Cari Blog Ini

Sabtu, 04 Februari 2012

Wahhabi Menjawab Sepotong Kalimat Tuduhan Ustadz Bukhori (2)


Pemelintiran Ustadz Bukhori atas nama Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah dan Tuduhan Dusta atas nama Wahhabi

بسم الله الرحمن الرحيم

Oleh Syaikh Abdullah Alu Baher -Ghafarallahu lahu-

Alhamadulillah, Segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala Yang telah mencurahkan kasih sayangnya kepada orang-orang yang teguh di atas jalan Rasul-Nya sehingga mereka teguh di atas jalan yang mengantarkan mereka bahagia dunia dan akhirat. Shalawat dan salam senantiasa mengiringi ingatan kita agara lidah kita basah dengannya teruntuk baginda tercinta Rasulullah Muhammad bin Abdillah, kelurganya, sahabat dan orang-orang yang konsisten dengan risalahnya.

إِنَّ اَصدقَ الحديث كلام الله و خير الهدي هدي محمَّد صلى الله عليه و سلم و شرَّ الامور محدثاتها و كلَّ محدثَة بدعة و كل بدعة ضلــــــــــــــــــــــــــالة و كل ضلالة في النــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــار

أما بعد

Saudaraku… telah kami sampaikan risalah sederhana berisi tentang pembelaan kami terhadap ‘Allamah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -Qaddasallahu ruhah- atas perkataan Ustadz Bukhori yang bernada meremehkan. Pada risalah kali ini kami akan memaparkan pemelintiran Ustadz Bukhori Maulana terhadap perkataan Syaikhul Islam Ibnul Qoyyim -rahimahullah-. Kenapa? Karena beliau menukil perkataan Ulama kemudian perkataan itu tidak sesuai dengan maksud yang disampaikan. Disini kami juga menepis apa yang Ustadz tuduhkan kepada Wahhabi (baca:ahlussunnah) bahwasanya Wahhabi mengatakan kirim pahala itu tidak sampai serta mengurai masalah Ihda’utstsawab lil Mayyit kemudian mengurai perkataan ulama rujukan Wahhabi yang dihakimi. Hanya kepada Allah lah kami memohon pertolongan agar menunjukkan kepada kita yang benar itu benar dan memberikan kita kekuatan untuk mengikutinya, dan yang salah itu salah serta memberikan kita kekuatan untuk menjahuinya.

Saudaraku… adapun kalimat yang disampaikan oleh Ustadz Bukhori yang kami koreksi adalah sebagai berikut:

“Ibnul Qoyyim mengatakan seluruh ulama bersepakat bahwa kirim pahala bacaan Al-Qur’an, shodaqoh dan lain sebagainya sampai ke mayyit kecuali kelompok ahlul bid’ah di kalangan ahli kalam yaitu mu’tazilah. Jadi seluruh ulama dari zaman Nabi Muhammad sampai sa’at ini sepakat kirim pahala itu sampai”

Perkataan ini menurut pengakuan beliau diambil dari Kitab Syaikhul Islam dari Kitab Ar-Ruh. Kami sudah mengecek kitab Ar-Ruh dan kami tidak menemukan keterangan yang persis sama saperti yang beliau sampaikan. Memang ada penjelasan sang Imam mengulas masalah mayyit yang mendapat manfa'at dari orang yang masih hidup, namun kata-kata sepakat dalam masalah kirim bacaan Al-Qur'an ini tidak benar. Karena konseksuensi dari perkataan tersebut juga pada akhirnya memojokkan ulama. Namun sebelum kami mengoreksi kalimat beliau terlebih dahulu kita mengenal kitab Ar-Ruh.

Ada apa dengan kitab Ar-Ruh?

