bantalnya. Setelah itu, dia mulai melihat (mengamati) kedua benang itu dan tidak tampak sesuatu. Ketika dia memberitahukan hal itu kepada Rasulullah saw., maka Rasulullah saw. bersabda, “Yang dimaksud dengan dua benang tersebut adalah gelapnya malam dan cerahnya waktu siang.” (HR Bukhari dan Muslim). Dari sini terlihat dengan jelas, betapa seseorang yang belum mendapatkan pemahaman dengan benar itu pasti melangkah dengan tidak benar pula. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui bagaimana cara memahami sunnah dengan benar.
 
  1. Memahami Sunnah dengan Tuntunan Al-Qur’an As-Sunnah adalah sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an dalam syariat Islam. As-Sunnah menerangkan dan merinci apa yang ada dalam Al-Qur’an. Tidak ada pertentangan antara As-Sunnah dengan Al-Qur’an. Jika terdapat pertentangan, hal itu mungkin terjadi karena haditsnya tidak shahih atau kita sendiri yang tidak bisa memahaminya. Karena, Allah SWT telah menegaskan, “Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisaa’: 82).
    Contoh yang paling jelas bahwa sunnah yang shahih tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, justru yang bertentangan dengan Al-Qur’an adalah hadits-hadits dha’if (lemah) dan maudhu (palsu), yaitu kisah gharaniq (sembahan atau tuhan-tuhan) kaum musyrikin). Diriwayatkan bahwa setelah membaca firman Allah SWT, “Maka apakah patut (hai orang-orang musyrik) menganggap Al-Lata dan Al-’Uzza dan Manat yang ketiga.” (An-Najm: 19-20). Maka, Rasulullah saw. bersabda, “Mereka itu adalah gharaniq yang tinggi dan sungguh syafaatnya (pertolongannya) sangat diharapkan.” Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka sifatkan dengan ketinggian-Nya yang agung. Kisah yang bathil ini mustahil akan benar karena bertentangan dengan ayat itu sendiri (yang disebutkan). Apakah patut Rasulullah saw. memuji tuhan-tuhan orang-orang musyrik? Maka dari itu, hadits ini jelas bathil, sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah rhm. melalui ucapannya, “Ini (termasuk hadits) yang dipalsukan oleh orang-orang zindiq.” (Nashbul Majaaniiq, hlm. 25).
     
  2. Mengumpulkan Hadits-Hadits yang Satu Tema dan Pembahasan pada Satu Tempat Merupakan suatu keharusan untuk memahami sunnah dengan pemahaman yang benar, yaitu mengumpulkan hadits-hadits shahih yang satu pembahasan supaya hadits yang mutasyabih (yang memiliki banyak penafsiran) bisa dikembalikan ke yang muhkam (maknanya jelas), yang muthlaq (tidakterikat) di bawa ke yang muqayyad (terikat), dan yang ‘amm (maknanya umum) ditafsirkan oleh yang khashsh (maknanya khusus). Dengan cara ini, akan jelas maksud hadits tersebut, maka jangan mempertentangkan antara hadits yang satu dengan yang lainnya.
    Imam Ahmad berkata, “Suatu hadits, kalau tidak engkau kumpulkan jalan-jalannya (sanad-sanadnya), engkau tidak akan paham karena sebagian hadits menafsirkan sebagian yang lainnya.” (Al-Jaami’ (I/270).
    Apabila sanad-sanad suatu hadits yang satu pembahasan tidak dikumpulkan pada suatu tempat, maka itu bisa menyebabkan terjadinya kesalahan dalam memahami hadits tersebut. Padahal, orang itu berdalil dengan hadits shahih, akan tetapi dia tidak mengumpulkan hadits yang semisal dengannya sehingga menyebabkan pemahamannya terhadap hadits tersebut tidak sempurna. Bahkan, pemahaman dan gambarannya menyimpang tentang masalah yang dia bahas itu. Contoh untuk kasus ini adalah sebagai berikut.
    Hadits Abu Umamah ketika melihat alat pertanian, beliau berkata, “Aku mendengar Nabi saw. bersabda, ‘Tidaklah (alat) ini masuk ke rumah suatu kaum, kecuali Allah akan memasukkan padanya kehinaan’.” (HR Bukhari). Zhahir (lahiriah) hadits ini memberikan faedah tentang bencinya Rasulullah saw. terhadap pertanian. Namun, kalau seseorang mengumpulkan hadits-hadits yang lain tentang pertanian, maka dia akan mendapatkan bahwa Rasulullah saw. justru menganjurkan untuk bertani dan menerangkan tentang bolehnya bertani, sebagaimana sabda beliau sebagai berikut.
    “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman atau menabur benih, lalu burung memakan dari tanaman itu, atau binatang ternak, melainkan yang demikian itu sebagai sedekah (bagi yang menanam).” (HR Bukhari dan Muslim).
    “Jika kiamat telah mendatangi salah seorang di antara kalian dan di tangannya (masih) ada bibit kurma, maka hendaklah dia menanamnya.” (HR Ahmad).
    Dari tiga hadits yang telah disebutkan ini ada satu hadits yang seolah-olah bertentangan, yaitu hadits yang disebutkan pertama. Lalu, bagaimanakah cara para ulama menyatukan antara hadits-hadits yang tampaknya bertentangan ini? Bagaimana pula pemahaman yang benar setelah menyatukan hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah ini (bertani)?
    Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitabnya, Fathul Baari (V/5), menjelaskan bahwa cara menyatukan hadits-hadits ini adalah dengan salah satu dari dua cara sebagai berikut: (1) dibawa ke makna akibat buruk dari pertanian karena melalaikan kewajiban, atau (2) bertani dengan tidak melalaikan kewajiban tetapi melampaui batas dalam melakukannya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Bukhari di dalam memahami hadits-hadits tersebut dengan menulis judul bab sebagai berikut: “Hal-Hal yang Diperingatkan dari Akibat-Akibat Jelek karena Sibuk dengan Alat Pertanian atau Melampaui Batas dari yang Diperintahkan”.
    Ada hadits yang mendukung pemahaman bahwa maksud larangan tersebut ditujukan apabila seseorang disibukkan dengan bertani dari kewajiban-kewajiban, seperti jihad di jalan Allah, apalagi bagi yang dekat tempatnya dengan musuh-musuh Allah. Hadits tersebut adalah hadits marfu’ dari Ibnu ‘Umar r.a., “Jika kalian berjual-beli dengan (cara) ‘inah (salah satu bentuk riba), kalian dilalaikan oleh ternak kalian, dan kalian suka (disibukkan) dengan bertani sehingga kalian meninggalkan (kewajiban) jihad, niscaya Allah akan menimpakan atas kalian kehinaan yang Dia tidak akan mencabutnya sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (Hadits Shahih Riwayat Ahmad dan Abu Dawud).
     
  3. Menyatukan Hadits-Hadits yang Tampak Bertentangan Pada dasarnya tidak ada pertentangan antara nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih. Seandainya terjadi suatu pertentangan, maka itu anggapan kita semata, bukan hakikat dari nash-nash tersebut. Inilah keyakinan seorang mukmin pada hadits-hadits yang dapat dipercaya (hadits-hadits yang shahih atau hasan). Firman Allah berikut harus selalu menjadi pedoman. “Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisaa’: 82).
    Contoh hadits-hadits yang tampaknya bertentangan adalah hadits-hadits yang melarang seseorang menghadap ke kiblat ketika buang air besar atau kecil, sementara ada hadits-hadits lain yang membolehkan hal tersebut. Cara jama’ yang dipakai para ulama untuk menyatukan hadits-hadits yang tampak bertentangan tersebut adalah dengan menyatakan bahwa hadits-hadits larangan dimaksudkan bila dilakukan di tempat terbuka, sedangkan hadits-hadits yang membolehkan dimaksudkan bila dilakukan di dalam suatu tempat yang ada pembatasnya (seperti seseorang melakukannya di WC). (Ta-wiil Mukhtalafil Hadiits [hlm. 90] dan Nailul Authaar [I/98]).
    Adapun kitab yang paling bermanfaat (dan bagus) yang bisa dijadikan rujukan untuk mendapatkan mukhtalaful hadits (hadits yang tampaknya bertentangan dengan hadits yang lain tetapi memungkinkan untuk dijamak/disatukan) adalah Musykilul Aatsaar karya Ath-Thahawi dan Ta’wiil Mukhtalaf al-Hadiits karya Ibnu Qutaibah.
     
