APAKAH MUT'AH ITU?
Pengertian Mut’ah
Mut’ah berasal dari kata tamattu’ yang berarti bersenang-senang atau
menikmati. Adapun secara istilah mut’ah berarti seorang laki-laki
menikahi seorang wanita dengan memberikan sejumlah harta tertentu dalam
waktu tertentu, pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu
yang telah di tentukan tanpa talak serta tanpa kewajiban memberi nafkah
atau tempat tinggal dan tanpa adanya saling mewarisi antara keduanya
meninggal sebelum berakhirnya masa nikah mu’ah itu. (Fathul Bari 9/167,
Syarah shahih muslim 3/554, Jami’ Ahkamin Nisa’ 3/169).
Hukum Nikah Mut’ah
Pada awal perjalanan Islam, nikah mut’ah memang dihalalkan, sebagaimana yang tercantum dalam banyak hadits diantaranya:
Hadits Abdullah bin Mas’ud: "berkata: Kami berperang bersama Rasululloh
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedangkan kami tidak membawa istri istri
kami, maka kami berkata bolehkan kami berkebiri? Namun Rasululloh
melarangnya tapi kemudian beliau memberikan kami keringanan untuk
menikahi wanita dengan mahar pakaian sampai batas waktu tertentu". (HR.
Bukhari 5075, Muslim 1404).
Hadits Jabir bin Salamah: "Dari
Jabir bin Abdillah dan Salamah bin ‘Akwa berkata: Pernah kami dalam
sebuah peperangan, lalu datang kepada kami Rasululloh Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, dan berkata: Telah diizinkan bagi kalian nikah mut’ah
maka sekarang mut’ahlah". (HR. Bukhari 5117).
Namun hukum ini
telah dimansukh dengan larangan Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
untuk menikah mut’ah sebagaimana beberapa hadits diatas. Akan tetapi
para ulama berselisih pendapat kapan diharamkannya niakh mut’ah tersebut
dengan perselisihan yang tajam, namun yang lebih rajih-Wallahu a’lam-
bahwa nikah mut’ah diharamkan pada saat fathu makkah tahun 8 Hijriyah.
Ini adalah tahqiq Imam Ibnul Qoyyim dalam zadul Ma’ad 3/495, Al-Hafidl
Ibnu Hajar dalam fathul bari 9/170, Syaikh Al-Albani dalam irwaul Ghalil
6/314.
Telah datang dalil yang amat jelas tentang haramnya nikah mut’ah, diantaranya:
Hadits Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu: "Dari Ali bin abi Thalib
berkata: Sesungguhnya Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang
nikah mut’ah dan memakan daging himar jinak pada perang khaibar" (HR.
Bukhari 5115, Muslim 1407).
Hadits Sabrah bin Ma’bad Al-Juhani
Radiyallahu ‘anhu: "berkata:Rasululloh Shallallahu ‘alahi wa sallam
memerintahkan kami untuk nikah mut’ah pada waktu fathu makkah saat kami
masuk Makkah kemudian beliau melarang kami sebelum kami keluar dari
makkah. Dan dalam riwayat lain: Rasululloh bersabda: Wahai sekalian
manusia, sesunggunya dahulu saya telah mengizinkan kalian nikah mut’ah
dengan wanita. Sekarang Alloh telah mengharamkannya sampai hari kiamat,
maka barangsiapa yang memiliki istri dari mut’ah maka hendaklah
diceraikan" (HR. Muslim 1406, Ahmad 3/404).
Hadits Salamah bin
Akhwa Radiyallahu ‘anhu: "berkata:Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam memberikan keringanan keringanan untuk mut’ah selama tiga hari
pada perang authos kemudian melarangnya" (HR. Muslim 1023).
Syubhat dan Jawabannya
Orang-orang yang berusaha untuk meracuni umat islam dengan nikah
mut’ah, mereka membawa beberapa syubhat untuk menjadi tameng dalam
mempertahankan tindakan keji mereka, tetapi tameng itu terlalu rapuh.
Seandainya bukan karena ini telah mengotori fikiran sebagian pemuda
ummat Islam maka kita tidak usah bersusah payah untuk membantahnya.