Kitab Ar-Ruh adalah karangan dari Syaikhul Islam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah -rahimahullah- dan penisbatan kitab tersebut kepada beliau adalah benar. Namun dengan begitu, beberapa orang yang berintisab terhadap Ilmu (ahlul Ilmi/Thalibul Ilmi) yang mengingkari penisbatan kitab ini terhadap beliau, diantaranya adalah Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid, karena banyak hal yang bertentangan dengan prinsip Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -Qaddasallahu ruhah- dan juga salaf. Salah satunya adalah bahwa didalam kitab itu Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah mendukung amaliyyah talqin Mayyit setelah penguburannya. Hal ini tidak menjadi dasar kita untuk menolak kesahihan penisbatan kitab tersebut terhadap beliau karena kalaupun salah memang karena beliau tidak ma’shum dan beliau ma’dzur dalam hal ini bahkan mendapat pahala ijtihad setelah berusaha untuk mendapatkan hasil istimbathul hukm. Yang wajib bagi kita adalah mengikuti apa yang beliau pegang yang sesuai dengan KEBENARAN. Dan dari sini kami katakan kepada Al-Ustadzul Karim Bukhori Maulana bahwa KAMI TIDAK MENYEMBAH IBNU QOYYIM AL-JAUZIYYAH karena tidak mengikuti dan taqlid terhadap kesalahan beliau yang menyelisihi Kitabullah dan Sunnah serta menganggap semua qoul beliau MUTHLAQ BENAR SEMUA.

Ada beberapa bukti yang dikemukakan oleh Dr. Bassam Ali Salamah Al-‘Amush dalam studi dan tahqiq beliau terhadap kitab Ar-Ruh. Ada beberapa poin yang disampaikan beliau mengenai Kitab ini, berikut kami paparkan keterangan beliau:

1. Bahwasanya kitab tersebut milik Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah -rahimahullah- dan ini tidak diragukan.

2. Bahwasanya kitab ini dikarang oleh beliau setelah berkoneksi (berjumpa) dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah-. Hal ini berdasarkan 2 kesimpulan

a. Penguatan bukti nisbat kitab ini kepada beliau -rahimahullah- , dan itu tampak pada berbagai sisi:

a.1) Bahwasanya sekelompok dari ahli biografi (seperti Ibnu Hajar, Al-Baghdadi, Ibnu ‘Imad, Asy-Syaukani, As-Suyuthi dan Nu’man Al-‘Alusi) menyebutkan kitab ini diantara karangannya.

a.2) Bahwasanya Ibnu Qoyyim -rahimahullah- juga menunjukkan sendiri di kitabnya At-Tibyanpada bab ke-6 dalam memaparkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallahu ‘anhu bersabda:”saat ruh mu’min…) kemudia beliau berkata:”Dan pembahasan tentang hadis ini telah aku paparkan panjang lebar dikitab Ar-Ruh).

a.3) kitab ini telah direkomendasikan oleh Allamah Ibrahim bin ‘Umar Al-Biqo’I bahwasanya kitab itu karangan Ibnu Qoyyim dengan dalih ringkasan kitab itu yang diberi nama “Sirr Ar-Ruh” skitar separuh dari kitab Ar-Ruh.

a.4) Al-‘Allamah Nu’man Al-Alusi menukil dalam kitab Al-Ayat Al-Bayyinat hal 54 beliau berkata:”dan hal ini telah diterangkan oleh Allamah Ibnu Qoyyim dalam kitab Ar-Ruh).

a.5) bahwasanya dibeberapa tempat dalam kitab tersebut (Ar-Ruh) beliau menyebutkan gurunya Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- dan mengambil pendapatnya.

(Ar-Ruh fil Kalam ‘ala arwahil amwat wal ahya lil Imam Ibni Qoyyim Al-Jauziyyah dirosah wa tahqiq Dr. Bassam ‘Ali Salamah Al’Amush, Dar Ibnu Taimiyyah:Riyadh Juz 1 101-102)

Demikian bukti bahwasanya kitab Ar-Ruh adalah karangan Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah -rahimahullah-.

Pemelintiran Ustadz Bukhori atas nama Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah dan Tuduhan Dusta atas nama Wahhabi

....Dan madzhab sebagian Ahlul Bid’ah dari Ahlul kalam bahwasanya TIDAK SAMPAI SAMA SEKALI KEPADA MAYYIT ,TIDAK DO’A TIDAK PULA YANG LAINNYA .“.......