  4. Mengetahui Nasikh dan Mansukh Suatu Hadits (Nasikh=Hadits yang Menghapus Hadits yang Lain; Mansukh=Hadits yang Dihapus)
    Nasakh (hukum yang lama diganti hukum yang baru) dalam hadits memang terjadi. Seorang muslim yang mengamalkan suatu hadits tanpa mengetahui kalau hadits itu mansukh, berarti dia telah terjatuh ke dalam ilmu yang tidak diperintahkan syara’ untuk mengamalkannya. Sebab, kita tidak diperintahkan untuk mengamalkan hadits-hadits yang mansukh. Sementara nasakh adalah suatu ‘illat (penyebab) dilarangnya beramal dengan satu hadits (yang mansukh, ed.).
    Al-Hafizh as-Suyuthi rhm. berkata (yang artinya), “Nasakh telah dimasukkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam kategori al-’ilal (cacat hadits). Namun, beliau hanya mengkhususkannya dalam masalah pengalamannya saja (bukan status haditsnya).” (Al-Alfiyah, hlm. 22).
    Seseorang tidak boleh tergesa-gesa dalam masalah ini sehingga mengatakan hadits ini mansukh, kecuali setelah mengetahui dalil-dalil dan qara-in (tanda-tanda) yang menunjukkan adanya nasakh.
    Adapun kitab-kitab yang bisa membantu untuk mengetahui yang mansukh dari hadits-hadits adalah sebagai berikut.
    • Ittihaaf Dzawiir Rusuukh karya Al-Ju’buri.
    • An-Naasikh wal-Mansuukh karya Ibnul Jauzi.
    • Al-I’tibaar fin Naasikh wal-Mansuukh minal Akbaar karya Al-Hazimi.
     
  5. Mengetahui Asbabul Wuruud Hadits (Asbabul Wuruud=Sebab-Sebab Disabdakannya Suatu Hadits)
    Mengetahui sebab-sebab disabdakannya suatu hadits sangat membantu dalam memahami maksud hadits Rasulullah. Termasuk cara yang baik dalam memahami sunnah Nabi adalah meneliti (melihat) sebab-sebab tertentu disabdakannya suatu hadits, atau kaitannya dengan ‘illat (alasan atau sebab) tertentu yang ditegaskan langsung dari nash (teks) hadits itu, atau dari istinbath/kesimpulan (maknanya), atau yang dipahami (langsung) dari kondisi ketika hadits tersebut diucapkan (oleh Rasulullah saw.).
    Untuk memahami suatu hadits dengan pemahaman yang benar dan mendalam, tidak boleh tidak, kita harus mengetahui situasi dan kondisi yang menyebabkan hadits itu diucapkan oleh Nabi. Biasanya, hadits datang sebagai penjelas terhadap kejadian-kejadian tertentu dan sebagai terapi terhadap situasi dan kondisi kejadian tersebut. Dengan begitu, maksud dari hadits itu dapat ditentukan dengan jelas dan rinci. Tujuannya tidak lain agar hadits itu tidak menjadi sasaran bagi dangkalnya perkiraan, atau kita mengikuti zhahir (lahiriah dari hadits tersebut) yang tidak dimaksudkan (oleh maknanya). (Kaifa Nata’aamal ma’as-Sunnah [hlm. 125]).
    Contoh kasusnya adalah sebagai berikut. Ada sebuah hadits yang berbunyi (artinya), “Kalian lebih tahu urusan dunia kalian.” (HR Muslim, Kitab Al-Manaaqib, no. 2363).
    Sebagian orang menjadikan hadits ini sebagai alasan untuk lari dari hukum-hukum syara’ (agama) yang berkaitan dengan masalah ekonomi, perdata, politik, dan yang semisalnya dengan alasan–seperti anggapan mereka yang salah–bahwa itu adalah urusan duniawi.
    Apakah betul ini yang dimaksud oleh hadits tersebut? Sama sekali tidak! Karena, di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah terdapat hal-hal yang mengatur urusan muamalah: jual-beli, serikat dagang, pegadaian, sewa-menyewa, utang-piutang, dan sebagainya. Bahkan, ayat terpanjang di dalam Al-Qur’an turun untuk membahas aturan penulisan utang-piutang. “Hai, orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya dengan benar ….” (Al-Baqarah: 282).
    Dengan demikian, hadits tersebut di atas ditafsirkan oleh sebab diucapkannya hadits tersebut, yaitu kisah penyerbukan pohon kurma atas anjuran Rasulullah berdasarkan pendapat beliau yang merupakan dugaan belaka dalam masalah penyerbukan pohon kurma. Setelah itu para sahabat menjalankan saran Nabi tersebut dengan penuh ketaatan, padahal ketika itu mereka tidak melakukan penyerbukan, kemudian Rasulullah saw. bersabda dengan hadits tersebut.
    Contoh yang lain adalah hadits yang artinya, “Barang siapa melakukan sunnah yang baik dalam agama Islam ….” (HR Muslim, Kitab Az-Zakaah, Bab “Al-Hatstsu ‘alash Shadaqah” [IV/2801, 2802]).
    Sebagian orang memahami hadits ini dengan pemahaman yang salah. Sehingga, mereka membuat bid’ah-bid’ah (amal yang diada-adakan dan tidak ada dasarnya) dalam agama dengan beranggapan bahwa mereka sedang mendekatkan diri kepada Allah dan beramal dengan sunnah yang baik, yang masuk dalam kandungan makna hadits Rasulullah saw. di atas.
    Akan tetapi, kalau kita merujuk kepada sebab disabdakannya hadits ini, akan kita dapatkan sebabnya, yaitu bahwa Nabi pada suatu hari menyuruh para sahabat untuk bersedekah. Kemudian, datanglah seorang pria dengan membawa bungkusan besar yang kedua tangannya hampir tidak mampu untuk membawanya, lalu ia meletakkannya di tengah masjid. Setelah itu, orang-orang pun ikut berinfaq sampai muka Rasulullah saw. berseri-seri (karena senang), seakan-akan wajah beliau seperti sesuatu yang disepuh dengan emas, lalu beliau mengucapkan hadits tersebut.
    Maka dari itu, mengartikan hadits tersebut kepada perbuatan bid’ah jelas-jelas secara meyakinkan bukan yang dimaksud. Bahkan, itu merupakan kesesatan yang nyata. Dan, sebab-sebab disabdakannya hadits tersebut menjadi bukti terkuat akan kesalahan cara pengambilan dalil yang ditempuh oleh mereka.
    Ibnu Hamzah ad-Dimasyqi mempunyai kitab berjudul Al-Bayaan wa at-Ta’riif fii Ashaab Wuruud al-Hadiits asy-Syariif yang dicetak dalam tiga jilid. Kitab itu termasuk yang paling lengkap dalam bidang ilmu ini (asbaabul wuruud hadits).
     
  6. Mengetahui Ghariibul Hadiits (Ghariibul Hadiits=Kata-Kata yang Sulit Dipahami pada Teks Hadits)
    Rasulullah saw. adalah orang yang paling fasih dalam mengucapkan bahasa Arab dan beliau berbicara kepada para sahabat dengan bahasa Arab yang jelas dan dikenal oleh mereka. Mereka tidak mengalami kesulitan dalam memahami apa yang diinginkan dari lafazh yang diucapkan oleh Rasulullah saw. karena mereka adalah orang Arab asli, yang tidak pernah dimasuki (dipengaruhi) oleh bahasa orang ‘Ajam (orang non-Arab).
    Tetapi, dengan berlalunya waktu dan berbaurnya sebagian orang dengan yang lain, baik yang Arab maupun yang ‘Ajam, bahasa yang dipakai sebagian besar orang Arab menjadi lemah. Selain itu, bahasa mereka bercampur dengan bahasa orang ‘Ajam, serta mereka menjadi semakin jauh dari bahasa Arab yang fasih. Sehingga, banyak orang yang menemukan kesulitan dalam memahami hadits-hadits Nabi karena mereka tidak mengetahui arti kata-kata dalam hadits-hadits tersebut.
    Oleh sebab itulah, para ulama bangkit menyusun karangan semacam ini, yaitu kitab-kitab ghaariibul hadiits. Mereka menyusun sebuah kitab untuk menerangkan kata-kata yang sulit dipahami dalam suatu hadits beserta penjelasannya. Jika seorang ulama, penuntut ilmu, dan seorang muslim secara umum ingin memahami hadits yang baik, hendaklah dia merujuk kepada kitab-kitab ghariibul hadiits, yang paling penting di antaranya adalah sebagai beirkut.
    • Ghariibul Hadiits karya Al-Harawi.
    • Ghariibul Hadiits karya Abu Ishaq al-Harbi.
    • Ghariib ash-Shahiihain karya Al-Humaidi.
    • An-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits karya Ibnul Atsir.
    Kitab yang terakhir (An-Nihaayah) adalah kitab terlengkap dan paling bermanfaat daripada kitab-kitab ghariib lainnya.
     