Syubhat tersebut adalah
Pemikiran Mereka Yang Menafsirkan bahwa:
Firman Alloh Ta’ala: "Maka apabila kalian menikahi mut’ah diantara
mereka (para wanita) maka berikanlah mahar mereka" (QS. An-Nisa: 24).
Juga karena Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam jelas pernah
membolehkan nikah mut’ah, padahal beliau tidak mungkin berbicara dengan
dasar hawa nafsu akan tetapi berbicara dengan wahyu, dan oleh karena
ayat ini adalah satu-satunya ayat yang berhubungan dengan nikah mut’ah
maka hal ini menunjukkan akan halalnya nikah mut’ah. (Lihat Al-Mut’ah
fil Islam oleh Al-Amili hal 9).
Jawaban Atas Syubhat ini adalah:
Memang sebagian ulama’ manafsirkan istamta’tum dengan nikah mut’ah,
akan tetapi tafsir yang benar dari ayat ini apabila kalian telah
menikahi wanita lalu kalian berjima’ dengan mereka maka berikanlah
maharnya sebagaimana sebuah kewajiban atas kalian.
Berkata Imam
Ath Thabari setelah memaparkan dua tafsir ayat tersebut: Tafsir yang
paling benar dari ayat tersebut adalah kalau kalian menikahi wanita lalu
kalian berjima’ dengan mereka maka berikanlah maharnya, karena telah
datang dalil dari Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam akan haramnya
nikah mut’ah. (Tafsir Ath-Thabati 8/175).
Berkata Imam
Al-Qurthubi: Tidak boleh ayat ini digunakan untuk menghalalkan nikah
mut’ah karena Rasululloh Shallallahu ‘alahi wa Sallam telah
mengharamkannya. (tafsir Al-Qurthubi 5/132).
Dan kalau kita
menerima bahwa makna dari ayat tersebut adalah nikah mut’ah maka hal itu
berlaku di awal Islam sebelum diharamkan. (Al-Qurthubi 5/133, Ibnu
Katsir 1/474).
Kesalahan Pemikiran Pendukung Nikah Mut'ah Berikutnya adalah:
Hadits Abdullah bin Mas’ud, Jabir bin Abdullah dan Salamah bin Akwa’ diatas menunjukkan bahwa nikah mut’ah halal.
Maka Jawaban atas Hal ini adalah:
Semua hadits yang menunjukkan halalnya nikah mut’ah telah di mansukh.
Hal ini sangat jelas sekali dengan sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi
wa Sallam, yang artinya: "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya dahulu
saya telah mengizinkan kalian mut’ah dengan wanita. Sekarang Allah telah
mengharamkannya sampai hari kiamat"
Berkata Imam Bukhari
(5117) setelah meriwayatkan hadits Jabir dan Salamah: Ali telah
menjelaskan dari Rasululloh bahwa hadits tersebut dimansukh.
Syubhat Berikutnya adalah:
Sebagian para sahabat masih melakukan nikah mut’ah sepeninggal
Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai umar melarangnya,
sebagaimana disebutkan dalam banyak riwayat, diantaranya:
Dari jabir
bin Abdullah berkata: Dahulu kita nikah mut’ah dengan mahar segenggam
kurma atau tepung pada masa Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa sallam
juga Abu Bakar sampai umar melarangnya.(Muslim 1023).
Jawaban bagi Seorang Muslim yang Taat Kepada Alloh Ta'ala:
Riwayat Jabir ini menunjukkan bahwa beliau belum mengetahui terhapusnya
kebolehan mut’ah. Berkata Imam Nawawi: Riwayat ini menunjukkan bahwa
orang yang masih melakukan nikah mut’ah pada Abu bakar da Umar belum
mengetahui terhapusnya hukum tersebut. (Syarah Shahih Muslim 3/555,
lihat pula fathul bari, zadul Ma’ad 3/462).