Setelah kami melakukan pengecekan terhadap rujukan Ustadz bukhori bahwasanya Imam Ibnu Qoyyim mengatakan bahwasanya orang yang menolak pahala bacaan Al-Qur’an sampai adalah ahlul bid’ah dari kalangan ahlul kalam ternyata tidak sesuai maksudnya (yaitu menghakimi Wahhabi). Kalau kita cermati, kata-kata ini secara tidak langsung beliau menghukumi bahwasanya Imam Syafi’I dan sebagian syafi’iyyah -termasuk Imam Al-‘Izz bin Abdissalam- serta Imam Malik adalah Ahlul Bid’ah. berikut kami nukilkan perkataan Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah –rahimahullah- di kitab Ar-Ruh dalam masalah mengirim/menghadiahkan pahala amalan (puasa, haji, shodaqoh, bacaan Al-Qur’an, doa, Istughfar) dari orang hidup kepada orang mati sekaligus menerangkan masalah ini dan pokok perbedaannya serta tuduhan ustadz bahwasanya wahhabi mengatakan pahala orang hidup tidak sampai kepada orang mati (secara muthlak) kecuali do’a anaknya.

هل تنتفع أرواح الموتى بشيء من سعي الاحياء ام لا؟

فالجواب أنها تنتفع من سعي الأحياء بأمرين : مجمع عليهما أهل السنة من الفقهاء و أهل الحديث و التفسير. (احدهما) ما تسبب إليه الميت في حياته. (و الثاني) دعاء المسلمين له و استغفارهم له و الصدقة و الحج على نزاع ما الذي يصل من ثوابه هل ثواب الإنفاق أو ثواب العمل؟ فعند الجمهور يصل ثواب العمل نفسه و عند بعض الحنفية إنما يصل ثواب الإنفاق. و اختلفوا في العبادة البدنية كالصوم و الصلاة و قراءة القرآن و الذكر فمذهب الإمام أحمد و جمهور السلف وصولها و هو قول بعض أصحاب أبي حنيفة نص على هذا الإمام أحمد في رواية محمد بن يحيى الكحال قال قيل لابي عبد الله الرجل يعمل الشيء من الخير من صلاة أو صدقة أو غير ذلك فيجعل نصفه لأبيه أو لأمه ؟ قال أرجو أو قال الميت يصل إليه كل شيء من صدقة او غيرها و قال أيضا آية الكرسي ثلاث مرات و قل هو الله أحد و قل اللهم إن فضله لأهل المقابر. و المشهور من مذهب الشافعي و مالك أن ذلك لا يصل.

و ذهب بعض أهل البدع من أهل الكلام أنه لا يصل إلى الميت شيء البتة لا دعاء و غيره.

“ Apakah Arwah orang mati mendapatkan manfa’at dari usaha orang yang hidup, atau tidak? (jawab) bahwasanya mereka (orang mati) mendapatkan manfaat dari usaha (amal) orang yang masih hidup karena dua perkara: yang disepakati oleh Ahlussunnah dari kalangan Ahli Fiqih, Ahlul Hadits dan Ahli TAfsir (pertama) apa yang menjadi sebab sampainya (amal) kepada mayyit di kehidupannya (kedua) do’amuslimin untuknya (mayyit), istighfar mereka, shadaqoh, haji, dengan perbedaanya apa yang sampai dari pahalanya? Apakah pahala infaq atau pahala amalan? Maka menurut jumhur yang sampai adalah pahala amalan itu sendiri dan menurut sebagian Hanafiyah yang sampai pahala Infaq Dan mereka (para halul Ilmi) berselisih dalam masalah Ibadah Badaniyah : seperti puasa, shalat, bacaan Al-Qur’an dan dzikir maka madzhab Imam Ahmad dan Jumhur salaf bahwasanya pahalanya sampai dan itu pendapat sebagian sahabat Imam Abu hanifah. Imam Ahmad memasukkan pendapat ini dalam riwayat Muhammad bin Yahya Al-Kahal beliau berkata: Abu Abdillah (Imam Ahmad) ditanya tentang seseorang beramal dengan sesuatu kebaikan dari shalat, shadaqoh dan lainnya kemudian aku menjadikan separuhnya (pahala) untuk ayah atau ibuku? Beliau menjawab aku berharap (sampai) atau beliau berkata segala sesuatu (pahala) sampai kepada mayyit dari shadaqoh atau lainnya dan beliau juga berkata Aku membaca ayat Al-Kursi tiga kali dan qul huwallahu ahad dan berkata (Allahumma inna fadhlahu li ahlil maqobir) ya Allah sesungguhnya keutamaanya untuk penghuni kubur (mayyit). Dan yang masyhur dari Imam Syafi’I dan Malik bahwasanya itu tidak sampai (bacaan Al-Qur’an) Dan madzhab sebagian Ahlul Bid’ah dari Ahlul kalam bahwasanya TIDAK SAMPAI SAMA SEKALI KEPADA MAYYIT ,TIDAK DO’A TIDAK PULA YANG LAINNYA .“