  7. Memahami Sunnah seperti yang Dipahami Sahabat Rasulullah Kaidah ini termasuk yang paling penting supaya seorang muslim berpegang dengan sunnah, seperti berpegangnya salafush shaleh, serta agar selamat dari penambahan dan pengurangan.
    Dengan demikian, yang paling utama dalam menerangkan As-Sunnah adalah hadits-hadits Nabi sendiri, kemudian perkataan dan perbuatan para sahabat (al-aatsaar as-salafiyah), karena para sahabat telah menyaksikan turunnya Al-Qur’an dan wahyu turun di hadapan mereka. Maka, jika terjadi pemahaman yang salah dari salah seorang mereka terhadap Sunnah Nabi, niscaya Jibril akan turun kepada Rasulullah saw. untuk meluruskan dan mengoreksi pemahaman yang salah itu.
    Oleh karena itu, para ulama hadits menggolongkan perkataan seorang sahabat: “Kami berpendapat begini pada zaman Rasulullah,” sebagai perkataan yang memiliki hukum marfu’ (yang bisa disandarkan kepada Rasulullah saw.). Apabila orang-orang berselisih tentang pemahaman suatu hadits, maka pemahaman yang paling utama didahulukan adalah pemahaman sahabat Rasulullah saw.
    Contoh untuk kasus ini adalah hadits tentang menghadap ke kiblat atau membelakanginya ketika buang air besar atau kecil. Ada atsar (perkataan sahabat) dari Ibnu Umar r.a., beliau berkata, “Sesungguhnya yang demikian itu (buang hajat) terlarang jika di tempat yang terbuka, namun jika di antara kamu dan kiblat ada sesuatu yang menutupi (menghalangi), maka tidak mengapa (hukumnya boleh).” (HR Abu Dawud, Kitab Ath-Thaharah Bab “Karaahiyah Istiqbaali Qiblati ‘inda Qadhaa-il Haajah” [I/3]).
    Kitab-kitab yang penyusunnya banyak menukil atsar-atsar salafiyyah (orang-orang shalih terdahulu) dari sahabat dan tabi’in adalah sebagai berikut.
    • Mushannaf ‘Abdirrazzaq.
    • Mushannaf Ibni Abi Syaibah.
    • Sunan Sa’id bin Manshur.
    • Sunan ad-Darimi.
    • As-Sunan al-Kubraa dan As-Sughaa karya Imam Al-Baihaqi.
     
  8. Merujuk Kitab-Kitab Syarah Hadits (Kitab-Kitab yang Berisi Penjelasan dan Keterangan dari Matan [Teks] Hadits) Termasuk hal-hal yang penting dalam memahami hadits-hadits Nabi adalah merujuk kitab-kitab syarah. Sebab, di dalamnya terdapat penjelasan tentang gharib, nasikh-mansukh, fiqhul hadits, dan riwayat-riwayat yang tampaknya bertentangan sehingga seseorang tidak mungkin meninggalkan kitab-kitab seperti ini.
    Para ulama hadits telah meninggalkan kitab-kitab syarah untuk kita yang menjelaskan hadits-hadits Nabi saw. Para ulama adalah penerjemah hadits-hadits Nabi untuk seluruh umat. Setiap seorang ulama yang lebih dahulu (lebih dekat masa hidupnya dari Rasulullah saw.) maka penjelasannya akan lebih dekat kepada kebenaran dan lebih layak untuk diterima, biasanya.
    Kitab syarah yang paling utama didahulukan setelah memperhatikan yang lebih dahulu zaman penyusunnya adalah kitab yang penyusunnya memiliki perhatian terhadap dalil-dalil dengan menerangkan makhaarijul ahaadiits (jalan periwayatan hadits) yang bermacam-macam, serta menerangkan shahih dan dha’ifnya dalil tersebut.
    Demikian pula harus didahulukan kitab yang penyusunnya paling jauh dari fanatik madzhab, yangmana suatu hadits bisa saja dipalingkan olehnya dari makna yang sesungguhnya yang diinginkan Rasulullah saw. tanpa disertai dalil yang rajih (kuat).
    Di antara contoh kitab syarah hadits yang sesuai dengan pemahaman para sahabat dan mu’tamad (yang bisa dipertanggungjawabkan) yaitu sebagai berikut.
    • Syarhus Sunnah karya Imam Al-Baghawi.
    • Fathul Baari karya Ibnu Rajab al-Hanbali.
    • Fathul Baari Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Hajar al-Asqalani.
Sumber: Diringkas dari Delapan Kaidah Memahami Sunnah, terj. Abu ‘Abdirrahman Mukti ‘Ali ‘Abdulkarim (Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2007); judul asli: Dhawaabith Muhimmah li Husni Fahmis Sunnah, Dr. Anis bin Ahmad bin Thahir (Jeddah: Husnu Salim, 1999).
Oleh: Abu Annisa (www.alislamu.com)

Serial Tatbiqush Syariah: Urgensi penerapan syariat Islam secara kaafah (5)

(Arrahmah.com) – Dalam artikel sebelumnya, Dr. Abdul Aziz bin Muhammad Al-Abdul Lathif menjelaskan bahwa menerapkan syariat Allah SWT dalam semua aspek kehidupan merupakan wujud dari iman. Dalam artikel kali ini, beliau menjelaskan bahwa penerapan syariat merupakan wujud dari memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya SAW.