Perkataan yang salah dari salah seorang tokoh Nikah Mut'ah kontermporer:
Tidak semua orang mampu untuk menikah untuk selamanya terutama para
pemuda karena berbagai sebab, padahal mereka sedang mengalami masa puber
dalam hal seksualnya, maka banyaknya godaan pada saat ini sangat
memungkinkan mereka untuk terjerumus ke dalam perbuatan zina, oleh
karena itu nikah mut’ah adalah solusi agar terhindar dari perbuatan keji
itu. (lihat Al-Mut’ah fil Islam oleh husan Yusuf Al-Amili hal 12-14).
Jawaban atas Syubhat ini adalah:
Ucapan ini salah dari pangkal ujungnya, cukup bagi kita untuk mengatakan tiga hal ini :
Pertama: bahwa mut’ah telah jelas keharamannya, dan sesuatu yang haram
tidak pernah di jadikan oleh Allah sebagai obat dan solusi.
Kedua:
ucapan ini Cuma melihat solusi dari sisi laki-laki yang sedang
menggejolak nafsunya dan tidak memalingkan pandangannya sedikitpun
kepada wanita yang dijadikannya sebagai tempat pelampiasan nafsu
syahwatnya, lalu apa bedanya antara mut’ah ini dengan menyewa tubuh
perempuan...?
Ketiga: islam telah memberikan solusi tanpa efek
samping pada siapapun yaitu pernikahan yang bersifat abadi dan kalau
belum mampu maka dengan puasa yang bisa menahan nafsunya, sebagaimana
sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, yang artinya: "Wahai
para pemuda, barang siapa yang mampu menikah maka hendaklah menikah,
karena itu lebih bisa menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, dan
barangsiapa yang tidak mampu maka hendaklah dia berpuasa karena itu bisa
menjadi tameng baginya". (HR. Bukhari 5066, Muslim 1400). Wallahu
a’lam.
Apakah nikah mut’ah sama dengan pelacuran? Barangkali
banyak yang marah membaca judul di atas. Namun sebelum marah, hendaknya
membaca dulu selengkapnya.
Kita bisa mengatakan motorku
sama dengan motormu ketika kedua motor kita setype, kita bisa mengatakan
rumahmu sama dengan rumahku ketika rumah kita sama-sama dicat dengan
warna yang sama. Kita bisa mengatakan Hpku sama dengan Hpmu ketika HP
kita setype. Antara HP kita dan HP teman kita ada faktor kesamaan
sehingga bisa kita katakan sama. Sama artinya adalah ketika ada sesuatu
yang ada pada dua hal yang kita perbandingkan. Semakin banyak kesamaan
yang ada, semakin bisa kita katakan bahwa dua hal itu sama.
Walaupun banyak faktor kesamaan yang ada, kadang ada juga
perbedaan-perbedaan yang bisa jadi penting dan bisa jadi tidak penting.
Misalnya seluruh manusia adalah sama, artinya sama-sama manusia walaupun
ada perbedaan yang kadang banyak, misalnya perbedaan suku, warna, ras,
bahasa, perilaku, sifat dan watak, namun semua tetap disebut manusia.
Sama-sama manusia walaupun beda. Namun dalam kacamata Islam, ada
kriteria tertentu yang membedakan manusia, yang mana Islam
mengklasifikasikan manusia melalui kriteria-kriteria itu. Kriteria itu
adalah iman, artinya dalam segala kesamaan yang ada di antara seluruh
manusia, ada perbedaan inti di antara mereka, yaitu iman. Meskipun ada
ribuan persamaan di antara manusia, ketika ada perbedaan iman disitu
manusia berbeda. Orang beriman berbeda dengan orang kafir, meskipun
keduanya memiliki banyak persamaan, walaupun keduanya –misalnya- saudara
kembar. Allah membedakan antara keduanya dengan iman. Dalam kasus ini
-dan juga banyak kasus- satu perbedaan dapat menghapus semua kesamaan
yang ada.
Ada banyak persamaan antara pernikahan dan perzinaan,
yang mana perbedaan yang ada hanya pada akad nikah yang mensyaratkan
adanya wali, saksi dan akad dan syarat lainnya, sementara perzinaan
tidak perlu ada saksi dan wali, tinggal tawar dan bayar. Bahkan
seringkali tanpa ada pembayaran, asal kedua belah pihak suka sama suka
maka mereka berdua bisa langsung berzina tanpa syarat apa pun.