( Kitab Ar-Ruh Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah halaman 117 Daarul Baz:Mekkah, penerbit Daarul kutub Al-Arabiyyah:Beirut cetakan 1979 M/1399 H. HURUF TEBAL dan BERGARIS dari kami bukan dari cetakan penerbit UNTUK MEMPERJELAS)

Setelah kita membaca dengan seksama nukilan diatas maka jelaslah bahwa yang dikatakan oleh Imam Ibnu Qoyyim sebagai Ahlul Bid’ah adalah mereka yang menolak sama sekali sampainya pahala dari amalan kebaikan baik itu do’a maupun itu sitighfar apalagi puasa, shadaqoh, haji dan semisalnya dari ibadah badaniyyah. Sedangkan yang menjadi permasalahan kita adalah bacaan Al-Qur’an. Adapun pahala puasa, shadaqoh dan haji, kami akan beberapa dalilnya dari hadits. Berikut hadits muttafqun ‘alaihi dengan lafazhnya dari riwayat Imam Bukhori -taghammadahullah birahmatih- dalam shahih Al-Bukhori:

حدثنا سعيد بن أبي مريم حدثنا محمد بن جعفر قال أخبرني هشام عن أبيه عن عائشة رضي الله عنها أن رجلا قال للنبي صلى الله عليه و سلم إن أمي افتلتت نفسها و أظنها لو تكلمت تصدقت فهل لها أجر إن تصدقت عنها قال نعم (حديث رقم 1308

“Telah Mengabarkan kepada kami Sa’id bin Abi Maryam mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ja’far berkata mewartakan kepada kami Hisyam dari ayahnya dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesungguhnya ibuku mendadak meninggal dan aku berpikir kalau seandainya beliau sempat berkata beliau bersedekah apakah aku bersedekah untuknya beliau mendapatkan pahala, Nabi menjawab : Ya” (hadits riwayat Bukhori no. 1308)

حدثنا محمد بن خالد حدثنا محمد بن موسى بن اعين حدثنا أبي عن عمرو بن الحارث عن عبيد الله بن أبي جعفر أن محمدابن أبي جعفر حدثه عروة عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال من مات و عليه صيام صام عنه وليه (حديث رقم 1830)

“Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Khalid telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Musa bin A’yan mengabarkan kepada kami ‘Amru bin Al-Harits dari Ubaidillah bin Abi Ja’far bahwasanya Muhammad bin Abi Ja’far menceritakan kepadanya Urwah dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam barangsiapa yang meninggal dan mempunyai beban (hutang) puasa maka maka hendaklah walinya berpuasa untuknya” (hadits no. 1830

حدثنا محمد بن عبد الرحيم حدثنا معاوية بن عمرو حدثنا زائدة عن الأعمش عن مسلم البَطِين عن سعيد بن جُبَير عن ابن عباس رضي الله عنهما قال جآء رجل إلى النبي صلى الله عليه و سلم فقال يا رسول الله إن أمي ماتت و عليها صوم شهر افأقضيه عنها قال نعم قال فدين الله أحق ان يقضى ( حديث رقم 1831)

“Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Abdurrahim telah mengabarkan kepada kami Mu’awiyah binj ‘Amru telah mengabarkan kepada kami Zaidah dari Al-A’masy dari Muslim Al-Bathin dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata seorang lelaki dating kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata wahai Rasulallah sesungguhnya ibuku meninggal dan mempunyai hutang puasa sebulan apakah aku mengqadha’nya? Beliau menjawab: Ya hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan ” (hadits no. 1831)

Kemudian kami nukilkan hadits riwayat Imam Bukhori di Kitab Subulussalam syarah bulughul maram karya Imam Ash-Shan’ani.

و عنه رضي الله عنه أنَّ امرأة من جهينة جآئت إلى النبي صلى الله عليه و سلم فقالت : إن أمي نذرت أن تحج فلم تحج حتى ماتت, أفحج عنها؟ قال نعم حجي عنها, أرأيت لو كان على أمك دين أكنت قاضيته؟ أقضو الله , فالله أحق بالوفاء. رواه البخاري

“Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya perempuan dari Juhainah dating kepada Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata: sesungguhnya ibuku bernadzar untuk berhaji dan belum berhaji samapai beliau meninggal, apakah saya berhaji untuknya (menggantikannya)? Beliau berkata: Ya, berhajilah untuknya, bagaimana menurutmu kalau ibumu punya hutang, apakah kamu membayarkanya? Maka hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar.