***
5). Sebagai penutup penjelasan mengenai urgensi penerapan syariah ini, kami akan menunjukkan bahwa penerapan syariah dalam semua aspek kehidupan merupakan sikap memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya yang mengandung kehidupan dan kebaikan.
Sebagaimana disebutkan oleh firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَجِيبُواْ لِلّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُم لِمَا يُحْيِيكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah panggilan Allah dan Rasul-Nya jika menyeru kalian kepada apa yang membawa kehidupan bagi kalian.” (QS. Al-Anfaal (8): 24)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di berkata, ”Firman Allah ‘jika menyeru kalian kepada apa yang membawa kehidupan bagi kalian’ merupakan sifat yang senantiasa melekat pada setiap perkara yang Allah dan Rasul-Nya mengajak kepadanya, sekaligus menerangkan faedah dan hikmah ajakan tersebut, karena hidupnya hati dan ruh adalah dengan beribadah keapda Allah, senantiasa menaati-Nya, dan senantiasa menaati Rasul-Nya.” (Tafsir As- Sa’di, 3/125)
Sesungguhnya menolak syariah Islam dan tidak memenuhi Allah dan Rasul-Nya untuk menerapkan syariah Islam merupakan sikap memenuhi panggilan hawa nafsu, itulah kesesatan yang jauh di dunia dan azab yang pedih di akherat.
Allah SWT berfirman:
فَإِن لَّمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللَّهِ
Jika mereka tidak memenuhi ajakanmu maka ketahuilah bahwasanya mereka mendengarkan hawa nafsunya dan siapakah yang lebih sesat melebihi orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mengikuti petunjuk Allah?” (QS. Al-Qashash (28): 50)
Allah SWT berfirman:
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الأَرْضِ فَاحْكُم بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
Wahai Daud, sesungguhnya Kami telah menjadikanmu sebagai khalifah di bumi maka putuskanlah perkara di antara manusia dengan kebenaran dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu sehingga hawa nafsu menyesatkanmu dari jalan Alah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah, bagi mereka azab yang pedih pada hari perhitungan kelak disebabkan mereka melupakan hari perhitungan amal perbuatan.” (QS. Shad (38): 26)
Allah juga berfirman:
وَمَن يَعْصِ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ
Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar batasan-batasan Allah, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka. Ia kekal di dalamnya dan baginya azab yang menghinakan.” (QS. An-Nisa’ (4): 14)
Imam Ibnu Katsir berkata tentang makna ayat ini:
“Karena ia telah mengganti hukum Allah dan menentang hukum Allah. Perbuatan ini hanya akan timbul dari sikap tidak ridha dengan pembagian dan hukum Allah. Karena itu Allah membalasnya dengan menghinakannya dalam azab yang pedih dan kekal.” (Umdat at-Tafsir, 3/125)
Nash-nash Al-Qur’an dan as-sunnah telah memperingatkan untuk tidak meminta putusan perkara kepada selain hukum Allah. Allah SWT berfirman,
وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَآ أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللّهُ إِلَيْكَ فَإِن تَوَلَّوْاْ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللّهُ أَن يُصِيبَهُم بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut wahyu yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kalian terhadap mereka, jangan sampai mereka memalingkan kamu dari sebagian wahyu yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling dari hukm Allah maka ketahulah bahsawanya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan dosa-dosa mereka yang telah mereka perbuat.  Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Maidah (5): 49)
Syaikh Abu Hibatullah Ismail bin Ibrahim al-Azhari al-Khathib al-Hasani berkata, “Allah memerintahkan  kepada nabi-Nya untuk mememutuskan perkara di antara ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) dengan hukum wahyu yang Allah telah turunkan. Allah melarang beliau SAW dari mengikuti hawa nafsu mereka, karena hal itu menyelisihi wahyu yang diturunkan Allah kepada beliau. Allah mengingatkan beliau agar tidak  terkena fitnah mereka yang berusaha menghalangi beliau dari menerapkan sebagian hukum wahyu yang diturunkan oleh Allah.
Allah memberitahukan kepada beliau bahwa jika mereka berpaling dari hukum yang diturunkan oleh Allah kepada beliau, maka Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka dan mengujui mereka disebabkan sebagian dosa mereka. Maka diketahui dari ayat ini bahwa berpaling dari hukum Allah dan hukum Rasul-Nya kepada hukum yang berdasar hawa nafsu adalah sebab Allah menimpakan musibah kepada mereka.” (Tahdzir Ahl al-Iman ‘an al-Hukm bi Ghairi maa Anzala ar-Rahman, hlm. 40, lihat juga hal. 20, dan Mukhtashar as-Shawa’iq al-Mursalah, 2/53)
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menyebutkan sebagian akibat dari meminggirkan hukum Allah dengan mengatakan:
“Ketika manusia berpaling dari menerapkan Al-Qur’an dan as-sunnah dan meminta putusan perkara kepada keduanya, dan mereka meyakini tidak cukup hanya berpedoman kepada keduanya, lalu mereka beralih kepada hasil pikiran akal, analogi,  istihsan, dan pendapat para pemimpin mereka; maka mereka ditimpa kerusakan dalam fitrah mereka, kegelapan dalam hati mereka, kekeruhan dalam pemahaman mereka, dan kehapusan dalam akal mereka. Persoalan-persoalan (hasil pemikiran akal, logika, dan pendapat para pemimpin semata, pent) akhirnya mendominasi dan menguasai mereka sepenuhnya sampai seorang anak tumbuh dewasa dalam kondisi tersebut dan orang tua juga pikun dalam kondisi tersebut.”(Al-Fawaid, hlm. 42-43)
Dalam sebuah hadits, Nabi SAW bersabda, ”Wahai kaum muhajirin, aku berlindung kepada Allah dari lima kerusakan jangan sampai kelima kerusakan tersebut menguji kalian dan mengenai kalian…” Beliau menyebutkan salah satunya adalah:
وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ  بِكِتَابِ اللهِ إِلاَّ جَعَلَ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ
“…Selama para pemimpin mereka tidak memutuskan perkara dengan kitab Allah, niscaya Allah akan menimpakan perang di antara sesama mereka sendiri.” (HR. Ibnu Majah no. 4019, Al-Hakim, 4/540 dan Al-Baihaqi, 3/346. Dinyatakan shahih oleh Al-Bushiri, Al-Hakim, Adz-Dzahabi, dan Al-Albani)
Dalam lafal yang lain:
 وَمَا حَكَمُوا بِغَيرِ مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلاَّ فَشَا فِيهِمُ الْفَقْرُ
“…Selama para pemimpin mereka memutuskan perkara dengan selain hukum Allah, niscaya akan meluas kemiskinan di kalangan mereka.” (HR. Ath-Thabarani. Imam Ibnu Mundzir berkata: Sanadnya mendekati derajat hasan, dan hadits ini memiliki banyak riwayat penguat. Syaikh Al-Albani menyatakan hasan dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, 1/321)   
Dalam hal ini syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
”Jika para pemimpin telah keluar dari hukum Al-Qur’an dan as-sunnah, maka mereka telah memutuskan perkara dengan selain hukum Allah dan terjadilah perang di antara sesama mereka sendiri, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW: ”Tidaklah suatu kaum diatur  dengan selain hukum Allah, kecuali akan terjadi perang di antara sesama mereka.”
Inilah sebab terbesar keruntuhan negara-negara, sebagaimana terjadi berulang kali pada zaman kita ini dan zaman sebelum kita. Siapa yang Allah menghendaki kebahagian untuknya, maka Allah menjadikannaya mampu mengambil pelajaran dari musibah yang menimpa orang lain, sehingga ia menempuh jalan orang-orang yang dikuatkan dan diluruskan oleh Allah dan menjauhi jalan orang-orang yang ditelantarkan dan dihinakan oleh Allah.” (Majmu’ Fatawa, 35/387)

Maha Benar Allah dan rasul-Nya, karena orang yang melihat kondisi umat Islam saat ini akan melihat musibah dan keburukan yang menimpa negeri-negeri kaum muslimin, juga berbagai permusuhan dan perpecahan di antara sesama mereka sendiri, demikian juga saling perang di antara sesama mereka sendiri. Di samping itu muncul bencana massal kemiskinan dan keterbelakangan ekonomi, padahal negara-negara umat Islam —sebagaimana sudah diketahui bersama — merupakan negara-negara yang memiliki kekayaan alam paling besar dengan berbagai jenis. Sebab paling besar dari semua musibah ini adalah peminggiran syariah Islam dan meminta putusan perkara (dan menerapkan hukum) kepada thaghut. (Mengenai dampak pemberlakuan hukum positif buatan manusia, lihat misalnya karya syaikh Ahmad Syakir yang berjudul Al-Kitab was Sunnah Yajibu an Yakuunaa Mashdar al-Qawanin fi Mishr dan karya syaikh Manna’ Al-Qathan berjudul Wujub Tatbiq Asy-Syaria’ah)

Wallahu al-Musta’anu.
 Insya Allah bersambung…

Serial Tatbiqush Syari'ah: Urgensi penerapan syariat Islam secara kaafah (4)