Meskipun ada banyak persamaan, sedikit perbedaan dapat membedakan
perzinaan dan pernikahan, hal ini tidak perlu dibahas lagi panjang
lebar. Dalam hal ini perbedaan yang sedikit membawa implikasi yang
begitu besar.
Sebaliknya ketika perbedaan yang ada tidak
membawa implikasi apa pun maka bisa dianggap tidak ada, seperti
perbedaan rupa manusia tidak membawa implikasi apa pun, yang berbeda
dengan implikasi perbedaan iman.
Pada aritkel lalu pembaca
telah menelaah fikih nikah mut’ah, yang memberikan lebih banyak gambaran
tentang “keindahan” nikah mut’ah bagi pembaca. Kali ini kita akan
membandingkan “keindahan” nikah mut’ah dengan realita pelacuran yang ada
di lapangan, pada akhirnya kita menemukan tidak ada perbedaan
signifikan antara nikah mut’ah dan pelacuran, yang ada hanya perbedaan
simbolik dengan isi dan substansi yang sama.
Kita akan melihat lagi point-point “keindahan” nikah mut’ah dan membandingkannya dengan realita pelacuran.
1. Nikah mut’ah adalah praktek penyewaan tubuh wanita, begitu juga pelacuran.
Kita simak lagi sabda Abu Abdillah : menikahlah dengan seribu wanita,
karena wanita yang dimut'ah adalah wanita sewaan. Al Kafi Jilid. 5 Hal.
452.
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa nikah mut’ah
adalah bentuk lain dari pelacuran, karena Imam Abu Abdillah
terang-terangan menegaskan status wanita yang dinikah mut’ah: mereka
adalah wanita sewaan.
2. Yang penting dalam nikah mut’ah adalah
waktu dan mahar sekali lagi inilah yang ditegaskan oleh imam syi’ah
yang maksum : Nikah mut'ah tidaklah sah kecuali dengan menyertakan 2
perkara, waktu tertentu dan bayaran tertentu. Al Kafi Jilid. 5 Hal. 455.
Begitu juga orang yang akan berzina dengan pelacur harus sepakat atas
bayaran dan waktu, karena waktu yang leibh panjang menuntut bayaran
lebih pula. Pelacur tidak akan mau melayani ketika tidak ada
kesepakatan atas bayaran dan waktu. Sekali lagi kita menemukan persamaan
antara nikah mut’ah dan pelacuran.
3. Batas minimal “mahar” nikah mut’ah.
Dalam nikah mut’ah ada batasan minimal mahar, yaitu segenggam makanan
berupa tepung, gandum atau korma. Al Kafi Jilid. 5 Hal. 457. Sedangkan
dalam pelacuran tidak ada batas minimal bayaran, besarnya bayaran
tergantung dari beberapa hal. Kita lihat disini perbedaan antara mut’ah
dan pelacuran hanya pada minimal bayaran saja, tapi baik mut’ah maupun
pelacuran tetap mensyaratkan adanya bayaran. Banyak cerita yang kurang
enak mengisahkan mereka yang berzina dengan pelacur tapi mangkir
membayar.
4. batas waktu mut’ah
tidak ada batasan bagi
waktu nikah mut’ah, semua tergantung kesepakatan. Bahkan boleh
mensepakati waktu mut’ah walau untuk sekali hubungan badan.
Dari Khalaf bin Hammad dia berkata aku mengutus seseorang untuk bertanya
pada Abu Hasan tentang batas minimal jangka waktu mut'ah? Apakah
diperbolehkan mut'ah dengan kesepakatan jangka waktu satu kali hubungan
badan? Jawabnya : ya. Al Kafi . Jilid. 5 Hal. 460
Begitu juga
tidak ada batasan waktu bagi pelacuran, dibolehkan menyewa pelacur untuk
jangka waktu sekali zina, atau untuk jangka waktu seminggu, asal kuat
membayar saja. Demikian juga nikah mut’ah.