(Subulussalam Imam Ash-Shan’ani tahqiq dan ta’liq Dr. Muhammad Muhammad Isma’il Al-‘Awadhi Juz 2 halaman 680 penerbit Daarul bayan al-‘arabi:Kairo)

Kemudian komentar Syaikhul Islam ketika ditanya tentang ayat و أن ليس للإنسان إلا ما سعى dan hadits إذا مات ابن آدم انقطع عمله.... apakah menurut ayat itu orang mati tidak sampai amalan kebaikan kepadany? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:

“Para Imam sepakat bahwasanya shadaqoh sampai kepada mayyit, demikian pula dengan Ibadah maliyah, seperti: memerdekakan budak. Tapi mereka berselisih dalam masalah Ibadah badaniyyah: seperti shalat, puasa, bacaan (Al-Qur’an), dan dengan itu dalam Shahihain (shahih Bukhori dan Shahih Muslim)…..” (Majmu Fatawa Jilid 24 hal 309)

Setelah beliau memaparkan dalil-dalil dari hadits Shahih, beliau melanjutkan komentarnya: “Dan didalam hadits-hadits Shahih tersebut: bahwasanya beliau (Nabi) memerintahkan untuk haji fardhu untuk mayyit dan haji nadzar. Sebagaimana beliau memerintahkan untuk berpuasa. Karena sesungguhnya perintah itu terkadang dilakukan oleh anak dan terkadang dilakukan oleh saudara. Dan Nabi Shallalahu ‘alaihi wa sallammenyerupakannya dengan hutang, hyang menjadi beban mayyit. Sedangkan hutang dibenarkan membayarnya dari siapa saja, maka hal itu menunjukkan bolehnya dilkukan oleh siapa saja, tidak khusus buat anak, sebagaimana hadits yang sharih (jelas) bagi saudara yang membayarnya.

Maka demikian telah ditetapkan oleh Kitabullah, Sunnah dan Ijma’ diketahui secara Mufashshal lagi Mubayyan (yakni bukan secara ijmal). Dan juga diketahui bahwa yang demikian tidak menafikan firman Allah: (و أن ليس للإنسان إلا ما سعى) (إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث) bahkan yang benar, yang itu juga benar. Adapun hadits: (إن قطع عمله إلا من ثلاث : صدقة جارية أو علم ينتفع به, أو صالح يدعو له) disini beliau menyebutkan anak, dan doanya untuk (orang tua) adalah kekhususan, karena anak adalah usahanya juga, sebagaimana firman Allah: (ما أغني عنه ماله و ما كسب) mereka berkata: itu (kasab) adalah anaknya. Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :sesungguhnya apa yang dimakan oleh seseorang adalah dari hasil usahanya sendiri, dan sesungguhnya anaknya adalah anaknya adalah usahanya(maksudnya apa yang diusahakan anaknya adalah usahanya juga). Ketika dia berusaha dalam wujud anak itu maka amalan anak itu termasuk dari usahanya, berbeda dengan saudara, paman, ayah dan semisalnya.

maka sesungguhnya orang mendapatkan manfa’at juga dari do’a mereka, bahkan do’a dari selain keluarga, akan tetapi itu bukan termasuk dari amalan (bukan hitungan amalannya). Makanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: (إنقطع عمله إلا من ثلاث) beliau tidak mengatakan: sesungguhnya dia (orang mati) tidak mendapatkan dengan amalan selain dari dia. Jika anaknya mendo’akannya, maka hal itu ini adalah amalanya yang tidak terputus, dan jika ada orang yang mendoakannya maka itu bukan termasuk amalannya, namun ia mendapatkan manfa’at dari amal itu”. (Majmu Fatawa Jilid 24 halaman 311-312 Daar ‘alamil kutub:Riyadh, cetakan 1991 M/1413 H)