(Arrahmah.com) – Dalam artikel sebelumnya, Dr. Abdul Aziz bin Muhammad Al-Abdul Lathif menjelaskan bahwa menerapkan syariat Allah SWT dalam semua aspek kehidupan merupakan wujud dari tauhid ittiba’, yaitu ketaatan kepada Rasulullah SAW. Dalam artikel kali ini, beliau menjelaskan bahwa penerapan syariat merupakan wujud dari iman.
***
4. Kedudukannya ditinjau dari iman
Allah berfirman:
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً {59} أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُواْ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُواْ إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُواْ أَن يَكْفُرُواْ بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيدًا {60}وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْاْ إِلَى مَا أَنزَلَ اللّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنكَ صُدُودًا {61}فَكَيْفَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَآؤُوكَ يَحْلِفُونَ بِاللّهِ إِنْ أَرَدْنَا إِلاَّ إِحْسَانًا وَتَوْفِيقًا
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya dan para pemimpin kalian. Jika kalian berselisih dalam satu masalah maka kembalikanlah kepada Allah dan rasul-Nya jika kalian benar-benar beriman kepada Alah dan hari akhir. Hal demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.
Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang mengaku beriman kepada apa (wahyu Allah) yang telah diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan (kepada para nabi) sebelummu? Mereka ingin berhukum kepada thaghut padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka sejauh-jauhnya.
Dan apabila dikatakan kepada mereka, ”Marilah kalian tunduk kepada hukum yang telah diturunkan Allah dan kepada hukum rasul”, niscaya kalian melihat orang-orang munafik menghalangi manusia sekuat-kuatnya darimu.
Maka bagaimana halnya jika mereka ditimpa musibah disebabkan perbuatan tangan mereka itu, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah, ”Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian secara baik-baik dan perdamaian yang sempurna.” (QS. An-Nisa’ (4): 59-62)
Allah berfirman:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا
Maka demi Rabbmu, mereka tidak akan beriman sehingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusanmu dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’ (4): 65)
Dari ayat-ayat yang mulia ini, kita bisa memahami kedudukan penerapan syariat Allah dalam iman. Allah menyebut penerapan syariat adalah iman. Allah berfirman:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا
Maka demi Rabbmu, mereka tidak akan beriman sehingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusanmu dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’ (4): 65)
Imam Ibnu Hazm berkata:
“Allah menyebut tindakan menjadikan nabi SAW sebagai hakim (pemberi keputusan) adalah keimanan dan Allah memberitahukan bahwa tidak ada iman tanpa adanya perbuatan tersebut (menjadikan nabi SAW sebagai pemberi keputusan, pent) dengan disertai tidak adanya kesempitan dalam hati dengan keputusan beliau. Dengan demikian sahlah secara yakin bahwasanya iman itu amal, aqidah (keyakinan hati), dan perkataan karena menjadikan Rasul sebagai hakim adalah amal perbuatan, dan hal itu tak mungkin kecuali disertai dengan ucapan dan tanpa adanya perasaan sempit di hati yang merupakan sebuah keyakinan.” (Ad-Durah fi Maa Yajibu I’tiqaduhu hal. 338)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Setiap orang yang keluar dari sunah Rasulullah dan syariatnya, maka Allah telah bersumpah dengan jiwa-Nya Yang Suci bahwa orang tersebut tidak beriman sampai ia ridha dengan keputusan Rasulullah dalam setiap hal yang menjadi persoalan di antara mereka baik urusan dunia maupun akhirat, dan sampai tidak tersisa lagi dalam hati mereka rasa sempit  atas keputusan hukum beliau.” (Majmu’ Fatawa, 28/431, lihat juga Majmu’ Fatawa, 35/367 dan 408)
Dalam menafsirkan firman Allah, ‘Maka demi Rabbmu, mereka tidak akan beriman …’, imam asy-Syaukani berkata: “Dalam ancaman yang keras ini ada hal yang membuat kulit merinding dan hati bergetar ketakutan, karena syarat pertama, sesungguhnya Allah bersumpah dengan nama Allah sendiri yang dikuatkan dengan huruf peniadaan (Maka demi Rabbmu, mereka tidak akan beriman …). Allah meniadakan iman dari mereka —sedangkan iman adalah harta modal pokok para hamba Allah yang shalih— sehingga mereka mengerjakan ‘ghayah’ yaitu menjadikan rasul sebagai hakim pemberi keputusan (sehingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan…pent).
(Syarat kedua) Allah tidak mencukupkan dengan tindakan itu saja, karena Allah lalu berfirman, ” …kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusanmu…” Selain menjadikan rasul sebagai pemberi keputusan, Allah masih menggabungkan syarat lain, yaitu tidak adanya kesempitan dada, artinya keberatan dalam hati. Jadi menjadikan nabi sebagai pemberi keputusan dan tunduk saja tidak cukup sampai hal itu muncul dari lubuk hatinya dengan sikap hati yang ridha, tenang, sejuk, dan senang.
(Syarat ketiga) Allah belum mencukupkan dengan (kedua syarat) ini saja, namun Allah menambahkan lagi syarat yang lain, yaitu firman-Nya, “dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” Maksudnya adalah mereka tunduk kepadanya dan menaatinya  secara lahir dan batin.
Allah belum mencukupkan dengan (ketiga syarat) itu saja, namun Allah masih menambahkan dengan menyebut masdar sebagai penguat ‘tasliman’. Maka tidak ada iman bagi seorang hamba sampai ia mau menjadikan rasul sebagai pemberi keputusan, lalu ia tidak merasakan kesempitan dalam hati atas keputusan nabi, dan ia menyerahkan dirinya kepada hukum Allah dan syariatnya sepenuh penyerahan diri, tanpa dicampuri oleh penolakan dan penyelisihan terhadapnya.” (Fathul Qadir, 1/484)
Meminta putusan perkara kepada syariat Alalh dan mengembalikan seluruh perselisihan kepada nash-nash dua wahyu (Al-Qur’an dan as-sunnah) adalah syarat iman, sebagaimana firman Allah:
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Jika kalian berselisih dalam satu masalah apapun, maka kembalikanlah kepada Allah dan rasul-Nya jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’ (4): 59)
Oleh karena itu imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata: “Firman Allah  “Jika kalian berselisih dalam satu masalah apapun” menggunakan isim nakirah dalam konteks syarat, maka ia berrsifat umum mencakup segala persoalan yang diperselisihkan oleh kaum muslimin baik dalam masalah agama yang secara terperinci maupun global, yang (rumit) tersembunyi maupun yang nampak jelas.
Sekiranya di dalam Al-Qur’an dan as-sunnah tidak ada penjelasan keputusan hukum atas perkara yang mereka perselisihkan atau keputusan hukum namun di dalamnya tidak menuntaskan masalah tersebut, niscaya Allah tidak memerintahkan mereka untuk mengembalikan segala persaolan kepada  Al-Qur’an dan as-sunah. Karena mustahil Allah memerintahkan ketika ada perselisihan untuk kembali kepada hal yang tidak mempunyai solusi tuntas atas perselisihan tersebut.
Dalam ayat ini Allah juga menjadikan tindakan mengembalikan perselisihan kepada Al-Qur’an dan as-sunnah sebagai konskuensi iman. Jika tidak ada sikap mengembalikan perselisihan kepada Al-Qur’an dan as-Sunah, secara otomatis keimanan tidak ada pula, karena (hukum sebab-akibat, pent): malzum (akibat) hilang dengan hilangnya lazim (sebab). Apalagi ada hubungan saling terkait antara dua perkara ini, karena perkara ini timbul dari kedua belah pihak. Jika salah satu perkara hilang, niscaya perkara yang lain ikut hilang. Kemudian Allah memberitahukan bahwa mengembalikan perselisihian kepada keputusan Al-Qur’an dan as-sunnah itu lebih utama bagi mereka dan akibatnya adalah sebaik-baik akibat.” (A’lamul Muwaqqi’in, 1/49-50)
Imam Ibnu Katsir berkata:
“Apa yang diputuskan oleh kitabullah dan sunah Rasulullah dan dinyatakan benar (oleh keduanya) adalah kebenaran. Dan tidak ada di luar kebenaran selain kesesatan. Oleh karena itu Allah berfirman, “…jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.” Maksudnya, kembalikanlah perselisihan dan hal-hal yang belum kalian ketahui kepada kitabullah dan sunah Rasul-Nya, berhukumlah kepada keduanya dalam hal-hal yang diperselisihkan. Ini menunjukkan bahwasanya orang yang tidak berhukum kepada Al-Qur’an dan as-sunah ketika terjadi perselisihan dan ia tidak kembali kepada keduanya, niscaya ia bukan orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/209)
Jika meminta putusan perkara kepada  syariat  Allah  merupakan syarat iman, maka meminta putusan perkara kepada undang-undang buatan manusia —yaitu hukum thaghut dan jahiliyah— adalah perbuatan yang meniadakan iman dan termasuk tanda-tanda orang  munafik. Telah kami sebutkan di muka perkataan syaikh Muhammad Rasayid Ridha saat menerangkan firman Allah dalam surat An-Nisa’ (4): 60, di mana beliau mengatakan:
“Ayat ini menyatakan bahwasanya orang yang menentang atau berpaling dari hukum Allah dan Rasul-Nya secara sengaja, apalagi setelah ia diajak untuk berhukum dengan keduanya dan ia diingatkan akan wajibnya hal itu, maka ia telah menjadi orang munafik, klaim keimanan dan keislamannya tidak dianggap lagi.” (Tafsir Al-Manar, 5/227)
Syaikh Abdurahman bin Nashir as-Sa’di juga berkata:
“Mengembalikan penyelesaian persoalan kepada Al-Qur’an dan as-sunah adalah syarat iman…Hal ini menunjukkan bahwasanya orang yang tidak mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada keduanya tidaklah beriman dengan sebenar-benar iman, bahkan sebaliknya ia telah beriman kepada thaghut sebagaimana disebutkan dalam ayat, “Apakah kamu tidak melihat orang-orang yang…” (QS. An-Nisa’ (4): 60). Sesungguhnya iman menuntut ketundukan kepada syariat Allah dan menjadikan syariat Allah sebagai hakim dalam seluruh urusan. Barangsiapa mengakui dirinya mukmin namun ia lebih memilih hukum thaghut di atas hukum Allah, maka pengkauan keimanannya adalah dusta.” (Tafsir As-Sa’di, 2/90)
Ustadz Sayyid Qutub juga menegaskan bahwa sikap tidak menerapkan syariat Islam tidak akan mungkin bisa berkumpul dengan iman. Saat menafsirkan firman Allah,
 وَكَيْفَ يُحَكِّمُونَكَ وَعِندَهُمُ التَّوْرَاةُ فِيهَا حُكْمُ اللّهِ ثُمَّ يَتَوَلَّوْنَ مِن بَعْدِ ذَلِكَ وَمَا أُوْلَـئِكَ بِالْمُؤْمِنِينَ
Dan bagaimanakah mereka mengangkatmu menjadi hakim mereka, padahal mereka mempunyai Taurat yang di dalamnya (ada) hukum Allah, kemudian mereka berpaling sesudah itu (dari putusanmu)? Dan mereka sungguh-sungguh bukan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Maidah (5): 43)
Ustadz Sayyid Qutb berkata:
“Merupakan dosa besar yang harus diingkari, ketika mereka meminta putusan perkara kepada Rasulullah SAW sehingga Rasulullah SAW memutuskan perkara mereka tersebut dengan syariah Allah, sementara di sisi lain mereka memiliki Taurat yang juga memuat hukum Allah, lalu mereka mencocok-cocokkan antara keputusan hukum Rasulullah SAW dengan hukum Taurat yang berada di tangan mereka; yang mana Al-Qur’an datang untuk membenarkannya dan menjadi kata pemutus atasnya. Namun kemudian mereka berpaling, baik dengan tidak melaksanakan keputusan hukum beliau SAW tersebut ataupun dengan tidak meridhainya.
Konteks ayat ini tidak cukup dengan mengingkari saja, namun juga menetapkan hukum Islam atas sikap seperti ini, ” Dan mereka sungguh-sungguh bukan orang-orang yang beriman.” Iman tidak mungkin akan berkumpul dengan sikap tidak mau menjadikan syariah Allah sebagai hakim atau sikap tidak ridha dengan hukum syariah. Orang-orang yang mengira diri mereka atau diri orang-orang selain mereka telah beriman, lalu mereka tidak meminta putusan perkara kepada syariat Allah dalam segala aspek kehidupan mereka atau mereka tidak ridha dengan hukum syariah jika diterapkan atas mereka… pengakuan mereka itu sebenarnya bohong belaka dan menabrak nash yang qath’i ini, “Dan mereka sungguh-sungguh bukan orang-orang yang beriman.” (Fi Zhilali Al-Qur’an, 2/894-895)
Di antara yang ditulis oleh syaikh Muhammad bin Ibrahim dalam masalah ini adalah:
“Sesungguhnya firman Allah “…mereka mengira…” mendustakan pengakuan iman mereka, karena tidak mungkin berkumpul dalam hati seorang hamba antara sikap meminta putusan perkara kepada selain hukum Allah yang dibawa Rasul dengan iman. Sebaliknya, satu sama lain saling meniadakan. Thaghut merupakan pecahan kata dari kata at-tughyan yang berarti melampaui batas. Setiap orang yang memutuskan persoalan dengan selain hukum Allah yang dibawa oleh Rasul, berarti telah memutuskan persoalan dengan hukum thaghut dan meminta putusan perkara kepada hukum taghut.” (Risalah Tahkimul Qawanin, hal 2)
Syaikh Muhammad Amin bin Muhammad Mukhtar asy-Syanqithi menegaskan bahwa orang-orang (rakyat) yang mengikuti orang-orang (para pemimpin) yang membuat undang-undang selain syariah Allalh adalah orang-orang yang musyrik kepada Allah. Beliau menyebutkan dalil-dalil hal ini, di antaranya beliau berkata:
“Termasuk dalil yang paling gamblang dalam masalah ini, adalah Allah dalam surat An-Nisa’ menerangkan bahwa orang-orang yang ingin meminta putusan perkara kepada selain syariat-Nya, maka Allah tidak merasa heran dengan pengakuan iman mereka. Hal ini tidak lain karena pengakuan keimanan mereka yang disertai keinginan meminta putusan perkara kepada thaghut adalah pengkauan yang sangat dusta, sehingga layak untuk diherani. Hal ini dalam firman Allah,
“Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang mengaku beriman kepada apa (wahyu Allah) yang telah diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan (kepada para nabi) sebelummu? Mereka ingin berhukum kepada thaghut padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka sejauh-jauhnya.” (Adhwa’ul Bayan, 4/83. Lihat pula Al-Hakimiyah fi Adhwa’il Bayan karya As-Sudais, hlm. 58)
Lebih dari ini semua, iman adalah perkataan dan perbuatan. Iman mencakup sikap membenarkan dan sikap tunduk mematuhi. Sebagaimana wajib hukumnya bagi seluruh manusia untuk membenarkan apa yang dikabarkan oleh para rasul, maka wajib pula atas mereka untuk mentaati perintah para rasul. Sebagaimana dijelaskan oleh firman Allah:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللّهِ
Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.” (QS. An- Nisa’ (4): 64)
Karena itu imam Muhammad bin Nashr Al-Marwazi mengatakan tentang definisi iman, ”Iman kepada Allah artinya engkau mentauhidkan-Nya, membenarkan-Nya dengan hati dan lisan, tunduk kepada Allah dan kepada perintah-Nya, dengan bertekad bulat untuk melaksanakan perintah-Nya; menjauhi sikap enggan (beribadah kepada-Nya, pent), sombong (dari beribadah kepada-Nya, pent) dan menentang. Jika kamu telah mengikuti apa (wahyu) yang datang dari Allah, maka kamu akan mengerjakan hal-hal yang wajib, menghalalkan hal yang halal, menagharamkan hal yang haram, tidak melanggar hal yang syubhat, dan bersegera dalam melakukan amal kebajikan.” (Ta’zhimu Qadr Ash-Shalat, 1/392-393)
Tidak diragukan lagai bahwa menerapkan syariah Allah merupakan sikap tunduk dan melaksanakan dienullah. Jika demikian halnya, maka tidak menerapkan syariah Allah merupakan kufur iba’ (kekafiran karena enggan tunduk kepada hukum Allah), kufur radd (kekafiran karena menolak hukum Allah), dan kufur istikbar (kekafiran karena sombong kepada hukum Allah), sekalipun ia membenarkan syariat Allah. Sebab, kekafiran bukanlah terbatas pada sikap mendustakan, seperti pemahaman yang dikatakan oleh kelompok sesat Murjiah.

Bersambung, insya Allah

Serial Tatbiqush Syari'ah: Urgensi penerapan syariat Islam secara kaafah (3)

(Arrahmah.com) – Dalam artikel sebelumnya, Dr. Abdul Aziz bin Muhammad Al-Abdul Lathif menjelaskan bahwa menerapkan syariat Allah SWT dalam semua aspek kehidupan merupakan wujud dari tauhid rububiyah dan tauhid asma’ wa shifat. Dalam artikel kali ini, beliau menjelaskan bahwa penerapan syariat merupakan wujud dari mutaba’atur Rasul dan iman.
***
3. Kedudukannya ditinjau dari Tauhid Ittiba’
Maksud tauhid ittiba’ adalah merealisasikan mutaba’ah (mengikuti ajaran) Rasulullah SAW.  Dengan demikian, definisi tauhid ittiba’ adalah mengesakan Rasulullah SAW dengan menjadikan beliau sebagai pemutus perkara, menerima keputusan beliau dengan sepenuh hati, tunduk, dan patuh menjalankan keputusan beliau. (Lihat Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, 1/228)
Jika demikian pengertiannya, maka tidak diragukan lagi bahwa memutuskan perkara dengan hukum Allah SWT merupakan tauhid ittiba’. Allah SWT berfirman,
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا
“Maka demi Rabbmu, mereka tidak beriman sehingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim (pemberi keputusan) dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusanmu dan mereka menerimanya dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’ (4): 65)
Imam Ibnu Katsir berkata mengenai ayat ini:
“Allah Ta’ala bersumpah dengan Dzat-Nya Yang Maha Mulia dan Maha Suci bahwasanya seseorang tidak beriman sampai ia menjadikan Rasul sebagai hakim dalam seluruh urusan. Apa yang diputuskan Rasul itulah yang haq yang wajib dikuti secara lahir dan batin.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/211)
Imam Ibnu Qayim Al-Jauziyah berkata mengenai ayat ini:
“Allah SWT bersumpah dengan Dzat-Nya Yang Maha Suci, dengan sebuah sumpah yang dikuatkan oleh penafian (peniadaan) sebelum sumpah (Maka demi Rabbmu, mereka tidak beriman …pent) atas tiadanya iman bagi makhluk sampai mereka menjadikan Rasul sebagai hakim (pemberi keputusan) dalam segala persoalan yang diperselisihkan di antara mereka, baik masalah pokok maupun cabang, baik masalah hukum-hukum syar’i maupun hukum-hukum ma’ad (di akhirat).
Allah SWT tidak menetapkan adanya iman para hamba-Nya meskipun mereka telah menjadikan Rasulullah SAW sebagai hakim, sehingga hati mereka merasa sempit, maksudnya hati mereka tidak merasa sesak (berat). Hati mereka harus merasa lapang selapang-lapangnya terhadap keputusan Rasulullah SAW dan menerimanya dengan sepenuh hati.
Meski semua hal itu telah mereka kerjakan, namun Allah masih belum menetapkan adanya keimanan pada diri mereka sampai mereka menerima keputusan beliau dengan ridho dan taslim (penyerahan diri) tanpa adanya sikap menentang dan berpaling.” (At-Tibyan fi Aqsami Al-Qur’an, hal. 270)
Berhukum dengan hukum Allah merupakan realisasi pengakuan rela Rasulullah SAW sebagai nabi dan rasulnya. Karena itu imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata:
“Adapun ridha dengan nabi-Nya sebagai Rasul mencakup sikap tunduk sepenuhnya kepada Nabi Muhammad SAW dan menyerahkan diri secara mutlak kepada Rasululllah SAW, sehingga ia tidak menerima petunjuk kecuali yang bersumber ajaran Rasulullah SAW, tidak berhukum (meminta putusan perkara) kecuali kepada beliau SAW, tidak menjadikan selain beliau sebagai hakim (pemberi keputusan atas  segala persoalan), tidak ridha dengan hukum selain hukum beliau, baik dalam masalah nama-nama Allah, sifat-sifat Allah maupun perbuatan-perbuatan Allah; tidak dalam masalah cita rasa hakekat-hakekat iman maupun tingkatan-tingkatannya; tiidak dalam masalah hukum-hukum lahir maupun hukum-hukum batin. Ia tidak ridha dalam semua masalah ini dengan hukum selain hukum beliau dan ia hanya ridha dengan hukum beliau.” (Madariju As-Salikin, 2/172-173)
Bahkan berhukum dengan hukum Allah merupakan makna syahadat ‘Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan (rasul) Allah SWT’ itu sendiri. Sebagaimana dikatakan oleh syaikh Muhammad bin Abdul Wahab:
“Makna syahadat ‘Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan (rasul) Allah SWT’ adalah mentaati perintah beliau SAW, membenarkan berita wahyu yang beliau sampaikan, menjauhi apa yang beliau larang, dan tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan cara yang beliau syariatkan.”(Majmu’atu Muallafat al-syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, 1/190 dan lihat pula Taisiru Al-Aziz Al-Hamid Syarh Kitab At-Tauhid, hal. 554-555)
Oleh karena ini pula syaikh Muhammad bin Ibrahim menegaskan bahwa memberlakukan syariah Allah SWT sebagai satu-satunya undang-undang adalah makna dari syahadat ‘aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah’. Beliau berkata:
“Menjadikan Rasul sebagai satu-satunya hakim (pemutus perkara) tanpa selain beliau adalah ‘saudara kandung’ dari beribadah kepada Allah semata tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Karena kandungan dua kalimat syahadat adalah hendaklah Allah semata yang diibadahi tanpa sekutu dan hendaklah Rasulullah semata yang diikuti dan hukum beliau saja yang dibelakukan. Tidaklah pedang-pedang jihad dihunus kecuali karena hal ini dan untuk menegakkan hal ini, baik dengan melaksanakan perintah beliau SAW, meninggalkan larangan beliau SAW, maupun  menjadikan beliau sebagai hakim (pemberi keputusan) saat terjadi perselisihan.” (Risalah Tahkimul Qawanin, dalam kompilasi Fatawa syaikh Muhammad bin Ibrahim, 12/251)

Bersambung, insya Allah…

Serial Tatbiqush Syari'ah: Urgensi penerapan syariat Islam secara kaafah (2)

(Arrahmah.com) – Dalam artikel pertama, Dr. Abdul Aziz bin Muhammad Al-Abdul Lathif menguraikan bahwa menerapkan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan seorang muslim merupakan perwujudan dari tauhid uluhiyyah. Dalam artikel kedua kali ini, beliau menguraikan bahwa penerapan syariat Islam merupakan perwujudan dari tauhid rububiyah dan tauuhid al-asma’ wa shifat. Dua jenis tauhid tersebut biasa disatukan dalam satu nama: tauhid ilmi khabari.
 ***
 2. Kedudukannya ditinjau dari Tauhid Ilmi Khabari.
Berhukum dengan hukum Allah termasuk tauhid rububiyah, karena merupakan pelaksanaan dari hukum Allah yang merupakan konskuensi dari rububiyah Allah, dan kesempurnaan kekuasaan-Nya, dan kesempurnaan hak-Nya dalam mengatur alam ini. Oleh sebab itu, Allah menyebut orang-orang (tokoh-tokoh) yang diikuti bukan berdasarkan hukum Allah sebagai arbab (tuhan-tuhan) bagi orang-orang yang mengikutinya. Allah SWT berfirman:
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهًا وَاحِدًا لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Mereka menjadikan para pendeta dan ahli  ibadah mereka sebagai arbab (tuhan tandingan) selain Allah, dan mereka juga mengambil Al-Masih Ibnu Maryam (sebagai rabb selain Allah). Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Ilah yang Esa. Tak ada Ilah yang berhak diibadahi selain-Nya. Maha Suci Allah dari kesyirikan mereka.” [QS. At-Taubah (9): 31]. (Lihat Al-Majmu’ al-Tsamin Fatawa Syaikh Al-Utsaimin, 1/33).
Juga sebagaimana dikatakan oleh syaikh Muhammad Rasyid Ridha saat menerangkan makna syirik dalam rububiyah:
“Yaitu menyandarkan penciptaan dan pengaturan alam kepada Allah sekaligus kepada selain Allah, atau mengambil hukum-hukum agama dalam masalah beribadah kepada Allah, penghalalan, dan pengharaman dari selain Allah, maksudnya dari selain kitab-Nya dan wahyu-Nya yang disampaikan oleh para rasul-Nya.” (Tafsir Al-Manar, 3/55, lihat juga Tafsir Al-Manar, 3/326)
Saat menjelaskan firman Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat ke-31 di atas, imam Ibnu Hazm Al-Andalusi berkata:
“Karena kaum Yahudi dan Nasrani mengharamkan apa yang diharamkan oleh para pendeta dan  ahli ibadah mereka dan menghalalkan apa yang mereka halalkan, maka tindakan ini merupakan rububiyah yang sebenarnya dan ibadah yang sebenarnya. Maka kaum Yahudi dan Nasrani telah berdien (beragama) dengan hal itu dan Allah menyebut perbuatan mereka itu sebagai mengambil arbab (tuhan-tuhan selain Allah) dan ibadah. Ini adalah kesyirikan tanpa ada perbedaan pendapat lagi.” (Al-Fishalu Fi al-Milal wal Ahwa’ wa al-Nihal, 3/266)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam hal ini mengatakan,
“Allah SWT telah berfirman,
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهًا وَاحِدًا لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Mereka menjadikan para pendeta dan ahli  ibadah mereka sebagai arbab (tuhan tandingan) selain Allah, dan mereka juga mengambil Al-Masih Ibnu Maryam (sebagai rabb selain Allah). Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Ilah yang Esa. Tak ada Ilah yang berhak diibadahi selain-Nya. Maha Suci Allah dari kesyirikan mereka.” (QS. At-Taubah (9): 31)
Dalam hadits shahabat Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu —sebuah hadits panjang yang derajatnya hasan dan diriwayatkan oleh imam Ahmad, Tirmidzi, dan lain-lain— disebutkan bahwa Adi bin Hatim yang saat itu beragama Nashrani datang kepada Nabi SAW. Ia mendengar Nabi SAW membaca ayat ini, maka ia membantah, ”Kami tidak beribadah kepada para pendeta dan tukang ibadah kami.”
Nabi SAW balik bertanya, ”Bukankah para pendeta dan tukang ibadah kalian mengharamkan hal yang Allah halalkan maka kalian ikut-ikutan mengharamkannya; dan mereka menghalalkan hal yang Allah haramkan maka kalian ikut-ikutan menghalalkannya?”
Adi menjawab, ”Ya, begitu.” Beliau SAW bersabda, ”Itulah bentuk ibadah kepada para pendeta dan tukang ibadah.” (HR. Tirmidzi no. 3095 dan Al-Baihaqi, 10/116. Syaikh Al-Albani menyatakan hadits ini hasan dalam Ghayatul Maram, hlm. 6)
Demikian juga Abu Bakhtari berkata, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak melaksanakan sholat kepada para pendeta dan ahli ibadah mereka. Kalau para pendeta dan ahli ibadah itu memerintahkan mereka untuk beribadah (menyembah dalam artian sholat, sujud, ruku’ dst—pent) kepada mereka tentulah mereka tidak akan mentaati perintah itu. Namun para pendeta dan ahli ibadah itu memerintah mereka, dengan mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram lalu orang-orang Yahudi dan Nasrani mentaatinya. Maka tindakan ini adalah sebuah rububiyah
Nabi SAW telah menerangkan bahwa wujud ibadah kaum Yahudi dan Nasrani kepada para pendeta dan ahli ibadah adalah dengan menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Bukan dengan melaksanakan shalat, shaum, dan berdoa kepada para pendeta dan ahli ibadah. Inilah makna beribadah kepada para tokoh. Allah telah menyebutkan hal ini sebagai sebuah kesyirikan dengan firman-Nya,
لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Tidak ada Ilah yang berhak diibadahi selain Dia (Allah). Maha Suci Allah dari kesyirikan mereka.” QS. At-Taubah (9): 31. (Majmu’ Fatawa, 7/67)
Sebagaimana hakekat rela Allah sebagai rabb mewajibkan kita untuk mengesakan Allah dalam masalah menetapkan hukum, dan mengkhususkan hak membuat hukum dan memerintah bagi Allah semata. Allah SWT berfirman,
أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَالأَمْرُ
Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah.” (QS. Al A’raaf (7): 54)
Allah SWT berfirman,
قُلْ إِنَّ الأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ
Katakanlah: “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah.” (QS. Ali Imran (3): 154)
Seluruh urusan dan perintah adalah milik Allah semata, baik perkara kauni qadari (sunatullah di alam semesta) maupun perkara syar’i dieni (perintah dan larangan syariat). (Lihat Tahkimu Syariah karya Dr. Shalah Shawi, hlm. 18-21 dan Dhawabitu Takfir hlm. 116)
Imam Izzuddin bin Abdi Salam berkata:
“Allah semata yang berhak ditaati adalah dikarenakan Allah sajalah yang melimpahkan nikmat, yaitu dengan menciptakan, menghidupkan, memberi rizqi, memperbaiki dien dan dunia. Tidak ada suatu kebaikan pun kecuali Allah saja yang mampu menghadirkannya dan tidak ada suatu keburukan pun kecuali Allah saja yang mampu menyingkirkannya…demikian juga tidak ada hak membuat hukum kecuali hak Allah semata.” (Qawaidul Ahkam, 2/134-135)
Syaikh Abdurahman bin Nashir as-Sa’di berkata:
“Rabb dan Ilah semata yang memiliki hukum qadari (sunatullah di alam semesta),  hukum syar’i (perintah dan larangan syariat), dan hukum jaza-i (balasan surga dan neraka di akhirat). Dia semata yang dijadikan ilah dan diibadahi, tidak ada sekutu bagi-Nya. Ia ditaati dengan ketaatan yang mutlak, tidak boleh dimaksiati, dimana seluruh ketaatan kepada selain Allah harus mengikuti ketaatan kepada-Nya.” (Al-Qaulu As- Sadid di Maqashid Tauhid, hlm. 102)
Lebih dari itu, sesungguhnya ‘Al-Hakam’ (Maha Memutuskan dengan kebijaksanaan dan keadilan) merupakan salah satu asmaul husna (nama Allah yang paling baik). Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW:
إِنَّ اللهَ هُوَ الْحَكَمُ وَإِلَيهِ الْحُكْمُ
Sesungguhnya Allah adalah Al-Hakam (Maha Memutuskan perkara hamba-Nya dengan keadilan dan kebijaksanaan) dan milik Allah semata hak menetapkan hukum.” (HR. Abu Daud no. 4955, An-Nasai 8/226, dan Al-Baihaqi 10/145. Dinyatakan shahih oleh syaikh Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil, 8/237 dan Al-Arnauth dalam tahqiq Zadul Ma’ad, 2/335)
Allah SWT berfirman:
أَفَغَيْرَ اللّهِ أَبْتَغِي حَكَمًا
“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah.” (QS. Al-An’am (6): 114)
فَاصْبِرُواْ حَتَّى يَحْكُمَ اللّهُ بَيْنَنَا وَهُوَ خَيْرُ الْحَاكِمِينَ
“Maka bersabarlah, hingga Allah menetapkan hukumnya di antara kita, dan Dia adalah Hakim yang sebaik-baiknya.” (QS. Al-A’raf (7): 87)
أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ
“Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?”(QS. At-Tin (95): 8)
Mengimani nama Allah Al-Hakam ini menuntut kita untuk hanya berhukum dengan syariat Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya. Sebagaimana firman Allah,
وَلا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا
”Dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan.” (QS. Al-Kahfi (18): 26)
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ
“Dan persoalan apapun yang kalian perselisihkan, maka keputusannya terserah Allah.” (QS. Asy-Syu’ara (42): 10)
Dalam banyak ayat Al-Qur’an, Allah SWT telah menjelaskan sifat-sifat pihak yang memiliki hak untuk menetapkan hukum. Sebagaimana dikatakan oleh syaikh Muhammad Amin bin Muhammad Mukhtar asy-Syinqithi:
“Di antara ayat-ayat Al Qur’an yang dengannya Allah menerangkan sifat pihak yang berhak memberi keputusan hukum dan membuat undang-undang adalah firman Allah:
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ
“Dan persoalan apapun yang kalian perselisihkan, maka keputusannya terserah Allah.” (QS. Asy-Syu’ara (42): 10)
Kemudian Allah menerangkan sifat-sifat pihak yang berhak memutuskan hukum,
ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ {10}فَاطِرُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ جَعَلَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الأَنْعَامِ أَزْوَاجًا يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ {11} لَهُ مَقَالِيدُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَاء وَيَقْدِرُ إِنَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nya saja aku bertawakkal dan kepada-Nya saja aku kembali.
Dialah Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri  pasangan-pasangan  dan  dari  jenis  binatang  ternak pasangan-pasangan, dijadikan-Nya kamu berkembang  biak  dengan  jalan  itu. Tidak  ada  sesuatu pun  yang  serupa  dengan  Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.
Kepunyaan-Nya-lah perbendaharaan langit dan bumi;  Dia  melapangkan  rezki bagi  siapa  yang  dikehendaki-Nya  dan menyempitkan (bagi siapa yang dikehendaki-Nya). Sesungguhnya  Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Asy-Syura (42): 10-12)
Apakah di antara orang-orang kafir lagi pendosa yang membuat undang-undang setan tersebut ada yang  berhak disifati sebagai Rabb yang seluruh urusan makhluk dikembalikan  kepadanya? Ia dijadikan tempat berserah diri dan bersandar dalam segala persoalan? Ia pencipta langit dan bumi, yaitu menciptakan langit dan bumi yang sebelumnya belum ada, tanpa meniru contoh sebelumnya? Dan bahwasanya ia yang menciptakan manusia berpasang-pasangan…?
Maka kalian, wahai kaum muslimin, wajib untuk memahami saifat-sifat pihak yang berhak membuat undang-undang, menghalalkan, dan mengharamkan! Janganlah kalian menerima undang-undang dari orang kafir yang rendah, hina, dan bodoh.
Di antara ayat Al-Qur’an lainnya yang menerangkan hal ini adalah firman Allah,
لَهُ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ أَبْصِرْ بِهِ وَأَسْمِعْ مَا لَهُم مِّن دُونِهِ مِن وَلِيٍّ وَلا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا
Kepunyaan-Nya-lah semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya; tak ada seorang pelindung pun bagi mereka selain dari pada-Nya; dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan.”(QS. Al-Kahfi (18): 26)
Apakah di antara orang-orang kafir lagi pendosa yang membuat undang-undang itu ada yang berhak disifati sebagai orang yang mengetahui hal yang tersembunyi di langit dan di bumi? Mempunyai pendengaran dan penglihatan yang mencakup seluruh hal yang terdengar dan terlihat di alam raya ini? Tak ada seorang pelindung pun selain dirinya? Maha Suci Allah dari kesombongan yang besar ini.
Di antara ayat Al-Qur’an lainnya yang menerangkan hal ini adalah firman Allah,
وَلا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لا إِلَهَ إِلاَّ هُوَ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Janganlah kamu sembah di samping  Allah, tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan  Yang berhak disembah melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nya semata segala penentuan, dan hanya kepada-Nya kalian dikembalikan.” (QS. Al-Qashash (28): 88)
Apakah di antara orang-orang kafir lagi pendosa yang membuat undang-undang itu ada yang berhak disifati sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak diibadai (Ilah) dan bahwa seluruh makhluk akan binasa kecuali dirinya? Bahwasanya seluruh makhluk akan dikembalikan kepadanya? Maha Tinggi, Maha Agung, dan Maha Suci Allah dari adanya makhluk-Nya yang lemah yang disifati dengan sifat-Nya.
Di antara ayat Al-Qur’an lainnya yang menerangkan masalah ini adalah firman Allah,
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan kebenaran (hal yang sebenarnya) dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.” (QS. Al-An’am (6): 57)

Apakah di antara orang-orang kafir lagi pendosa yang membuat undang-undang tersebut ada yang berhak untuk disifati sebagai orang yang menerangkan kebenaran dan pemberi keputusan yang paling baik?
Di antara dalil lainnya adalah firman Allah,
قُلْ أَرَأَيْتُم مَّا أَنزَلَ اللّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم مِّنْهُ حَرَامًا وَحَلاَلاً قُلْ آللّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللّهِ تَفْتَرُونَ
Katakanlah:  “Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan  halal. Katakanlah, “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu  atau kamu mengada-adakan saja kedustaan terhadap Allah?” (QS. Yunus (10): 59)
Apakah di antara orang-orang kafir lagi pendosa yang membuat undang-undang itu ada yang  berhak disifati sebagai orang yang menurunkan rikqi kepada seluruh makhluk, dan tak mungkin ada pengharaman dan penghalalan kecuali atas seizinnya? Karena secara otomatis, pihak yang menciptakan rizki dan menurunkannya kepada seluruh makhluk, dia pula pihak yang berhak mengatur rizki tersebut; menghalalkan dan mengharamkannya (menetapkan rizki yang halal dan rizki yang haram, pent). Maha Suci Allah dari mempunyai sekutu dalam hal menghalalkan dan mengharamkan.” (Adhwaul Bayan, 7/163-168 secara ringkas)
Bersambung, insya Allah….
(muhib al-majdi/arrahmah.com)