4. Boleh nikah mut’ah dengan wanita yang sama berkali-kali.
Suami istri diberi kesempatan untuk tiga kali talak, setelah itu si
istri harus menikah dengan lelaki lain. Tidak demikian dengan nikah
mut’ah, orang boleh nikah mut’ah dengan wanita yang sama berkali-kali,
asal tidak bosan saja. Karena wanita yang dinikah secara mut’ah pada
hakekatnya sedang disewa tubuhnya oleh si laki-laki. Sama persis dengan
pelacuran.
Dari Zurarah, bahwa dia bertanya pada Abu Ja'far,
seorang laki-laki nikah mut'ah dengan seorang wanita dan habis masa
mut'ahnya lalu dia dinikahi oleh orang lain hingga selesai masa
mut'ahnya, lalu nikah mut'ah lagi dengan laki-laki yang pertama hingga
selesai masa mut'ahnya tiga kali dan nikah mut'ah lagi dengan 3
lakii-laki apakah masih boleh menikah dengan laki-laki pertama? Jawab
Abu Ja'far : ya dibolehkan menikah mut'ah berapa kali sekehendaknya,
karena wanita ini bukan seperti wanita merdeka, wanita mut'ah adalah
wanita sewaan, seperti budak sahaya. Al Kafi jilid 5 hal 460
Begitu juga orang boleh berzina dengan seorang pelacur semaunya, tidak ada batasan.
5. Tidak usah bertanya menyelidiki status si wanita.
Laki-laki yang akan nikah mut’ah tidak perlu menyelidiki status si
wanita apakah dia sudah bersuami atau tidak. Begitu juga orang tidak
perlu bertanya pada si pelacur apakah dia bersuami atau tidak ketika
ingin berzina dengannya.
Dari Aban bin Taghlab berkata: aku
bertanya pada Abu Abdullah, aku sedang berada di jalan lalu aku melihat
seorang wanita cantik dan aku takut jangan-jangan dia telah bersuami
atau barangkali dia adalah pelacur. Jawabnya: ini bukan urusanmu,
percayalah pada pengakuannya. Al Kafi. Jilid. 5 Hal. 462
6. Hubungan warisan
Nikah mut’ah tidak menyebabkan terbentuknya hubungan warisan, artinya
ketika si “suami” meninggal dunia pada masa mut’ah maka si “istri” tidak
berhak mendapat warisan dari hartanya.
Ayatullah Udhma Ali Al
Sistani dalam bukunya menuliskan : Masalah 255 : Nikah mut'ah tidak
mengakibatkan hubungan warisan antara suami dan istri. Dan jika mereka
berdua sepakat, berlakunya kesepakatan itu masih dipermasalahkan. Tapi
jangan sampai mengabaikan asas hati-hati dalam hal ini. Minhajushalihin.
Jilid 3 Hal. 80
Begitu juga pelacur tidak akan mendapat bagian dari harta “pasangan zina”nya yang meninggal dunia.
7. Nafkah
Istri mut’ah yang sedang disewa oleh suaminya tidak berhak mendapat
nafkah, si istri mut’ah hanya berhak mendapat mahar yang sudah
disepakati sebelumnya. Bayaran dari mut’ah sudah all in dengan nafkah,
hendaknya istri mut’ah sudah mengkalkulasi biaya hidupnya baik-baik
sehingga bisa menetapkan harga yang tepat untuk mahar mut’ah.
Ayatollah Ali Al Sistani mengatakan:
Masalah 256 : Laki-laki yang nikah mut'ah dengan seorang wanita tidak
wajib untuk menafkahi istri mut'ahnya walaupun sedang hamil dari
bibitnya. Suami tidak wajib menginap di tempat istrinya kecuali telah
disepakati pada akad mut'ah atau akad lain yang mengikat. Minhajus
shalihin. Jilid 3 hal 80.
Begitu juga laki-laki yang berzina dengan pelacur tidak wajib memberi nafkah harian pada si pelacur. —
Tidak ada komentar:
Posting Komentar