Maka jelaslah kalau kita perhatikan, yang jadi permasalahannya adalah pahala bacaan Al-Qur’an yang diperuntukkan untuk mayyit. Bukan yang disebutkan oleh Ustadz yang memelintirkan perkataan Ibnu Qoyyim Ibnu Qoyyim dan juga berdusta atas nama Wahhabi (baca:Ahlussunnah). Itulah Imam (Ibnu Taimiyyah), salah satu yang dijadikan rujukan oleh Wahhabi menjelaskan Ijma’ bahwa pahala do’a dan istighfar serta shalat jenazah memberikan manfa’at kepada mayyit dan sampai kepada mayyit, bahkan orang yang mengingkari dan menolak hal ini (juhud) adalah kafir karena menolak sunnah mutawatir. (Majmu Fatawa jilid 24 halaman 207)

Untuk lebih lanjut lihat fatwa Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Abdurrahman bin Baz -rahimahullah- dikumpulan fatwa dan makalh beliau yang berjudul majmu’ fatawa wa maqolat mutanawwi’ah yang dikumpulkan oleh Dr. Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’ar Juz 4 halaman 348-349, penerbit Daar Ulin Nuha:Riyadh, cetakan tahun 1993 M/1413 H.

.....kami tidak menyembah Imam Ahmad dan Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah serta siapa pun....

Imam Ahmad dan Jumhur mengatakan bahwa pahala bacaan Al-Qur’an sampai kepada mayyit. Ini bukan jadi ukuran benar. Yang jadi ukuran adalah dalil. Maka kami katakan dimanakah dalil yang sharih yang mengatakan bacaan Al-Qur’an sampai kepada mayyit?? Imam Ahmad dan juga jumhur memakai qiyas dalam hal ini. Mereka mengqiyaskan hadits-hadits puasa yang sampai kepada mayyit dengan kirim pahala bacaan Al-Qura’an. Imam Nawawi juga demikian yang dinukil oleh Imam Suyuthi dalam kitabnya SyarhuSh Shudur.

Kami disini menolak Qiyas, sama dengan Imam Syafi’I dan Imam Malik. Karena hal ini menyangkut Ibadah. Sedangkan hukum asal Ibadah adalah Tauqif (tidak beramal) hingga datang dalil menjelaskan masyru’iyyah amalan tersebut. Kami mengikuti apa yang dipegang Imam Ahmad berupa kebenaran bukan sosok Imam Ahmad dalam urusan Din (Ibadah). Karena kita dituntut untuk kembali kepada AlQur’an dan As-Sunnah ketika berselisih, bukan kepada pendapat fulan dan fulan. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab -rahimahullah- menukil perkataan Imam Ahmad di kitab At-Tauhid Alladzi huwa haqqullahi ‘alal abid bab man atho’al ulama wal umaro’ fi tahrim ma ahallallah aw tahlil ma harrmallah faqod ittakhodzahum arbaban mindunillah :

“Imam Ahmad bin Hanbal berkata: aku heran dengan kaum yang mengetahui isnad dan kesahihannya kemudian mereka bermadzhab dengan pendapat Sufyan, sedangkan Allah Ta’ala berfirman: maka hendaklah takut orang-orang yang menyelisihi perintah kami, mereka akan ditimpa fitnah atau adzab yang pedih (An-Nur:63) apakah kamu tau apa itu fitnah yang dimaksud? Fitnah yang dimaksud adalah syirik”

Maka kami katakan pula kepada Ustadz Bukhori Maulana, kami tidak menyembah Imam Ahmad dan Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah serta siapa pun karena kami mengembalikan urusan ini kepada dua pusaka peninggalan baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ini bukan menunjukkan bahwa kami tidak menghormati Imam Ahmad, bahkan ini adalah penghormatan kita kepada Imam Ahmad karena beliau tidak mau kalau kesalahan beliau yang menyelisihi sunnah diikuti oleh ummat ini yang nantinya akan menjadi tuntutan atas beliau dihari kiamat. Kalaupun beliau salah, beliau ma’dzur atau bahkan mendapatkan pahala satu karena usahanya dalam ijtihad. Namun itu sebatas hak beliau dan kekhususan seorang mujtahid. Adapun kita semua dituntut untuk mengikuti Al-Haq. Sedangkan Al-Haq menurut kami disini berpihak kepada Imam Syafi’i. maka wajiblah bagi kita untuk rujuk kepada Al-Haq. Wallahu Ta’ala a’lam bishshowab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar